[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Suwung

Sabtu, 05 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Suwung


Sabtu pagi ini cerah lagi. Matahari bersinar seperti biasa, tapi masih hangat karena harus menembus sisa-sisa embun yang dingin di udara. Larik-larik cahayanya jatuh di lantai jendela kamar Jaka dan Rara, lalu naik perlahan ke atas ranjang, membuat silau mata.

"Pagi, sayang..." Jaka menyapa sang istri yang menggeliat dalam pelukannya.

"Pagi, kanda..." Rara menoleh dan tersenyum.

Tak tahan, Jaka segera mencari bibir yang tersenyum itu --mengecupnya.

"Udah jangan nakal, ah..." Rara mendorong suaminya agar tidak berlama-lama berciuman. "Aku banyak kerjaan," katanya beralasan.

Jaka tersenyum dan menurut saja. Dilepaskannya pelukan, membiarkan Rara bangun untuk beraktivitas. 

Alih-alih bangkit, Rara malah diam, memperhatikan Jaka.

"How do you do that?" tanyanya bingung.

"Do what?" yang ditanya juga bingung.

"Kamu ngga pernah...maksa, ahaha..." Rara jadi tertawa sendiri. "Gimana caranya biar selalu kalem begitu, sih?"

"Gimana, ya?" Jaka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yaa.. ketemu suwung aja, nanti tau sendiri."

Rara menghela napas. Sudah tau ia, bahwa jawabannya akan begitu. "Aku bosen deh, bolak-balik disuruh suwang-suwung. Suwung itu ada di sebelah mana sih?" gerutunya. 

Jaka tertawa mendengarnya. Lalu ia duduk, minum segelas air putih yang selalu disediakan sang istri di meja sebelah tempat tidur, kemudian menatap Rara. 

"Suwung itu ada di baliknya aku," katanya memulai penjelasan. "Kita selalu bilang, 'ini tubuhku, ini pikiranku'. Kalau tubuh dan pikiran dihilangkan, maka hanya ada aku." 

Jaka diam sejenak, menunggu reaksi Rara, yang ternyata diam saja.

 "Setelah mengalami bahwa hanya ada aku, yang bukanlah tubuh maupun pikiran atau yang lainnya, nanti akan sadar sendiri bahwa aku tidak ada..." Jaka menunggu lagi.

Masih tidak ada reaksi, jadi ia melanjutkan. "Sang Nabi pernah berkata, 'Aku menjadi pendengaranNya yang Ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatanNya yang Ia gunakan untuk melihat, menjadi tanganNya yang Ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakiNya yang ia gunakan untuk berjalan'..." katanya.

Hening sejenak.

"... tanganku ialah tangan Allah, kakiku ialah kaki Allah, begitu beliau bersabda. Semua milikNya, hingga tiada berpunya lagi." Jaka menyambung kalimatnya. "Semua sudah diserahkan kepada Allah."

Kali ini, Rara manggut-manggut.

"Kalau semua punya Allah, maka dzahir batin adalah Allah, tiada yang ada kecuali Allah. Ke mana melihat hanya ada Sang Maha Suwung, di mana saja selalu menghadapNya..." sambung Jaka. 

Rara diam lagi, tapi dengan mata berkaca-kaca. "Laa illaha ilallahu..." katanya tergugu.

"Ya, la maujuda illalahu" Jaka tersenyum. "Dan kalau sudah tau bahwa tiada kepunyaan selain milikNya, tiada ada selain daripadaNya, ngga akan ada lagi rasa terobsesi, ambisius, egois, atau berbagai bentuk kezaliman lainnya..."

Rara sudah terisak karena haru.

"Kesadaran akan hal itulah, yang membuatku ngga terlalu memaksa lagi..." Jaka mengakhiri penjelasannya. 

Rara semakin terisak mendengarnya. Ia butuh dipeluk, dan sang suami selalu tau apa yang dibutuhkan Rara, bahkan tanpa harus diminta. 

Jaka memeluk istrinya sambil berkata, "Tapi kadang-kadang aku pingin maksa sih..." katanya dengan merebahkan Rara. "Kamu mau dipaksa, ngga?"

Mendengar itu, mau tidak mau Rara jadi tertawa. "Mana ada maksa tapi nanya dulu... Nakal..." katanya sambil bersedia dipaksa...

********
Baca kisah mereka yang lainnya di : Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

15 komentar:

  1. Ih teh putu diksinya keren, cus lah bikin sekumpulan cerpennya dibukukan teh biar enak bacanya hehehehe. paling seneng baca cerpen teh sambil gogoleran saya mah.

    BalasHapus
  2. Subhanallah, aku suka senyum2 baca ini. Berharap mesra terus dan suami selalu bisa mendidik istri

    BalasHapus
  3. teteh suka nulis cerpen ya? bagus cerpennya. pernah masukin majalah, teh? atau mungkin ada rencana untuk bikin buku? :)

    BalasHapus
  4. Selalu suka bacanya... Ringan tp dalem :)

    BalasHapus
  5. Kudu segera dibikin bukunya ini mah..biar ga penasaran sm lanjutannya hehe

    BalasHapus
  6. Aaakkk~
    **penonton mulai heboh sama adegan terakhir.

    Kok...kok...Jaka aah~

    BalasHapus
  7. Waduh kang Jaka bisa aja ngerayu neng Raranya. Keren teh. Ada pesan moralnya, dalam.

    BalasHapus
  8. Esensi ikhlas banget ini mah. Proses yang gak sederhana, melepaskan kepemilikan atas benda bahkan terhadap tubuh sendiri. dalem, teh.

    BalasHapus
  9. Seandainya banyak cowok yang sepemikiran sama Jaka yaa, mau atuh yang kayak gini satu aja hahaha

    BalasHapus
  10. Suwung di bahasa Jawa artinya kosong

    BalasHapus
  11. Nambah kosakata baru nih, Teh.
    Ng... Anu... Jaka sekali-kali boleh kok maksa. *eh

    BalasHapus