[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Mandala

Jumat, 03 April 2020

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Mandala



Hari ini Jaka dan Rara masih di rumah saja, mengikuti saran pemerintah untuk membantu menghentikan penyebaran pandemi dengan membatasi aktivitas sosial yang kurang diperlukan. Walau keduanya tetap pergi ke kantor masing-masing jika perlu sesuatu di sana, atau malah nongkrong di cafe kesukaan untuk sesekali menyisip kopi, tetap saja keadaan itu membuat bosan. Terutama bagi Rara. Ia sudah mengisi waktu luangnya dengan menonton serial lama favoritnya, mengobrolkan hal-hal penting tidak penting di aplikasi pesan instan bersama teman-temannya dan sebagainya, tapi kejenuhan masih melanda. 

"Aku ngapain lagi doong," rajuknya manja pada Jaka. Sambil begitu, dimainkannya jari pada dada suaminya.

Jaka, yang sedang asyik bertarung dalam dunia maya mau tidak mau jadi terusik. Hanya Rara yang bisa membuatnya kehilangan konsentrasi seperti itu. "Maunya diapain...?" tanyanya sambil meletakkan gawai. Setelah itu, tangannya bergerilya, mencari lekukan pinggang istrinya dan mulai meraba...

"Ngga mau diapa-apain," yang diraba mengelak sambil cemberut. 

Jaka tertawa. "Kan tadi nanya mau diapain..." ia membela diri.

"Ngapain," Rara merajuk lagi, "bukan diapain." 

"Oh salah ya?" yang dicemberuti tergelak. "Ya udah, kita jadi mandala, yuk." 

Rara berkedip dua kali, berusaha mencerna sebelum akhirnya menyerah dan bertanya, "Jadi apa?"

"Jadi mandala," sang suami tersenyum. "Mungkin kita semua sekarang ini dikondisikan alam untuk banyak menghabiskan waktu di rumah, supaya bisa lebih memberkati sesama. Jadi mandala yang memberi dukungan bagi semua makhluk secara energi."

Rara manggut-manggut. "Caranya?" 

Alih-alih menjawab, Jaka mengambil posisi duduk sila di lantai, lalu menengadahkan tangan kanannya ke arah Rara. "Sini," ajaknya.

Sang istri manut. Ia menerima tangan suaminya dan duduk di sampingnya. Rara selalu suka jika diajak meditasi bersama. Kemenyatuan mereka terasa lebih nyata dalam kekosongan yang tidak hampa itu. Bertemu di titik nol, di mana semua keberadaan seakan lebur jadi satu.

"Terus apa?" Rara bertanya lagi. 

"Apa yang kamu rasakan saat menolong orang lain yang sedang membutuhkan?" Jaka menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan --sungguh khasnya. 

Butuh dua kedipan lagi sebelum Rara menjawab. "Bahagia? Haru?" katanya ragu.

Jaka meringis. "Saat itu, cakra anahatta-mu terbuka selebarnya. Di sanalah tubuh emosi berada, sehingga perasaan apapun --suka maupun duka-- membuat kita terkadang ingin mengelus dada," ia menerangkan. "Simpul energi di tengah tubuh itu bergetar dalam caranya sendiri, menghasilkan resonansi yang menyebar ke segala arah hingga tangan pun --disadari atau tidak-- tergerak sana." 

"Owh..." Rara tersenyum dalam kepahaman. Teringat ia, akan perasaan yang menguasainya setiap saat berhasil memberikan bantuan dan menyaksikan tatapan mata mereka yang menerima keberlimpahan darinya. Hormon endorfin berlepasan secara alamiah, meluap-luap di dalam tubuh, lalu menguar memancarkan kebahagiaan. Dipejamkannya mata sejenak, untuk sekadar menikmati lagi momen-momen keharuan yang secara otomatis berputar ulang di kepalanya. 

Jaka ikut tersenyum melihatnya. Dikecupnya kepala sang istri itu dengan penuh sayang. Pada dasarnya, Rara adalah salah satu makhlukNya yang memiliki celah cukup besar di tubuh emosi. Ia mudah terpancing perasaannya, baik positif maupun negatif, dan sangat ekspresif. Rara bisa sangat all out dalam memberikankan bantuan, sekaligus gampang baper, membuat Jaka harus ekstra berhati-hati terutama menjelang datang bulan.

"Sejatinya, setiap kita adalah mandala," Jaka meneruskan. "Dengan niatan yang tulus untuk berbagi kasih, cakra jantung akan serta merta memancarkan energi yang dahsyat. Membentuk pusaran gelombang nir-indera, tapi dampaknya luar biasa bagi seluruh keberadaan. Kita adalah sebuah wujud yang mampu menjadi pemancar kebaikan bagi sesama, melalui getaran kasih yang kita resonansikan."  

Rara ternganga. "Waw..." hanya itu yang bisa dikatakannya.

"Bersediakah, jadi mandala?" Jaka bertanya lembut sambil mengelus pipi Rara dengan buku jari.

Rara masih tidak mampu berkata apa-apa, saking takjubnya dengan kemegahan setiap pribadi ciptaanNya, jadi ia mengangguk saja. 

"Yuk, hening," Jaka kembali mengajak sambil membenarkan posisi duduknya.

"Apalah aku ini tanpamu..." dalam keharuan, tiba-tiba Rara mencium dan memeluk suaminya erat-erat. "Terima kasih untuk pelajaran-pelajarannya yaa..."

"Duh, jangan gini ah, Ra..." yang dipeluk protes. "Kamu udah godain aku tadi loh... Kita ke kamar ajalah yuk!" ia mulai meraba lagi.

Rara tertawa sambil melepaskan diri dari tangan Jaka, mengambil posisi duduk meditasi, mengabaikan kenakalannya.

Jaka mengernyit, mencoba mengembalikan kesadarannya yang nyaris hilang. Ia menarik dan mengembuskan napas beberapa kali sebelum akhirnya kembali bersila.

"Seperti biasa," katanya memberi arahan, "niatkan terhubung dengan Sang Sumber segala, terhubung dengan sang Diri Sejati, terhubung denganku, lalu arahkan perhatian pada pusat hati..."

Setelah itu, keduanya tenggelam dalam keheningan yang menyamankan. Berdua merasakan kemenyatuan, lebur dalam kekosongan yang penuh daya. Menyatukan kemampuan, meradiankan energi kasih murni untuk semua... 

********
*Terima kasih untuk Dimas Ksatria Cahaya atas pelajaran dan inspirasinya. Rahayu. 

Baca lagi kisah mereka yang lain di Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar