“Each day of our lives,
we make deposits
in the memory banks of our children.”
~ Charles R. Swindoll
Sebagai
ibu dari dua anak, saya sering menghabiskan waktu siang saya di kantin sekolah.
Tempat itu memang menjadi favorit para ibu, karena beberapa pekerjaan dapat
dilakukan sekaligus di sana; mengobrol, menikmati camilan, dan tentu saja,
menunggui anak-anak selesai sekolah. Bayangkan, 'ngobrol, 'nyamil, 'nungguin anak. What a perfect job, hihi!
Siang
itu, suasana kantin sekolah ramai seperti biasanya, dan bertambah gempita pada
saat segerombolan anak menghampiri kami para ibu yang menunggu mereka.
Anak-anak kelas tiga Sekolah Dasar itu berebut cerita tentang teman sekelas yang
baru saja tertangkap tangan sedang mencuri uang. Berita besar itu tentu saja
mendapat tanggapan serius dari kami, yang kemudian terus mengorek cerita dari
anak-anak usia 8-9 tahun itu. Terutama saya, yang walaupun tidak bertanya
sebanyak ibu lain, tapi hati saya remuk redam mendengarnya.
Ya,
saya ingin menangis mengetahui berita itu. Pada saat ibu lain mencecar dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti, “Siapa namanya?”, “Yang mana sih, anaknya?”,
“Memangnya uang jajannya kurang?”, hanya satu yang terlontar dari mulut saya,
“Kalian tahu darimana?”. Sungguh saya ingin jawaban, mengapa anak-anak itu bisa
sampai tahu.
Lalu,
setelah selesai dengan pertanyaan, ibu-ibu mulai mengeluarkan pendapatnya
masing-masing. Teori-teori seperti ‘anak nakal’, ‘pencuri cilik’, ‘anak broken
home’, dan lain-lain dengan fasih keluar. Tak puas hanya mencerca sang anak, si
orang tua pun kena sasaran dengan ‘orang tua yang tidak bisa mendidik’, ‘ibu
yang kurang perhatian’, ‘ayah yang tidak pernah di rumah’, dan sebagainya.
Sedangkan saya hanya punya satu teori yang langsung terlintas, Labelling
Theory.
Apakah
itu Labelling Theory?
Labelling theory is the theory of how the self-identity and behaviour of individuals may be determined or influenced by the term used to describe or classify them. Dalam bahasa, teori Pelabelan adalah teori tentang bagaimana identitas diri dan perilaku individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang digunakan untuk menggambarkan atau mengklasifikasikan mereka (Wikipedia). Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert dan Interaksionisme Simbolik dari Herbert Mead, yang dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963.
Jadi, menurut para ahli Sosiologi tersebut, pemberian label, predikat, atau 'cap' pada seseorang dapat membentuk karakter orang tersebut. Jika seorang anak dikatakan 'pemalas', maka ada kecenderungan si anak akan membentuk dirinya sendiri menjadi pemalas. Kalau disebut 'nakal', maka bisa jadi si anak akan hidup sesuka-sukanya sendiri, membangkang orang tua, selalu bertindak di luar norma. Mengapa tidak? Toh sudah terlanjur dilabeli seperti itu. Demikian pula halnya dengan seorang anak yang terus menerus dipuji 'pintar', tentu ia akan dengan senang hati berkelakuan sesuai dengan apa yang dibilang orang-orang terhadapnya. Nah, bisa dibayangkan bukan, apa jadinya bila seorang anak berumur 8 tahun diberikan cap 'maling'?
Dari sekian pertanyaan yang berakhir dengan pelabelan, saya bersikukuh ingin tahu darimana anak-anak mendengar berita tentang si 'maling cilik' itu. Geramnya saya! Tidak pantas rasanya menyebarkan keburukan seseorang, apalagi mengenai seorang anak kecil yang menjadi siswa di sana! Apa yang akan terjadi pada anak itu keesokan harinya di sekolah, tempatnya menimba ilmu? Bagaimana perasaannya? Malu? Marah? Sedih? Terasing? Apa yang orangtuanya akan lakukan terhadapnya? Menghukum? Memukul? Lebih jauh lagi, ini yang paling saya khawatirkan, bagaimana si anak akan menjalani hidupnya kelak?
Sungguh
satu hal yang saya sesalkan adalah, kami semua sebagai guru dan orang tua
kurang mampu bersikap bijak. Tanpa menelaah lebih lanjut, kami menghakimi si
anak dengan memberikan label yang negatif. Padahal setelah diselidiki, ternyata
‘maling cilik’ itu bertindak demikian karena tidak pernah diberikan uang jajan
oleh orang tuanya. Keterbatasan ekonomi membuatnya ‘terpaksa’ mencuri uang.
Kalau sudah begitu, siapa yang harus disalahkan? Orangtuanya yang tidak mampu,
atau anaknya yang kepingin jajan, karena setiap hari selama tiga tahunnya
bersekolah ia harus menelan ludah saat teman-temannya menjilati es krim dan
menggigit kue cubit dengan nikmat? Mengertikah orang-orang akan perasaannya? Tahukah mereka akan dampak dari cemoohan dan pelabelannya??
Dan
sungguh, saya tidak mampu membayangkan, apa jadinya si anak kelak. Menjadi
maling dompet kelas teri di terminal atau koruptor kelas kakap di pemerintahan,
sebagai pembenaran atas cap yang didapatnya puluhan tahun silam? Menjadi
penjahat kawakan karena sudah kadung dicap demikian sejak ia belum lagi bisa
membedakan mana yang hak dan mana yang bathil? Atau syukur-syukur, ia menjadi
sangat membenci julukan masa kecilnya itu dan bersumpah untuk hidup sebagai
orang sukses yang jujur dan dermawan? Entah, hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Yang
saya tahu, saya akan ikut merasa berdosa bila suatu hari nanti saya melihatnya
di televisi dengan wajah ditutup dan memakai baju belang-belang putih-hitam.
Oleh
karena itu, yuk kita berhenti memberikan label negatif pada orang lain, terutama
anak-anak. Peran orang tua dan guru sebagai lingkungan terdekat akan menjadi
amat sangat penting bagi pembentukkan karakter para penerus bangsa. Kita
seharusnya menjadi idola mereka, panutan dalam berbagai tindakan, bukan sebagai
hakim yang menjuluki anak-anak dengan hal-hal negatif, yang mungkin akan
terngiang di telinga dan hati seumur hidup mereka. Mari sama-sama membimbing
pemimpin-pemimpin cilik kita itu dengan julukan-julukan positif yang berbalut
doa. Setuju, ya?
“If you want your
children to improve, let them overhear the nice things you say about them to
others.” ~ Dr. Haim Ginott
Aku ikutan miris membacanya :(
BalasHapusBener banget, kita (orangtua) kadang suka lupa, dengan melabeli anak-anak, padahal itu bisa berdampak ke perkembangan mereka kan ya.
Sejak tahu kalau labeling gitu berdampak buat anak, aku berusaha untuk tidak mencap anak-anak dengan gampangnya, semisal anak nakal, anak bodoh, dsb.
setuju banget mom, jujur kadang tanpa sadar melabeli anak sendiri, terkadang pas nimang-nimang bilang gini" anak sayang anak sayang, anak ileng anak ileng", karena si bayi lebih ireng dari 2 kakaknya...
BalasHapusjulukan pada anak itu penting ya bu. tapi ada juga yang ngerasa ngga penting. Panggil nama aja, katanya.
BalasHapuspanggil namanya saja, jangan pakai juluk2an, kasihan anaknya yang di juluki....
BalasHapuswww.aqiqahberkah.com