[] Bilik Menulisku: Merah Putih yang Dijahit Kembali ~ Gathering Netizen bersama MPR-RI.

Jumat, 15 Desember 2017

Merah Putih yang Dijahit Kembali ~ Gathering Netizen bersama MPR-RI.




"Apa yang kau inginkan, Anandhi?", tanya pak pejabat Kolektor Shivraj Shekar, seorang suami yang tidak hanya tampan, tapi juga sangat perhatian.

"Aku tidak ingin apa-apa. Apa hadiah yang bisa melebihi kedamaian hati?", istrinya yang lembut dan penyayang segera menjawab.


.......

Masih ingat serial drama India yang sempat booming kemarin lalu yang berjudul Anandhi? Digambarkan, Anandhi adalah seorang perempuan berprestasi yang hidupnya penuh dengan perjuangan, sehingga kedamaian hati adalah impiannya. Impian yang sederhana saja, bukan?

Sebagai seorang ibu, sama seperti Anandhi, impian saya jugalah kedamaian hati. Damai mengetahui bahwa kelak anak-anak saya dapat menjalani hidupnya dalam suasana yang mendukung dan menyenangkan. Hidupnya di negara yang berbhineka tunggal ika, Indonesia ini.

Saya sendiri hidup dalam kebhinekaan. Papa yang asli Gianyar menikahi Mama yang asal Klaten secara Islam, dan mereka punya dua putri yang baik hati dan tidak sombong, rajin lagipula pintar, pandai menabung dan mengaji, manis-manis; saya dan almarhumah adik saya. Sebagai keturunan seorang Bali, walaupun Muslim, kami berdua dinamai secara khas Bali. Nama yang unik penuh makna dalam bahasa Sansekerta, yang membuat kami bangga menyandangnya. 

Yang tercinta Mama dan Papa 
~ on their trip to Switzerland years ago

Rumah tangga Papa dan Mama cukup terbilang tentram, walau tentu saja, namanya juga dua orang yang bersatu dalam perbedaan, riak-riak pertengkaran menghiasi. Tapi tak lama, keduanya segera membuat situasi keluarga nyaman kembali. Seiring waktu, Papa menyadari bahwa keyakinan barunya tidak membuatnya damai. Dalam diam, hatinya bergejolak, hingga akhirnya memutuskan untuk kembali menganut agama Hindu.

Lalu, apakah saya dan Mama kecewa dengan kejadian itu? Menjadi masalahkah itu untuk kami berdua? Anehnya, tidak. Well, ada sedikit, tapi sisanya perasaan kami justru diliputi dengan kelegaan. Lega karena dengannya, pemimpin dalam keluarga kami merasa tenang dalam segala aktivitasnya. Saya dan Mama mengerti, amat sangat mengerti, bahwa kedamaian itulah yang Papa cari selama ini. Dan kedamaian Papa, adalah kebahagiaan kami.

Sungguh tidak ingin, saya dan Mama melihat Papa hidup dalam kegelisahan bathin yang tak berujung. Menjalani sesuatu yang tidak nyaman di hatinya, untuk seumur hidupnya. Memangnya, siapa yang ingin berada dalam situasi begitu? Jika kondisinya dibalik, Papa mengharuskan kami untuk memeluk keyakinannya, pasti akan ada nurani yang berontak. 

Untungnya, tidak ada drama itu dalam keluarga kami. Saya dan almarhumah adik tumbuh kembang dalam situasi yang penuh toleransi dan kasih terhadap sesama. Di bawah atap yang sama, walau masing-masing khusyuk berdoa kepada Tuhan yang berbeda. Tanpa rasa khawatir sama sekali bahwa ibadah kami akan ditolakNya. Lagipula, ah, siapa kami berani berkata bahwa hubungan indah kami denganNya yang Maha Pengasih tidak diterima, jika Ia sendiri yang menciptakan perbedaan ini?

Papa dan Mama makan siang sama anak-cucu

Berpuluh tahun kami hidup dalam damai. Rumah masih bertabur wangi kembang saat Papa selesai berdoa, dan Mama masih khusyuk bertilawah di sepertiga malam. Sungguh suasana yang membuat masing-masing dari kami merasa nyaman dalam berkomunikasi, didukung dalam berkarya, tentram dalam segala hal. Kayla dan Raynor, cucu-cucu Papa dan Mama juga selalu diajarkan untuk memahami perbedaan yang indah ini.

Tapi kedamaian itu terancam hilang dari hidup kedua anak saya itu, karena situasi dan kondisi yang marak terjadi belakangan ini. Saya mungkin bisa mengerti, bahwa ada banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan keadaannya sendiri, hingga terjadi defense-mechanism atau mekanisme mempertahankan diri dengan cara yang kurang baik. Saya juga mengerti, ketidaknyamanan ini adalah sebab-akibat, kombinasi dari perilaku kami sebagai rakyat dan perlakuan dari para petinggi negara sendiri.

Ketidaknyamanan karena masalah finansial, kurangnya lapangan pekerjaan, serbuan produk asing yang mengancam produk mandiri, ketidakpercayaan pada para pengemban amanah, dan lain sebagainya, hingga menyeruak dalam keputusasaan. Pelariannya adalah ke tempat yang paling mudah  dibakar: isu SARA. 

Tapi, apa anak-anak akan mengerti, mengapa toleransi yang diajarkan selama ini bisa berubah menjadi saling dengki? Apa Kayla dan Raynor bisa paham, mengapa ada dua orang putra negeri dihadapkan pada jutaan pamirsa televisi kemudian saling menjatuhkan? Dengan masing-masing pendukung saling bersorak sekaligus membully?

Apa dua generasi penerus bangsa itu dapat mengerti, kenapa ada rumah ibadah yang dibakar? Bagaimana perasaan mereka jika membaca hate speech yang meramaikan media sosial nanti? Kemana hilangnya kedamaian yang selama ini melingkupi hati mereka? Anak-anak itu butuh input yang mendukung dan membahagiakan demi masa depannya kelak, dan bukannya trauma-trauma yang menciutkan hati dan pikiran.  

Duh, saya sedih!
.......

Blogger Bandung ~ Gathering Netizen MPR
Aston-Tropicana, Bandung, 11-12-2017 *gambar: Bang Aswi

Hari Senin, tanggal 11 Desembar 2017 lalu, saya dan teman-teman dari Blogger Bandung mendapat undangan lagi dari bapak-bapak di MPR-RI. Ini kali kedua saya ikut dalam acara Gathering Netizen MPR. Event yang selalu membuat hati saya kembali positif dan sedikit terobati itu digelar di Hotel Aston-Tropicana, Cihampelas, Bandung, dihadiri langsung oleh bapak Ketua MRP-RI, Zulkifli Hasan dan Bapak Ma'ruf sebagai Sekjennya.

Gathering Netizen kemarin ini  khusus dipersembahkan sebagai 'ajang curhat' dari kami, para rakyat. Pak Zul sendiri yang meminta pertanyaan, kritik maupun saran, yang kemudian ditulis dan disimaknya dalam-dalam, sebelum dijawab dengan sikap bijak dan bersahaja. Tak ingin melewatkan kesempatan, dan tak ingin defense-mechanism kami menjadi negatif dengan hanya membuat dunia maya penuh kebencian, segala curahan hati pun kami sampaikan. Mulai dari langkanya gas, masalah sampah, KKN, pajak karya tulis, pemilu, sampai dengan kasus pak Setnov tumpah di ballroom sore itu.

Alhamdulillah, semua uneg-uneg tersalurkan, dengan solusi yang sedikit membuat malu hati sendiri namun siap kami aplikasikan. Yah, bagaimana tidak membuat malu, kalau terkadang masalahnya adalah akibat dari kekurangpedulian dari para rakyat sendiri?

"Saya bingung melihat sapi-sapi berlarian tanpa dipagari di New Zealand sana.", pak Zul bercerita. "Bagaimana kalau ada orang lain yang mengambil? Untuk itu, saya malah dapat jawaban, kenapa mengambil yang bukan miliknya?"

Sebuah jawaban polos nan sederhana, namun menohok, bukan? Ternyata ada orang-orang, yang begitu mengemban nilai-nilai moral tinggi di luar sana. Orang-orang yang merasa nista karena mengambil apa yang bukan haknya. Yang merasa terhormat justru dengan mengembalikan barang orang lain yang ditemukan, karena harga dirinya jauh melebihi harga si barang. 

"Kapan masalah sampah akan beres, kalau merasa sampah itu masalahnya Walikota saja?", katanya lagi.

Ini juga menyindir, mengingat kami sendiri suka tidak peduli lingkungan....

Ah, masih banyak lagi yang sebenarnya masalah itu adalah hasil karya sendiri. Walaupun kami juga merasa bahwa bimbingan dari pemerintah juga kurang.

Terutama untuk masalah kedamaian, yang merupakan curhatan saya di acara itu. Saya butuh pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau PPKN kembali hadir di setiap sekolah. Saya butuh Penataran P4 kembali diwajibkan untuk seluruh generasi penerus. Saya butuh segala bentuk pelajaran tentang kecintaan pada negri dan toleransi terhadap sesama penghuninya. Saya butuh tanah air yang tentram damai!

Ketua dan Sekjen MPR-RI masa bakti 2014-2019 *gambar: Ali Muakhir

Saya ingat kalimat dari pak Zul tentang keadaan negeri ini, "Merah Putih sedang terkoyak..", katanya lirih.

Oleh karena itu, sebagai masukan saya kepada para pengemban amanat negara, mohon dibuatkan skema demikian agar anak-cucu negri ini kembali saling menghormati dan bangga pada tanah airnya sendiri. Berkordinasi dan berkolaborasilah dengan banyak pihak, agar pelajaran mengenai itu hidup kembali dengan lebih variatif dan menyenangkan. Agar tertanam kuat-kuat dalam benak mereka, bahwa Indonesia dengan kebhinekaannya adalah ciri unik yang wajib dipertahankan, sebagaimana para pahlawan dulu memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan.

Sebagai ibu dua anak, itulah impian saya. Bukan demi siapa-siapa yang sepihak-dua pihak saja, tapi demi seluruh bangsa yang tenang dalam berkarya, toleransi dalam bertetangga, dan aman dalam beribadah. Sungguh, saya ngeri membayangkan sebuah negara yang tidak damai ditinggali, di mana para penerusnya mati dalam karyanya, benci pada tetangganya, dan berada di bawah desingan peluru saat beribadah. 

InsyaaAllah, sebagai warga yang baik, saya akan membantu dan turut berpartisipasi dalam setiap langkahnya. Secara pribadi dan beserta teman-teman di Blogger Bandung, akan ikut mengkampanyekan program-programnya, hitung-hitung sebagai amalan jari yang kelak saya berani pertanggungjwabkan di alam kekekalan nanti. Mudah-mudahan menginspirasi banyak pengguna media sosial, hingga dunia maya dan dunia nyata kembali damai untuk dihuni. 
 

Mari bersama kita jahit kembali sang Merah Putih, bendera bangsa ini. Mewujudkan kembali Indonesia yang aman, nyaman dan damai, yang menjadi tanah dan airnya para penerus negeri. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?

Salam Damai untuk Negri,

10 komentar:

  1. Menarik sekali teteh artikelnya. Toleransi dan tenggang rasa kayanya jadi isu yang sensitif ya belakangan ini. Tapi, sebagai wni yang baik (loh) harus tetep optimis dong kalo Indonesia bisa jadi lebih baik 💕

    BalasHapus
  2. Subhanallah tulisan yang bagus, saya dari awal kepikiran nama Teteh tuh Bali banget hehe trus mudra juga btw sejak pulang dari Bali kami sepakat ngasih nama anak yang nusantara aja toh lahir dan dan besar di Indonesia :) semoga negeri kita damao dan sejahtera ya aamiin

    BalasHapus
  3. Saya tetap optimis mbak Ayu
    Selama ada banyak blogger yang menyuarakan hati nurani dan menginginkan Indonesia yang berdiri teguh sesuai amanah para bapak pendiri bangsa. Semoga

    BalasHapus
  4. "Merah putih sedang terkoyak" jleb bgt teh...

    BalasHapus
  5. Keren Bu Nana...
    Setuju dengan penataran P4 dan PMP diadain lagi di sekolah SMP/SMA..
    Saya juga melihat hal yang sama dengan yang Bu Nana tulis.. generasi zaman Now sepertinya kudu ngerti P4 untuk kebaikan bangsa ini jg..semoga terwujud impinnya Bu Nana..

    Salam dr Bogor

    BalasHapus
  6. Sayangnya masih banyak oknum yang menjadi provokator dan memengaruhi anak muda untuk berbuat cela dan mengakibatkan pecahnya persatuan. Miris

    BalasHapus
  7. Dan kita jangan sampai ikut mengoyak merah putih itu....

    BalasHapus
  8. Maak, moga dunia maya dan nyata damai selalu ya.
    Sebagai pegiat onlen pun moga kita bisa membantu dan menyebarkan hal2 yang positif ya, setidaknya bisa menjahit bendera yang terkoyak sedikit demi sedikit

    BalasHapus
  9. sedih ya Teh kalo liat berita adanya perselisihan antar suku atau agama. Padahal kalo kita bersatu, bakalan menciptakan bangsa yang kuat. Hayu atuh kita jahit kembali Merah Putih yang mulai terkoyak itu :)

    BalasHapus
  10. Kurang puas..asa bentar banget acaranya ya..coba ada lagi ya ..hahaha

    BalasHapus