[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Nafsu dan Panggilan Murni

Kamis, 06 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Nafsu dan Panggilan Murni


Jaka dan Rara sedang bepergian lagi. Tapi kali ini bukan dalam rangka pekerjaan, melainkan pelesiran. Jaka ingin mengajak istrinya berwisata spiritual, maka Jawa Tengah adalah tujuan mereka. Berbagai candi akan dikunjungi, untuk menapaktilasi maha-mahakarya peninggalan berbagai Wangsa di Nusantara, sekaligus turut merasakan energinya yang luar biasa.

"Kamu tau kan, Ra, siapa yang membangun Borobudur?" Jaka bertanya. Mereka sedang menaiki teras kedua, dan Rara sudah banyak sekali mengambil gambar sejak menapaki teras pertama.

"Ya, Syailendra, pada sekitar abad 8," Rara menyipitkan sebelah mata, meneropong-neropong jarak dengan memutar-mutar lensa DSLRnya.

"Wah, istriku pintar..." Jaka memujinya.

Rara memberikan padangan "meh" pada sang suami. Dibandingkan Jaka yang bak perpustakaan semesta berjalan, ia sama sekali bukan tandingan.

Jaka tertawa. "Serius... Pengetahuan umummu cukup banyak, kok!"

Rara kembali memberikan perhatian penuh para relief-relief yang terpahat indah di dinding candi. Sudah sejak lama ia terheran-heran akan kemampuan warga Nusantara kuno itu dalam hal seni dan teknologi. How did they build this extravagant temple without any help of computer?

"Aku juga tau, kalau candi Borobudur itu versi kecilnya semesta, dengan bangunan ala Mandala yang presisinya sempurna," Rara meneruskan. "Dan terdiri dari tiga tingkatan, yang mewakili perjalanan kehidupan manusia, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu."

Jaka membulatkan mulutnya. "Wow..." katanya.

"Manusia diharapkan mencapai pencerahan setelah melewati dua tingkatan pertama, yaitu ranah hawa nafsu dan ranah wujud, menuju ranah tak berwujud," sang istri melanjutkan tanpa melepaskan pandang dari lensa kameranya.

"Melewatkan tahap penuh nafsu dan kemelekatannya, memahami keberwujudan yang kosong dan kekosongan yang wujud, menuju pencapaian tertinggi yang melampaui semua, yaitu menyadari kehadiranNya, mengalamiNya," Rara menyelesaikan penjelasan.

Siang itu, Jaka dibuat tak berkutik. Biasanya ia yang harus menjelaskan banyak hal pada Rara.

"Well well well... Ini dia dindaku," katanya kagum. Dipeluknya sang istri dari belakang, karena bagian depan tubuhnya didominasi kamera. "How did you know?"

"Kan kamu yang nyuruh aku belajar Mudra..." sahut Rara acuh tak acuh. "Chin Mudra mengajak kita untuk melalui tiga tahapan itu."

"Oooh iyaa!" Jaka menepuk keningnya. "Kamu jagonya Mudra, ya."

"Tau kan bukan berarti jago..." balas Rara sambil tersenyum. Selesai sudah sesi fotonya di pelataran itu. Siap untuk diunggah ke blognya. "Naik lagi, yuk..."

"Kamu yang naikin aku, apa aku yang naikin kamu?" sang suami mengerling genit. Rara selalu bisa "membangkitkan"nya dengan kata-katanya yang manja, tapi kali itu, pengetahuan kekasihnya itu membuatnya terpana.

"Naik ke pelataran Arupadhatu, sayang..." istrinya mencubit perutnya, membuat Jaka semakin ingin membawanya segera ke ranjang. "Biar kamu lepas dari nafsu dan kemelakatan," lanjut Rara tertawa-tawa.

"Argh," Jaka mengerang. "Aku masih dibalut daging dan darah, Ra... Lagipula, keinginanku ini panggilan murni, bukan sekadar nafsu," ia membela diri.

Rara terbahak lagi. Nafsu dan panggilan murni untuk bercinta memang bedanya tipis -setipis rambut dibelah entah berapa...

********

2 komentar:

  1. Ya ampun, Mbak. Tulisannya manis sekali. Jadi pengen juga bikin cerita fiksi yang dikaitkan sejarah, biar mudah diingat.

    BalasHapus