[] Bilik Menulisku: Cowok Idaman vs Ancaman

Senin, 10 Februari 2014

Cowok Idaman vs Ancaman



Pernah ngga, punya suatu khayalan indah, tapi malah harus menghadapi kenyataan yang ruwet dan berliku? Padahal sebetulnya, khayalan saya persis seperti perempuan-perempuan normal lainnya, loh : memimpikan punya ‘Prince of Charm’ yang tepat dan jleb di hati. *Dalam hal ini, walau tiap perempuan punya kriteria berbeda-beda, tapi saya yakin, pasti ngga jauh-jauh dari si mas Boy. Tinggi, atletis, tampan, jagoan (gabungan antara sedikit ‘nakal’ tapi tetap bertanggung jawab), pintar, sholeh, dan mampu membawa kita pada kebahagiaan lahir-bathin, dunia-akhirat! Setuju?

Kalau saya pribadi, dari duluuu sekali, pilihannya jatuh pada Paul Walker, pemeran Brian O’Conner di film Fast and Furious.
Walaupun sang pujaan hati itu sudah tidak ada lagi di dunia ini (hiks...), tapi tetap, beliau adalah sosok pria idaman. Dan, alhamdulillah, suami saya yang sedikit-banyak mirip Paul (ngarep!) juga mendukung (lohh??) kesukaan saya pada sang idola yang punya banyak kebaikan yang perlu dicontoh itu. Toh, menurutnya, saya tidak akan pernah bertemu si bintang Hollywood tersebut, dan kalau iya pun, "Paulnya juga ngga bakalan ngelirik kamu, mam.." Hehe... *sedih :'(

But, enough dreaming! Kenyataannya sekarang adalah, bintang pujaan saya sudah berpulang ke haribaanNya, meninggalkan banyak jejak prestasi dan kebajikan (baca : Diantara banyak Paul... yuk!), baik dalam dunia akting maupun kemanusiaan. Dan saya pun amat sangat berbahagia, bisa berbagi hari, cerita, airmata dan tawa dengan suami saya tercinta. Seseorang yang dihadiahkan oleh Allah sebagai pendamping yang luar biasa baik dan pengertian ini :)



Eh, salah... Yang ini...



Tapi, perjalanan saya dalam menemukan pasangan sehati ini lumayan panjang, loh... Soalnya, disela-sela mimpi saya tentang pria idaman, terdaftar panjang sederet nama yang kelakuannya cukup aneh-aneh... 

Ada yang sebegitu superiornya, sampai memutuskan untuk ‘rehat’ dengan saya karena alasan,

“Kamu kok ternyata lebih sering pacaran daripada aku? Kita ‘vakum’ dulu aja deh, aku mau punya mantan pacar yang banyak dulu, baru kita jadian lagi!”

Yee…

Ada juga yang sebegitu ‘lemot’nya, sampai hampir semua pekerjaan kantor (kebetulan kami dulu satu tempat kerja), saya yang mengerjakan. Seorang teman pernah berkomentar,

“Bayi elu mana? Udah dimandiin disuapin?”

Idih…

Dan, ada yang sebegitu pembohongnya demi menutupi perselingkuhan, padahal isi SMSnya jelas-jelas menunjukkan pengkhianatan (what a classic story…),

“Diva yang mana, sih? Yang mukanya kayak karung itu? Semalem itu, dia cuma nebeng pulang doang!”

Wew ah!

Bahkan, ada yang sebegitu jaim dan pendiamnya, sampai kalau kami sedang bersama, begini bunyinya,

"... krik krik krik..."

Hadeuuuh!

Tidak hanya yang 'antik-antik' seperti itu, laki-laki yang pernah (mencoba) masuk dalam kehidupan saya pun ada yang sebegitu ‘gila’nya mencintai,

“Saya dapet bisikan, bahwa kamulah jodoh saya…”

Hiiiy!

Dari semua ‘keanehan’ yang terjadi dalam hidup saya, cowok ‘gila’ itulah yang paling ajaib. Dan menakutkan. Bagaimana tidak? Wong saya bukan selebritis, ngga terkenal, ngga neko-neko, tapi punya stalker, alias pengintai yang kerjanya membuntuti dan mencaritahu terus tentang saya! Padahal awalnya, saya hanya mencoba berbaik hati untuk menegur-sapa, mengingat dia adalah seorang rekan kerja yang nampaknya 'terisolasi' karena tidak ada teman yang mau untuk diajak bicara.

Tapi begitulah, kadang-kadang, keramahan suka diartikan salah… ‘Say Hi’ saya tiap hari, malah dianggap sebagai sinyal-sinyal cinta, iyuuuh... Berbinar-binar sekali matanya, bila saya tersenyum dan sekedar mengucapkan selamat pagi. Sampai seorang teman ikut ketakutan dan pernah memprotes,

“Elu mah, yang begitu ditemenin! Tau ngga, malu banget gue, pas kemaren barengan sama gue jalan ke tempat angkot, tiba-tiba dia jongkok dan teriak-teriak sambil megangin kepala! Gue langsung pura-pura ngga kenal…”

Saya hanya tertawa mendengarnya. Memang, saya agak sedikit ber-wondering keheranan, tapi tetap, saya tidak merasa bersalah atas kesopanan dan kebaikan hati saya (ciee!). Senyum kan ibadah. Walaupun kemudian senyum tulus itu lenyap ditelan kepanikan…

“Woi, liat noh, penggemar elu nyamperin!”, seru Dian, sobat saya, sambil melompat menuju jendela. Sabtu pagi itu, kami sedang berada di kamar, bermalas-malasan menunggu acara weekend girls' day out jam 12 siang bersama teman-teman cewek lain.

“Penggemar apa?? Jangan bercanda, ah!”, seru saya yakin-tidak yakin.

Sebetulnya, saya memang sudah punya feeling bahwa penggemar yang dimaksud adalah si cowok x-factor itu (abis, emang ada sesuatu yang salah di dia, sebuah faktor-x yang ngga akan bisa diungkapkan dengan kata-kata...). Tadi malam, sesaat sebelum pulang kerja, cowok itu sempat berkata bahwa ia akan datang berkunjung. Tapi, saya tidak menanggapi dengan serius. Toh, ia tidak tahu bahwa saya sudah pindah dari tempat kost (yang sudah saya tinggali selama delapan tahun, sejak berkuliah di kota Kembang) seperti yang ia ketahui. *Ini juga aneh, loh, dia tahu tempat kost saya, sedangkan saya tidak pernah sekalipun memberitahu apalagi mengajaknya kesana!* Jadi, wajar saja bersikap cuek, kan?

Lalu, ke-cuek-an itu berubah drastis menjadi ketakutan. Saya dan Dian bertatapan dengan ngeri dibalik tirai jendela. Memang baru dua hari itu saya pindah ke sebuah unit apartemen di daerah Bandung utara. Karena termasuk golongan orang yang penakut, maka saya memilih kamar di lantai tujuh, yang tepat menghadap pos keamanan (entah kenapa, tapi tentram rasanya hati jika bisa melihat bapak-bapak satpam itu). Hanya beberapa sahabat kantor (yang tahu betapa bela-belainnya saya mencicil) yang diajak untuk syukuran. Jadi, kenapa cowok itu terlihat sedang berjalan melenggang di pintu gerbang? Dia datang untuk sayakah??

Yang lebih 'mbingungin lagi, mengapa ia masih memakai baju yang sama dengan yang dikenakannya pada hari Jumat kemarin? Apa dia mengikuti saya sejak semalam? Apa dia juga tahu tentang kepindahan saya? Siapa yang memberitahu? Sejauh mana ia tahu? Apakah ia tahu nomor kamar saya? Apa yang akan IA lakukan? Yang lebih penting lagi, apa yang akan SAYA lakukan kalau ia membunyikan bel kamar? Sungguh, saya takut!

Saat pindah dulu, apartemen itu memang belum memiliki sistem keamanan yang canggih seperti sekarang. Kamera pengintai memang tentunya ada, tapi semua orang (penghuni berikut tamu) masih bisa naik-turun lift dengan bebas. Artinya, semua memiliki akses untuk berada di lantai-lantai tenant, tanpa perlu menggunakan kartu identitas khusus. Dan, ya ampun, dalam dua menit, dia pasti sudah berada di dalam gedung, mencari-cari kamar saya. Jangan-jangan, saat saya menaruh sebelah mata di lubang pengintip, dia juga sedang berusaha melihat-lihat ke dalam kamar? Hiiiy!     

Secepat kilat, saya berlari menuju perangkat telepon, menekan nomor pesawat pos keamanan.

“Pak, laki-laki yang pakai baju kotak-kotak biru, yang barusan lewat gerbang, saya lihat, pak, saya takut!”, seru saya tergagap-gagap.

“Saya di 7*6, pak. Coba bapak liat keatas.”, saya mengisyaratkan Dian untuk melambai ke pos satpam. Sahabat saya itu pun segera mendadah-dadahi pak satpam dengan terburu-buru, persis seperti peserta uji nyali yang menyerah kalah...

“Laki-laki itu teman sekantor saya pak, orangnya kurang waras, tolong disetop, pak, jangan sampai ke kamar saya!”
 
Untungnya, para satpam itu adalah orang-orang terlatih yang cepat tanggap. Dua orang segera berlari ke lobby, lalu menghilang. Sungguh, waktu itu adalah tujuh menit terlama dalam hidup saya! Dengan berdebar, saya dan Dian menunggu kabar dari si bapak Satpam. Tiba-tiba, telepon berbunyi.

“Sudah tertangkap, Bu.”, lapornya. “Coba lihat ke bawah, apakah benar orang yang ini? Dia sedang berjalan kearah pos.”

Saya terlalu takut untuk memastikan. Takut jika cowok itu merasa diperhatikan, lalu menegok ke arah atas-belakang, dan menemukan saya sedang menyeringai disana. Tapi Dian begitu pengertian, ia segera menghambur ke balkon,

“Iya bener, si itu lagi digiring ke pos. Selamet..selamet..”, ujarnya mengurut dada, lega. Ternyata ia benar-benar ikut merasa terintimidasi juga oleh pengintaian itu.

Saya mengucapkan syukur, lalu melaporkan kembali ke satpam,

“Betul pak, itu orangnya. Terima kasih banyak, ya, pak. Ketemunya dimana? Di lobby?

“Bukan, Bu. Ketemunya di lantai enam. Sedang memencet bel kamar orang. Kayaknya semua kamar dia pencetin, Bu. Untung belum sampai kamar ibu…”, jawabnya ringan.

Tapi, jawaban ringan itu membuat saya bergidik. Ya, untung belum sampai ke kamar. Tapi kalau sudah..?!?  

Begitulah... Sungguh, dengan pengalaman seperti itu, saya kapok untuk tebar senyuman ke sembarang laki-laki. Untuk tujuan apapun, mau untuk beramah-tamah, mengasihani, ataupun sekedar basa-basi pamer gigi, saya tidak akan lagi menyunggingkan bibir. Ngeri!

Dan, dengan ksatria pujaan disamping saya, tentunya tidak akan ada laki-laki yang berani mengganggu juga, bukan?


Bukaaaan! Seorang anak tetangga, yang nampaknya masih duduk di bangku SMA, sering menghentikan sepedanya kalau melihat saya beraktivitas di depan rumah. Serius deh, acara menyuapi anak-anak sambil memperhatikan mereka bermain, jadi tidak nikmat lagi! Cowok ABG itu bahkan keukeuh diam memperhatikan kami, saat saya, suami dan anak-anak bermain bulu tangkis di depan rumah. Duuuh, kesal sekaligus takut, rasanya ingin sekali saya menghardik dan buru-buru mengusirnya pergi. Minta tolong sama suami?

"Udah atuh, mam, ngga usah cari masalah sama tetangga. Anak itu kan ngga ngapa-ngapain, cuma ngeliatin aja. Namanya anak abege lagi puber, wajarlah kalo suka sama tante-tante...", katanya sambil senyum-senyum meledek.

Uuuughhh!!!    

4 komentar:

  1. Hahahaha..." wajar kalau suka sama tante-tante"
    Tapi teh..yakin dia bukan perhatiin kekey hahahaha....*kabuurr..takut ditimpuk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahaha... Kalo merhatiinnya Kekey, pasti Papanya ga bakal cuek n ngeledek lagih :D

      Hapus
  2. Jiahahaha... adeuh punya secret admirer eh ga secret ya? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Qiqiqiq... udah ga secret lagi teh, tos kanyahoan :p

      Hapus