[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Welas Asih

Selasa, 08 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Welas Asih


Siang ini gerah. Matahari bersinar terik, seakan ingin menyapukan cahayanya ke seluruh belahan bumi yang sedang mengalami terang tanpa terkecuali. Jaka dan Rara baru selesai makan siang, lalu memilih untuk duduk-duduk di taman untuk menyejukkan badan.

"Sini..." Jaka meraih Rara untuk rebahan di pangkuannya.

Rara segera menurutinya dengan senang. Suaminya itu bukan tipe romantis yang rajin merayu dan memberikan bunga. Tapi segala perhatiannya melalui ucap dan laku selalu membuat hatinya lumer. Jaka yang legawa dalam bertindak, yang tenang dalam berucap --semua dilakukannya dengan penuh kesadaran. Sesederhana itu saja, dan Rara mabuk kepayang dibuatnya.

"Kamu itu welas asih banget, deh..." katanya tak bisa menyembunyikan pujian. "Gimana biar bisa begitu, sih?"

"Ah, kata siapa," sahut Jaka acuh tak acuh. Ia tidak terlalu suka dipuji. "Welas asih ya ngga digimana-gimanain lah..." ia mengelus-elus rambut istrinya dengan penuh sayang.

"Ngga ada caranya?" tanya Rara serius. Ia mengharapkan jawaban seperti, "Ada meditasi untuk selalu bersikap begitu", atau, "Mudra Anahata aja selama sekian waktu", tapi seperti biasa, jawaban Jaka itu suka di luar dugaan.

"Welas asih itu sifat. Dan ini butuh praktek. Tidak perlu di usahakan.." jelas Jaka. 

Rara diam, merenungkan.

Jaka tersenyum memandang istrinya. "Welas asih itu otomatis.. tak perlu diupayakan. Justru kalau diupayakan bisa menciptakan konflik," ia menambahkan. "Setelah sadar sepenuhnya tentang Sang Maha, maka tak perlu belajar welas asih. Sudah demikian adanya saja." 

Kali ini, Rara mengangguk. Teringat lagi ia akan dua sifat utama Sang Maha, rahmaan dan rahiim. "Dan Sang Maha adalah Cinta itu sendiri, ya?" sahutnya. "Semua pikir, ucap dan laku yang berlandaskan Cinta, dengan kesadarannya, maka welas asih terjadi begitu saja tanpa disengaja..."

Jaka tersenyum saja. Ia selalu suka jika Rara bisa menarik kesimpulannya sendiri dengan baik. 

"Aku jadi kasihan sama yang ngga berangkat atas nama Cinta..." Rara bergumam. 

"Ya... Sebab itu, ajaran harus disyiarkan dengan penuh kelembutan. Sudah menjadi hukum alam, kalau diajarkan dengan penuh ancaman, orang akan cenderung berlaku penuh dendam," Jaka membenarkan istrinya. 

"Tingkat kesadaran kolektif, dengan demikian, mudah sekali diukur. Lihat sekeliling, dan saksikan bagaimana orang-orangnya berperilaku. Penuh welas asih kah, atau mudah sekali tersinggung lalu marah?" lanjut Jaka. "Yang jelas, semua itu adalah hasil dari yang pernah diajarkan."

Rara jadi bergidik. Ngeri membayangkan bagaimana masyarakat kebanyakan bertindak. "Orang-orang banyak yang panasan..." katanya.

Jaka tertawa. "Ngga usah takut," balasnya. "Kalo hot-nya kayak kamu pasti tentram damai deh negeri ini." Sambil berkata begitu, Jaka melakukan pandangan penuh arti pada istrinya.  

"Iiih," Rara jadi ikut tertawa. Lalu ia bangkit dan berlari ke dalam rumah. Berharap suaminya mengejar dan.....

********
Baca kisah mereka tentang pelajaran hidup lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

*suwun pelajarannya, mas Guru 

1 komentar:

  1. Romantis... Pengen deh punya suami kayak jaka, yang welas asih he..he..😁

    BalasHapus