[] Bilik Menulisku: Secuplik kisah di balik kertas yang buram

Minggu, 17 Juli 2016

Secuplik kisah di balik kertas yang buram

Kelas Inspirasi 2, Bandung, SDN Sukapura, Kiara Condong

Sebenar-benarnya itu, saya minder loh mau ikutan Give Away-nya mbak Uniek ini. Malu sama yang lain yang sudah jago-jago banget dalam urusan per-foto-an, malu sama yang kamera ponselnya sudah sekian pixel-an, malu sama semut merah, pokonya malu lah..... Da saya mah apa atuh, ngga jauh beda sama iklan yucup yang sering di-skip. Ihiks!Tapi daripada penasaran (dan mbak Uniek manggil-manggil lagi di efbi), jadi ya udahlah.. *(pura-pura) kepaksa tapi ngarep hape baru*

Saya ngga punya banyak momen yang dijepret sama kamera ponsel niy, soalnya ya itu tadi, hapenya juga ngambekan, suka nge-hang kalo diajak moto. Insufficient memory, katanya. Soalnya semua foto tersimpan otomatis di g-backup, dan saya ngga ngerti cara setting-nya supaya ngga gitu. Walhasil kalo mau foto, saya harus hapus dulu beberapa, dengan nunggu loading yang lumayan lama, untuk menyiapkan beberapa available space buat foto yang baru. Repot deh.... *ini curhat beneran* 

Udah gitu, makin kesini, hasil fotonya juga makin buram. Dengan lugunya, saya suka coba lap-lapin lensanya, dan hasilnya makin blur. Soalnya ngelapnya niat sampe pake lisol dan kain pel (biar sekalian ngepel). Haha, ngga dink! Tapi yang jelas, ngga tau kenapa, memang begitu adanya. Sampai saya pernah curiga, apa makin tua usia hapenya, kemampuan pikselnya makin turun ya. Jadi minus, gitu, kayak mata. Ngga mungkin ya..? *nanyanya juga beneran*

Eniwei, jadi dengan demikian, saya mau menyatakan kalau saya ngga pake foto-foto baru untuk GA ini, ya mbak Uniek. Saya males ngapusin foto-foto lamanya, dan nanti buram juga hasilnya, abis ngga pake Zenfone 2 Laser ZE550KL sih. Mudah-mudahan mbak jadi kasian sama saya dan menangin saya, ya? InsyaaAllah, aamiin! *eh ini bukan intimidasi ya, cuma harapan dan doa yang jadinya dipublikasikan karena ditulis di sini, uehehe!* Jadi saya mau ceritain kisah dibalik foto secarik kertas ini aja, yang menurut saya amat sangat menyentuh.

Arief, Rafi, Ahmad, Lutfi, Arga, yang sabar dulu ya!

Kertas yang dirobek dari buku tulis yang saya rasa harganya ngga mahal ini (kalau mahal, pasti kertasnya bisa berwarna lebih putih, atau malah kuning pupus sekalian, yang 'eye friendly' seperti keluarannya Morn*** Glory), adalah kerjaannya anak-anak di sebuah SD Negri di bilangan ganjil, eh, Bandung Timur, ketika saya ikutan Kelas Inspirasi Bandung sekitar dua tahunan yang lalu.

Dengan terburu-buru, seorang anak menyalin sejumlah nama di atas kertas itu. Menyalin, adalah karena tadinya setiap anak menulis namanya sendiri-sendiri di secarik kertas kecil. Lalu karena takut hilang, gundukkan kertas kecil berisi nama itu saya mintakan untuk ditulis ulang. Dan begitulah kemudian. Anak laki-laki kecil berkulit legam -yang terkadang ke-gap sedang me-lap ingusnya dengan punggung tangannya- dengan seragamnya yang berwarna putih tua nan dekil itu rurusuhan menyalin.

Di sela pekerjaan terakhir saya di kelas itu, yaitu beberes 'peralatan perang', gunting, spidol, selotip, bra dan celdam (eh bukan ya, yang dua terakhir itu mah perlengkapan perang untuk maju ke kamar mandi waktu jaman nge-kost), saya jadi mau ngga mau berhenti sejenak untuk memperhatikan. Memperhatikan dengan segenap hati yang sedikit linu, melihat kesungguhan anak itu melakukan permintaan gurunya. Belum lagi, teman-teman yang namanya sedang ditulis itu juga ribut mengerubungi. Memastikan bahwa dirinya tidak tertinggal.

Tercenung saya, karenanya. Bukan apa-apa, soalnya ternyata anak-anak itu bisa sampai 'sebegitunya'. Sebegitunya heboh, maksudnya. Soalnya itu hanya masalah pembagian hadiah yang belum merata. Mereka yang belum dapat hadiahnya boleh menuliskan namanya supaya besoknya bisa dapat. Saya kehabisan 'Wishing Star' (begitu saya menamakan hadiahnya) karena bikinnya kurang banyak. Padahal sudah bawa sekitar 400-an loh, dan sudah pula 'mempekaryakan' suami dan anak-anak di rumah. 

Sibuk bantuin Bos Mama bikin Wishing Star

Nah, itu satu contoh dari apa yang dinamakan 'teori tidak selalu sejalan dengan praktek'. Bos-bos dan atasan-atasan suka tutup mata, tuh, soal itu. Dengan 'keseniorannya', kalau mereka bilang 400 wishing star itu cukup, ya pasti cukup. Mereka ngga tau kalau sebenarnya jumlah anaknya lebih dari 400. Padahal suami saya sudah bilang, "Mah, bikinnya dilebihin aja, takut kurang.", tapi si bos Mamah ngga mau tau. Katanya dari data murid yang dipegangnya, itu jumlahnya 400. Dan dia juga langsung ngeles. Katanya kalo ternyata jumlahnya 405 itu karena tiba-tiba ada 5 anak baru. Iya, di tengah semester, di hampir menjelang ujian tengah semester kedua, tau-tau ada yang mendaftar jadi murid baru. 5 orang. Ya sudah. Jadilah bos Mamah keliling jalan Cibadak, nyari-nyari bahan buat bikin lagi wishing star-nya. Dasar si bos keras kepala! PS : 'Bos Mamah' itu saya loh ya..

Yang saya mau ceritakan di sini, dibalik kertas nama itu, tersimpan sebenar-benarnya naluri manusia yang sesungguhnya berjuang. Anak-anak yang masih murni pikiran dan hatinya itu memperlihatkan keadaan sejujurnya what it is like to be a human. Tanpa ragu, mereka menampakkan protes mereka, komplain mereka, atas ketidakadilan. Anak-anak itu tahu benar ('tahu' di sini artinya 'mengerti' ya, dan bukannya makanan seperti 'tempe' itu), bahwa mereka sudah berusaha dengan gigih dan jujur; mengikuti pelajaran dengan duduk manis (kami sempat nyanyi dulu sebelumnya. Begini "Tangan ke atas, tangan ke samping, tangan ke depan, duduk yang manis"), penuh perhatian, dan bahkan menjawab pertanyaan dengan santun (yaitu mengangkat tangannya dan bukan kaki (hehe yaiyalah, Lebay banget ya nge-joke-nya!).

Oleh karena itu, dan karena semua teman sekelas yang lain juga sudah mendapatkan hadiahnya, ke lima anak yang belum dapat itu merasa berhak untuk perlakuan yang sama. Tanpa melihat apakah mereka itu anak-anak dari kalangan apa, dengan orangtua berseragam kerja 'white colar' atau 'blue colar'. Yang mereka tau, adalah mereka harus berjuang untuk mendapatkan haknya. And they did it well. And I gave them their right -si wishing star itu- walaupun agak telat, sehari setelahnya.

Satu lagi yang saya mau coba ceritakan adalah, bahwa kita yang dewasa harus mencontohkan untuk selalu memberikan apa yang menjadi hak orang lain, sekecil apapun itu. Bahkan mencontohkan kesantunan dalam perjuangannya atas hak itu. Entah apa reaksi mereka, kalau saya bersikap ketus bahkan marah-marah karena malas bikin 5 wishing star lagi. Mungkin 5 anak laki-laki itu jadi takut dan ngga jadi minta. Yang dengan demikian saya melenyapkan sikap gagah berani dan percaya diri mereka, hingga suatu saat ketika dewasa nanti, mereka jadi pemuda penakut dan minderan. 

Atau bocah-bocah itu jadi berontak dan mengekspresikannya ke berbagai emosi. Ada yang kesal lalu melempar pulpennya dan menghardik/memukul siapapun yang sekiranya bikin dia tambah kesal di hari itu. Ada yang marah dalam diam. Dendam tidak berujung, entah menyalahkan dirinya sendiri atau pada keadaan. Yang dengan demikian, saya sudah membangkitkan sifat dengki dalam diri mereka, yang mungkin saja diemban sampai dewasa dan tua nanti. Habis bagaimana lagi? Saya sudah dengan sukses memperlihatkan pada calon khalifah bumi itu, betapa kejam dan tidak adilnya dunia!

Jadi sungguh, saya jadi senyum-senyum sendiri siang itu. Apalagi saat anak-anak itu berganti mengerumuni saya sambil berlomba berkata, "Makasih ya Bu. Datang lagi ke sini yaa!". Beberapa di antara mereka, yang perempuan-perempuan, bahkan ada yang memeluk saya, menyatakan apresiasinya. Saya sampai kaget, tercekat mirip ayam yang ketelen karet, merasakan banyak sekali cinta dan energi di ruang kelas itu, padahal saya ngga merasa ngasih banyak atau kemewahan. Cuma sebentuk 'bintang harapan' yang mereka bisa simpan di selipan buku atau di laci, sambil mengucapkan dalam hati apa yang menjadi cita-cita mereka di masa depan.


"Ini namanya 'Wishing Star'. Itu dalam bahasa Inggris loh, tau ngga artinya? Artinya 'Bintang Harapan'. Caranya, coba kalian pejamkan mata, lalu bisikkan harapan, cita-cita kalian, dengan sepenuh hati. Terus simpan baik-baik wishing star ini ya, jangan sampai hilang! Nanti dua puluh tahun lagi, saat kalian sudah jadi arsitek, atau dokter, atau pemain Persib, atau Manajer artis seperti yang kalian bisikkan sekarang ini, wishing star ini dicari lagi, ya. Soalnya dia pernah jadi saksi atas harapannya kalian. Bisa ya? Yuk mulai merem....!"

Begitulah, mbak Uniek, dan teman-teman lain yang sudah sudi mampir dan bacain kisah dengan plot dan grammar yang rada gaje ini. Maaf ya kalo jadi pusing.. *minta maafnya sambil megangin telinga a la sinetron India. Kali-kali dua puluh tahun lagi saya menyangkal keras saya pernah kecanduan Uttaran, tulisan ini bisa jadi bukti otentik kalo saya penggemar Meethi dan Aakash, juga Muktha dan Vishnu*

Semoga tulisan ini bisa menyampaikan nilai moralnya yaa. Yaitu pertama, bahwa banyak sekali momen yang bisa diabadikan dengan menggunakan kecanggihan teknologi berupa kamera di telepon genggam kita. Hasil jepretannya, kelak akan menjadi saksi atas suatu waktu yang di-freeze berupa sebuah foto itu. Dan kemudian, akan ada seribu kata atasnya, because a picture speaks a thousand words. 

Yang kedua, tentang foto kertas buramnya, bahwa kepada anak-anak, kita harus selalu berusaha memberi contoh yang baik. Bahwa dunia itu penuh keadilan, kepedulian, pada semua, tanpa melihat latar belakangnya. Kalaupun anak-anak itu kelak menyaksikan bahwa kadang yang terjadi adalah sebaliknya, setidaknya mereka -atas hasil didikan kita, insyaAllah, aamin- adalah penyeimbangnya. Menjadi kebaikan di antara segala kejahatan dan ketidakadilan.

Make hay not war. Peace and justice for all <3

post signature

2 komentar:

  1. Wah aku setahun lalu ikut Kelas Insporasi juga... Bulan September Insyallah ikutan lagi di Semarang

    BalasHapus
  2. Menuliskan harapan dan cita2, emang kdng perlu ditulis supaya diinget terus dan jd pemacu diri. Idenya keren wishing star-nya mbak :)

    keluargahamsa.com

    BalasHapus