Sedemikan berharganyakah bahagia, hingga harus dicari, dikejar, dijadikan tujuan?
Belakangan ini, saya membaca sebuah artikel yang memetik sebuah thought-provoking quote dari Viktor Frankl, seorang Neurologist dan Psikiater dari Austria;
"It is the very pursuit of happiness that thwarts happiness." ~ Pengejaran kebahagiaan itu sendirilah yang menghalangi kebahagiaan.
Pemikiran tentang mencari bahagia ini sebenarnya sudah berlangsung selama berabad-abad. Buat saya pribadi, sejak kedewasaaan mulai menghinggap, hingga ingin berbagi tulisan mengenainya gegara seorang teman mengirimkan pesan teks berisi curhatannya,
".... tapi bos gw maksa-maksa supaya stay."
"Terus, mau gimana?"
"Ya tetep resign ajalah. Gw pengin nyari bahagia aja di rumah, sama keluarga."
Teman saya itu sedang bimbang, apakah tetap ingin resign dari, atau stay di tempat kerjanya. Lalu, entah kenapa, saya jadi tertegun, mencoba mencerna kata-katanya.
"Nyari bahagia."
Pesan itu belum sempat saya balas, tapi pikiran saya malah melayang, mengingat-ingat keadaan sekarang. Ah, hare gene, di mana lingkungan sudah terpolusi tidak hanya oleh limbah pabrik, limbah rumah tangga, limbah kendaraan, limbah suara, tapi juga limbah prasangka, kebencian, penghakiman, kita tentu saja ingin bahagia.
Tapi.... Apakah teman saya itu betulan akan bertemu dengan apa yang dicarinya, bahagia? Ia seorang wanita karir yang powerful, punya kuasa atas diri sendiri, uang, sampai bawahannya. Apa jadinya jika kemudian 'hanya' pegang uang sebatas jatah bulanan dari suami? Apalagi di zaman sekarang, di mana finansial menjadi masalah yang semakin pelik yang bahkan bisa meruntuhkan bahtera rumah tangga. Saya lalu teringat sebuah joke;
"Uang tidak bisa membuat bahagia. Kecuali uang yang banyak sekali."
Hahaha! Selain masalah keuangan setelah berhenti bekerja, biasanya banyak terjadi aksi 'pura-pura bahagia' yang mengikuti. Misalnya, banyak yang berkata bahagia menjadi fulltime Mom, bisa menemani anak sepanjang hari, padahal sibuk sendiri bersama gadgetnya. Tidak sedikit yang bilang bahagia menjadi full day house wife, tapi mengeluhkan pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Ada juga yang merasa bangga menjadi stay at home Mom, sekaligus mencela-cela para working Mom dengan hati penuh iri.
"Sometimes the 'Mom War' is merely an envy."
Menurut seorang Psikolog, Sonja Lyubomirsky, kebahagiaan adalah;
"Kegembiraan, kepuasan, atau kesejahteraan, yang dikombinasikan dengan perasaan bahwa hidupnya menyenangkan, berarti, dan bermanfaat."
*image from freepik
Akhirnya pikiran saya 'turun ke bumi', dan memberikan pemahaman bahwa 'kalau teman saya menerima dan mensyukuri setiap apa yang selanjutnya terjadi dalam hidupnya setelah berhenti bekerja', maka ya, dia akan bahagia. Merasa cukup dan puas atas apapun keadaannya. Mencari sekecil apapun makna dari setiap kejadian, hingga menjadikannya pelajaran yang bermanfaat, baginya, bagi sesama kelak. Kemudian bersyukur, bahwa orang lain bisa jadi sedang berharap untuk bertukar posisi dengannya. Bahwa wanita di belahan bumi lain bisa jadi sedang angkat senjata demi melindungi anak-anaknya. Dan bahwa dengan berterima kasih, Sang Maha Kaya akan melimpahkannya lebih.
Sebaliknya, memberontak akan berarti beradu dengan kekuatan alam yang sedang bekerja sesuai keinginannya; berhenti kerja. Keadaan sedang berjalan demikian baginya; hanya dapat uang jatah (setidaknya sampai kembali bekerja atau berbisnis), diam di rumah menemani anak, beberes juga memasak, dan tidak bisa berprestasi dalam karir. Melawan semua itu seperti berenang melawan arus; melelahkan dan tidak kunjung sampai di tujuan.
Jadi saya membalas,
"Gimana kalo ngga usah nyari bahagia? Terima aja apa yang nanti bakal terjadi dengan seikhlasnya, sambil terus bersyukur. Nanti bahagianya akan datang sendiri."
Another Student of Life,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar