[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Bertanya

Rabu, 06 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Bertanya


Sore itu Jaka dan Rara sudah ada di rumah. Sedang santai-santai saja tanpa ada panggilan tugas yang harus diselesaikan atau deadline tulisan yang memaksa dikerjakan. Seteko teh hijau dan uli goreng bumbu kacang sudah disiapkan Rara untuk menemani leyeh-leyeh mereka di teras depan. 

"Ngg..." Rara membuka obrolan dengan ragu. "Anu..."

"Apa?" Jaka tertawa melihatnya. Tumben, biasanya Rara begitu spontan dan tanpa beban.

"Aku boleh nanya, ngga?" jawab Rara masih dengan ragu.

Jaka tertawa lagi dibuatnya. "Tanya ya tanya aja..." katanya. "Masa mau tanya aja pake nanya dulu."

"Ya namanya juga bingung..." Rara membela diri. "Sapa tau pertanyaannya salah, dan malah jadi masalah..."

"Itulah kerugian orang pada umumnya --kalaupun itu boleh dinilai sebagai kerugian," kata Jaka. "Padahal ya bebaskan saja diri untuk bertanya, sekonyol atau secanggih apapun pertanyaannya. Masa mau penasaran seumur hidup? Nanti kalo gentayangan gimana?" sambungnya terkekeh geli.

Mau tidak mau, Rara ikut tertawa, walaupun jadi agak takut sendiri pada ide tersebut.

"Pertanyaan ngga akan menimbulkan masalah, kah?" tanyanya lagi.

"Ya apapun yang terjadi setelahnya ya tinggal direspon saja. Maunya respon gimana?" Jaka menjawab dengan pertanyaan.

Bingung, Rara tidak menjawab dan memilih diam.

"Hanya ada dua, yang mendasari gerak langkah seseorang," Jaka meneruskan. "Cinta, atau ketakutan. Nah, apa yang mendasari gerakmu?"

"Apa bedanya?" Rara tambah ragu.

"Nyaman kah, berbuat sesuatu karena rasa takut?" Memang sudah jadi ciri khasnya Jaka, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. 

"Kira-kira bagaimana kalau kata-katamu, perbuatanmu, bahkan ibadahmu berdasar ketakutan?" sambung Jaka. "Atau kamu memilih, bahwa segala apa yang dilakukan hanya karena cintaNya dan seluruh alamNya?"

"Karena cintaNya..." jawab Rara mbrebes mili. Jangankan karena takut, ia bahkan merasa bahwa ibadahnya bukan juga karena janji akan pahala. "Aku ingin semua gerakku karena nuraniku yang bicara atas nama cinta, karena nyaman sekali rasanya..."

Jaka tersenyum. "Ya begitulah Rara, bukan?" Jaka bertanya retoris saja. "Yang sudah belajar melampaui dualitas, tidak lagi menilai salah-benar, dosa-pahala, bahkan surga-neraka? Landasan gerakmu adalah bisikan cintaNya pada jiwa, agar selaras denganNya, dan selalu berdansa dengan semestaNya. Begitu bukan?"

Rara tersenyum dan mengangguk. "Tapi..." Rara kembali ke pertanyaan yang sejak awal ada di benaknya. "Di manakah IA, sampai semua orang bersaksi atas diriNya tanpa pernah sekalipun melihatNya, mendengarNya, menciumNya, menyentuhNya?"

"Aku rasa kamu sudah tau jawabnya, sebagaimana jawaban hanya akan datang bagi yang sudi bertanya," kata Jaka. "Bahwa sesiapapun yang mengenal dirinya sendiri, maka ia mengenalNya. Sungguh sebuah jawaban klise yang sebetulnya sudah digaungkan mliyaran kali namun tidak semua orang paham, bukan?" 

Rara mengangguk lagi. "Maka bertanyalah, jika belum paham, begitu ya?" tanyanya juga beretorika. "Tanya sampai pertanyaannya terhenti pada setiap sisi yang dihadirkan. Sampai hati ini puas dan lapang tanpa penyangkalan."

"Iya," sahut Jaka. "Tanyakan saja semua tanpa ketakutan, IA bukan tipe baperan yang gemar menghukum orang yang ingin mengenalNya, kan?"

Jaka menyeruput tehnya sebelum meneruskan. "Tanyakan semua. Tentang IA yang bisa dirasa namun kasat indriya. Tentang hidup dan kematian. Tentang mengapa dan untuk apa kamu dihadirkan. Tentang kefanaan dan keabadian."

Jaka mengelus rambut istrinya lalu merampungkan wejangan, "Lampaui semua halangan ketakutan, bebaskan diri dari ancaman, dan temui IA yang ternyata sungguh penuh cinta. Supaya tau sendiri rasanya bertemu denganNya, dan bukannya dapat dari hasil cerita semata." 

Rara tersenyum untuk berterimakasih pada suaminya yang mulai makan uli ketan. Lalu, sambil ikut menyisip teh hangat, didengarnya desau angin yang menyampaikan pesan, 

“Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”. 

Tuhan itu dekat meski raga ini tidak dapat menyentuhNya, dan IA ada walau jauh dan akal ini tidak dapat menjangkauNya.

*to: bapak Dhany Ali 😇✨🙏

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar