[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ego dan Egois

Jumat, 17 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ego dan Egois


Siang ini panas, walau awan-awan sudah mulai berarakan untuk memberitakan bumi Parahyangan bahwa ia akan kedatangan sang hujan. Rara masih menunggu jam mengajarnya tiba selepas tengah hari nanti, jadi ia duduk-duduk saja sambil membaca majalah, sampai tetiba telepon genggamnya berbunyi...

"Halo..." Rara menyapa suaminya.

"Yaa..." yang disapa menjawab.

"Kenapa?" tanya Rara dengan tak melepaskan pandangan dari majalah.

"Hm? Ngga... Ngga ada apa-apa," jawab Jaka lagi.

"Gimana sih, nelpon kok ngga ada apa-apa," sahut Rara. Tapi tawanya segera menyusul. Jaka memang begitu, suka tiba-tiba melakukan sesuatu tanpa berpikir, hanya mengikuti kata hati.

"Terus masa kamu yang nelepon tapi aku yang harus ngomong?" Rara pura-pura protes. "Nanti aku dibilang egois..."

"Egois itu apa sih..?" Jaka menjawab dengan khas, seperti biasanya jika ingin berbagi pelajaran.

"Yang ngga bisa mematikan egonya?" jawab Rara sekenanya, sambil membolak-balik majalah. 

"Ego itu ada atas kehendakNya," sang suami berkata lembut. "Bukan untuk dimatikan."

"Lah tapi kalo ngga dimatikan nanti jadinya egois?" kali ini Rara mulai serius.

"Ego itu, menurut KBBI, adalah diri pribadi," Jaka menjelaskan. "Rasa sadar akan diri sendiri, konsepsi akan diri sendiri."

Rara diam saja untuk mencerna.

"Oleh sebab itu, maka ego tidaklah untuk dimatikan. Ia ada untuk manusia menyadari Aku-nya, percikan Sang Maha pada setiap insanNya," lanjut Jaka. "Dengan menyadari egonya, maka kita mengenal diri sendiri, dan memiliki konsep-konsep tertentu mengenai dirinya."

Rara masih diam, jadi Jaka meneruskan,

"Konsep-konsep itu membuat setiap diri unik -sebagaimana IA ingin satu per satu hamba itu berciri khas- sehingga bisa saling melengkapi," katanya. "Ada yang pemalu, ada yang percaya diri, ada yang suka menulis, ada yang senang memasak."

Di satu ujung telepon, Rara mengangguk-angguk mulai mengerti.

"Dengan menyadarinya, maka setiap orang akan tau apa yang menjadi perannya di dunia. Dan kalau sudah paham lakon masing-masing, niscaya tidak ada acara rebut-merebut, semua sibuk menjalani misinya sendiri-sendiri saja..." katanya berkesimpulan.

Di ujung satunya, terdengar Jaka tertawa. Ia suka jika istrinya sudah mulai unjuk suara.

"Hanya saja, ke-Aku-an itu idealnya diungkapkan sewajarnya," sambung Jaka. "Karena pada dasarnya semua berasal dari Aku yang sama."

"Beda-beda, tapi sama?" Rara bingung. Ia jadi teringat pada kalimat Bhineka Tunggal Ika...

"Ya memang beda, kalau sama namanya seragam," Jaka mengajak guyon. "Tapi jika sebuah kekhasan membuat seseorang lupa akan keseragaman, maka bisa menimbulkan perasaan-perasaan yang sifatnya mengungguli. Dari sanalah muncul egois."

"Ngga ngertiii," Rara melenguh panjang.

"Taman itu berisi banyak bunga, Ra," sang suami memulai analoginya. "Mereka sama-sama bunga, walau jenisnya berbeda. Namun demikian, mawar tidak bersikap tinggi hati di depan melati, atau mengusili anggrek, hingga kemudian melati dan anggrek sakit hati lalu menjelekkan si mawar."

Kali ini gantian Rara yang tertawa. Sungguh tidak bisa dibayangkan, betapa ramainya taman jika semua bunga saling bergosip.

"Maka dari itu, sadarilah keakuan sebagaimana adanya, dengan tanpa merasa lebih dari yang lainnya," Jaka berkata sambil tersenyum. "Yang namanya merasa itu dapat mengacaukan, karena ilusif -mengecoh."

"Merasa sayang istri padahal enggak, gitu ya?" tanya Rara jahil. 

"Oh, kalo itu bukan ilusi...," balas Jaka tak kalah jahil. "...cuma fatamorgana."

"Jakaaa," Rara melenguh lagi.

Di ujung sana, Jaka tergelak. Lalu diucapkannya sesuatu yang dirasakannya hatinya, "I love you, Ra. Dan informasi itu kudapat dan diolah sebagaimana adanya saja, bukan hasil permainan pikiran."

Di ujung sini, Rara tersenyum dan berkata, "Aku tau. Love you, too..."

********
 *matur nuwun mas Setyo atas wedarannya, rahayu

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

1 komentar: