[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Setetes Air dan Samudera

Jumat, 08 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Setetes Air dan Samudera


Jaka dan Rara sedang sibuk dengan deadline-nya masing-masing, di rumah. Jaka memilih duduk tegak di kursi makan bersama ipad-nya, sedang Rara bergelung nyaman di sofa dengan laptop di pangkuan. Tidak ada bebunyian, kecuali suara Ed Sheeran dari gawai Rara, mendendangkan sebuah lagu kekinian yang membawa pada suasana hati rileks.

"Darling just kiss me slow, your heart is all I own..." Rara turut bersenandung. 

Jaka mendongak. "Itu nyanyi apa minta?" tanyanya. Sudah cukup lama ia bekerja, saatnya rehat sejenak.

"Baby I'm dancing in the dark, with you between my arms..." Jaka berbisik di telinga istrinya. Tanpa nada, ia tidak suka bernyanyi, tapi syair itu benar-benar menyuarakan isi hatinya. 

Rara terkikik geli dibuatnya. "Senang ya, kalau bisa mengalir saja," katanya. "Berdansa dengan semesta."

"Iya dong," sahut sang suami. "Hidup itu mengalir saja. Ngga usah terlalu banyak pakai pikiran -kalo ngga terlalu dibutuhkan. Pakai rasa aja..." Jaka meraih Rara ke dalam pelukan.

"Seperti air sungai yang menuju samudera?" tanya Rara sambil meringkuk nyaman. "Yang walau berliku dan berbatu, tapi ia tau ke mana ia akan berakhir?"

"Air apa saja," Jaka menjawab. "Air yang berupa kopi dalam wadah cangkir, air yang berupa teh dalam botol, setetes embun di ujung daun, bahkan air menggenang di selokan, semua kembali ke samudera raya."

Tetiba, Rara jadi tercenung. "Air dalam selokan?" gumamnya. Lalu ego yang memunculkan ibanya datang. "Kasian yang di selokan... Karena apa dia ada di sana?"

"Karena apa coba?" Jaka kumat jahilnya. "Sudah, ngga usah kasian-kasian, konsen menjadi air sendiri saja. Semua orang punya jatah wadah masing-masing sampai waktunya selesai."

"Sampai waktunya selesai?" Rara bertanya lagi.

"Iya, air kan ngga selamanya ada di tempatnya. Bisa diminum, dibuang, menguap..." jawab Jaka. "Tidak hilang, tapi jika ada jatah untuk menempati wadah lain dan memiliki rupa lain, ya dijalani saja." 

"Yang menguap ya hilang, dong?" Rara bingung. 

"Menguap kan nantinya tetap tertiup angin dan berkumpul menjadi awan dan turun ke seluruh penjuru bumi," Jaka menjelaskan. 

Rara mengangguk perlahan.

"Yang tidak menguap bagaimana?" tanyanya lagi.

"Ya tetap kembali ke lautan bebas melalui sungai-sungai," jawab Jaka. "Semua akan menyelesaikan perjalanannya dan kembali menyatu dalam kedamaian samudera."

Rara mengangguk lagi. "Lalu apa yang terjadi pada yang belum terbebaskan itu?"

"To experience and to feel, untuk mengalami dan merasakan dalam bentuk-rupa lain," kembali Jaka menerangkan. "Ya memang begitu cara semesta mendaur-ulang. Dan lebih dari itu, kita sebenarnya mampu memilih, merencanakan sendiri pendaur-ulangan itu, sampai tiba masanya di mana kita sudah tidak ingin lagi memilih..."

Tidak ada tanggapan, jadi ia melanjutkan,

"Free will sejati adalah pada saat kita memilih untuk tidak memilih apapun lagi. Dengan tidak memilih lagi, sesungguhnya kita sedang menggenapi pilihan kita sendiri.

Jaka bisa melihat betapa Rara berusaha mencerna kalimat-kalimatnya, jadi dihentikannya obrolan berat itu.

"Sudahlah, ngga usah mikir berat-berat," Jaka memeluk istrinya. "Jadilah sebaik-baiknya air dalam apapun itu wadahmu, dan sekali-kali pandanglah langit. Rasi-rasi bintang mungkin bisa menghantarkan kita kembali pulang..." 

Rara tersenyum dan meringkuk nyaman lagi bersandarkan lengan suaminya. 

Ya, ia tidak ingin terlalu keras berpikir. Hatinya toh sudah memberitahu, bahwa yang jelas sesama air saling merindu pulang. Walau sudah maujud dalam wadahnya masing-masing, sesama air tidak perlu saling iri apalagi menjatuhkan. Mengalir saja, mengikuti alur semesta yang menuntun kembali pada sang samudera raya.

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

1 komentar:

  1. Indah banget alur ceritanya, saya juga mau jadi sebaik-baiknya air dalam wadah yang adanya seperti ini, dan menerjemahkan rasi bintang...a nice fiction!

    BalasHapus