[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Menyadari Lakon

Rabu, 22 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Menyadari Lakon


Hari masih pagi saat Rara dan Jaka duduk santai berdua di depan tv. Dari sebaran-sebaran di grup pesan instan, mereka sudah mendengar tentang kabar kerusuhan di Jakarta. Dengan sedih, Rara menyaksikan beritanya sambil menyandarkan kepala pada Jaka. 

"Kenapa ya, harus ada seperti ini?" tanyanya separuh menggumam.

Jaka tersenyum mendengarnya. "Kenapa ngga?" ia balas bertanya.

"Loh??" Rara sontak mendongakkan kepala. "Kenapa ngga harus ada kerusuhan, maksudmu?"

"Ya, kalau sesuatu harus terjadi ya terjadi, Ra..." jawab Jaka penuh sabar. "Sederhana saja kan, sebenarnya?"

Rara terdiam. Ya memang kalimat itu sederhana saja, tapi kenapa sulit sekali dipahami, ya?

"Kalau sesuatu sudah memenuhi syarat-syarat untuk bisa terjadi, maka 99,9% akan terjadi," Jaka menjelaskan lagi. "Familiar dengan angka 99,9 itu, kan?"

Rara mengangguk.

"Ada ruang dan waktu yang pas, ada hukum sebab-akibat yang mensponsori, ada niat, ada perencana, ada pelaku," sambung Jaka. "Apa yang menghalangi?"

"Perencana!" seru Rara. "Ya, ada yang merencanakan semua ini --bukan DIA, maksudku, tapi orang!"

"Ya memang..." sahut Jaka kalem. 

"Mereka yang ketakutan, merasa kepentingan segelintirnya akan terusik," Rara berapi-api. "Para pengemplang pajak, gembong senjata, mafia migas, dan sebagainya yang menjadi parasit negeri."

"Lalu ada pelaku," Jaka menambahkan. "Mereka yang biasanya lebih di bawah tapi tak kalah bermotif, yang bersedia mengeksekusinya."

Rara merenung sebentar dan berkata pelan, "Sedemikian naifnya, kah, masyarakat bawah itu? Dan sebegitu licik, kah, mereka yang di atas?"

Jaka tersenyum lagi. "Kamu kan tau, ngga semua begitu. Tapi memang ada satu kesamaan di antara mereka," katanya. "Sama-sama bergerak karena ancaman dan ketakutan."

"Maksudnya?" tanya Rara.

"Karena ada ancaman, maka mereka takut, dan ketakutan itu menjadi landasan mereka untuk bergerak," jawab Jaka. "Yang kamu bilang mafia itu, misalnya. Mereka panik karena sumber pendapatannya dibongkar. Tidak rela, uang triliunannya dilacak negara."

"Sedang para pelaku, biasanya karena kebutuhan uang dan ketakutan akan neraka, ya?" Rara bertanya lagi. "Jadi mudah terhasut, khawatir tidak berkontribusi dalam membela apa yang mereka yakini?"

Jaka tertawa. "Nyamankah, gerak berlandas ketakutan?" ia ganti bertanya.

Rara menggeleng. "Enakan kamu," jawab Rara sambil memonyongkan bibir. "Bergerak memberkati bumi Nusantara karena rasa peduli, dan menjalani lakon dengan tulus demi sumbangsih yang tanpa motif terhadap bangsa dan negara, juga keyakinan."

"Kok aku? Ya kita semua, lah..." Jaka jadi kepengin mencium bibir yang manyun itu. "Mari bersama menyadari apa yang menjadi peran masing-masing di muka bumi, di manapun kita berada. Dengan sadar, maka tidak ada yang rebutan. Semua tau jatahnya sendiri-sendiri, ada yang jadi Guru, Astronot, Presiden dan sebagainya. Dengan kesadaran, maka segala gerak akan tertuntun hati nurani. Tidak ada itu yang namanya culas, anarkis atau takut yang bermotif, yang ada hanya ketulusan dan welas asih."

Dalam diam, Rara mengingat-ingat lagi jatah perannya di planet ini sambil merasa-rasakan, apakah landasan geraknya adalah kesadaran, atau ancaman. Lalu ia bersandar lagi pada bahu suaminya, dan kembali nonton berita kerusuhan. Namun kali itu tidak ada lagi kesal di hatinya, kecuali ingin lebih fokus pada lakonnya saja untuk memayu hayuning bawana. Lalu sisanya? Yah, apa yang harus terjadi maka terjadilah. Que sera-sera, what will be will be.

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar