[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Hukum Alam dan Kemanusiaan

Rabu, 26 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Hukum Alam dan Kemanusiaan


Sejoli Jaka dan Rara sedang di atas geladak kapal, dalam perjalanan lautnya menuju pulau Dewata untuk ikut merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Kedua hari raya itu memang berdekatan, karena merupakan serangkaian perayaan atas kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (ketidakbenaran), serta persembahan kepada Tuhan atas anugerah kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahteraan.

"Indah sekali..." seru Rara girang. Ia sudah ber-selfie beberapa kali dan mengabadikan banyak pemandangan dalam memory DSLR-nya.

"Kuasa Sang Maha itu lebih terlihat di alam terbuka seperti ini," kata Jaka sambil terpesona pada ombak dan lautan.

Rara ikut mengangguk dan berdiri bersandar di samping suaminya. "Dan betapa hukum alamNya sangat terasa..." sambungnya sambil membenahi rambut yang tertiup-tiup angin. 

"Hukum alam yang bagaimana?" tanya Jaka.

"Yaa.. semua.." Rara menjawab dengan gumaman. "Arah angin, gravitasi yang melatar belakangi banyak kejadian, seperti pasang-surutnya air laut."

Jaka tersenyum. "Ya, hukum alamNya memang memutar laku dan mewadahi semua tatanan di jagad beserta isinya," jelasnya. "Sabdo Palon, hukum yang tanpa awal dan tanpa akhir, yang berlaku menyeluruh tanpa diskriminasi, dan konsisten tanpa perubahan, demi kemaslahatan bersama."

"Selain itu, ada satu hukum lagi yang IA berlakukan di sini," sahut Rara. 

"Apa tuh?" Jaka bertanya dengan retoris. Tentu saja ia tau jawabannya.

Rara meleletkan lidah, tau bahwa suaminya itu hanya iseng saja bertanya. "Hukum Kemanusiaan, atau Noyo Genggong," katanya kemudian. "Yang berlandaskan pada hikmat dan kebijaksanaan, deliberation and wisdom, yang tertulis dalam sanubari setiap hambaNya."

Jaka tersenyum lagi. "Sebab kita semua adalah wakilNya di bumi. IA bersemayam dalam sanubari, sebagai petunjuk untuk seluruh umat agar saling tepa selira, hidup damai berdampingan demi kelestarian peradaban, tanpa membeda-bedakan."

"Wah, suamiku pintar," Rara menjawil pipi Jaka. 

Yang dijawil mengedipkan mata dengan genit, lalu melanjutkan, "Oleh sebab itu, segala ucap dan laku, perintah dan larangan berlandaskan kesadaran, dan bukannya reward and punishment. Yaitu pertimbangan yang serasi antara pikiran dan hati."

Rara mengangguk. "Ya... Tidak perlu sampai mensakralkan ajaran, atau bersikap fanatis. Hidup selaras dengan hukum alam, dan menuruti kata hati sudah cukup," katanya.

"Dengan itu, niscaya surga atau neraka dunia didapatkan," lanjut Jaka. "Berupa hidup yang aman-tenteram, bahagia-berkelimpahan, atau sebaliknya, penuh ketakutan akan ancaman, berada dalam kemiskinan dan kebodohan, dan keadaan tidak menyenangkan lainnya."

"Jadi nanti saja, ya, ngomongin surga-neraka di akhirat?" Rara tersenyum. "Bukan wilayah kita untuk bicara apalagi menghakimi juga, bukan?"

"Wah, istriku pintar," gantian Jaka yang menjawil pipi Rara. Dan ia tidak hanya menjawil, tapi juga memeluk pinggang istrinya dan  berbisik, "Nanti malam, yaa..."

Rara hanya tertawa menanggapinya.

********

Baca kisah mereka yang lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar