[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka;Tentang Tempat Suci

Jumat, 25 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka;Tentang Tempat Suci


Pagi hari ini Jaka mengajak Rara ke tempat tinggal seorang kenalannya yang berada di pinggiran hutan. Entah di mana Jaka bertemu dengan temannya yang agak aneh ini, karena perilakunya di luar kebiasaan yang normal. Bukannya mendekati segala fasilitas, malah mengasingkan diri tinggal di daerah yang jauh dari kenyamanan. 

"Itu kan penilaianmu, Ra..." Jaka membantu istrinya menapaki jalan tanah merah yang licin sehabis hujan. "Belum tentu dia merasa terasing dan tidak bahagia."

"Etapi lucu juga ya tinggal di sini kalo buat sekali-kali aja..." Rara berubah pikiran. Daya imajinasinya memang sundul langit. Bisa dengan mudahnya membalikkan pendapat, dari negatif jadi positif.
"Bulan madu dong..." Jaka menyahut sepenuh hasrat. Sejak pernikahan mereka, belum pernah ada bulan madu yang memang diniatkan demikian. Kalaupun pergi ke luar kota berdua Rara, ya karena ada pekerjaan.

Rara tertawa --yang segera lenyap saat mereka tiba di "rumah" yang dikunjungi. Itu bukan rumah, menurut Rara. Bagaimana bisa itu adalah rumah, jika berada di atas pohon sana? Ia tau ada yang namanya rumah pohon, tapi bukan untuk menetap.

Ki Djiwo, demikian disebutnya, tersenyum menyambut Jaka dan Rara. Dengan santainya, ia turun melalui tambang yang terulur ke bawah, yang terikat di sebuah batang besar dekat "pintu".

"Salam!" sapanya riang walau nada suaranya berat. Sungguh, Rara berharap dia tidak mengajak masuk ke rumahnya itu.

Jaka serta merta menyalami, sedang Rara agak ragu sejenak, walau tak urung dijabatnya juga tangan yang entah pernah dicuci atau tidak itu.

"Mbak cantik sekali..." yang dijabat itu berkata setulus hati. Tidak terdengar nada-nada sumbang yang menyindir atau melecehkan, sehingga Rara membalas dengan senyuman.

Lalu, hal menegangkan itu benar-benar terjadi. Ki Djiwo mempersilakan mereka masuk ke rumahnya. Susah payah Rara memanjat tangga kayunya, walau bersumpah dalam hati bahwa nanti dia akan turun lewat tangga ini lagi. Ya masa mau meluncur lewat tali?

"Be mindful..." Jaka mengingatkan dari bawah. Tangannya ikut mendorong bokong istrinya. Rara pasti belum pernah naik pohon yang tingginya lebih dari 6 meter seperti ini selama hidupnya --sama sepertinya.

Tak disangka, pemandangan di atas itu sangat indah. Rara melemparkan pandang ke segala arah, layaknya kamera 360. Untung dibuatkan teras yang melingkar, sehingga tamunya -jika ada- dapat menikmati keseluruhan sudut pandang.

"Bagaimana?" tanya pemilik rumahnya. Ia tersenyum melihat Jaka dan Rara yang terperangah. "Di atas lebih indah lagi," katanya sambil menunjuk cabang yang nampaknya mudah dipanjat.

"Wow!" Jaka bersiul. Ia sudah hampir naik jika ujung kemejanya tidak dipegangi Rara.

Menyaksikan itu, Ki Djiwo tertawa. "Masuk yuk! Aku punya madu enak, baru diambil kemarin sore."

Benar, madu yang katanya dari lebah jenis khusus itu enak sekali. Teman Jaka yang unik ini ternyata menyambung hidup dengan menjual hasil alam, dengan mencari madu hutan. Seminggu sekali, ia pergi ke pasar desa, menjual hasil panennya. Uangnya lalu dibelikan persediaan makanan, seperti ubi dan singkong, sedikit garam sebagai perisa, lalu kopi dan gula. 

"Ngga pernah masak enak," akunya sebelum ditanya. "Belum punya istri, hahahah!"

Rara tersenyum garing, membatinkan pertanyaan, "Perempuan mana yang sekiranya sudi dilamar untuk tinggal di atas pohon?"

"Mana barangnya, Ki?" tanya Jaka memecah kekikukkan.

"Oh ya!" jawab yang ditanya sambil memeriksa saku celananya yang kumal. "Ini!" katanya melemparkan sesuatu ke Jaka.

Dengan sigap, Jaka menangkapnya. Sebuah batu indah, ternyata. Berwarna merah yang katanya bernama, 

"Red Rafflesia," Ki Djiwo mulai menjelaskan, "adalah batuan langka yang konon ditemukan di Bengkulu. Untukmu, kawan!"

"Perjanjiannya kan dibayar, Ki," Jaka tersenyum dan mengeluarkan dompetnya.

"Itu hanya untuk memancingmu bersedia datang ke sini," sang teman balas tersenyum. "Aku tidak punya banyak teman yang berkunjung. Apalagi perempuan..." 

Merasa dilirik, Rara jadi salah tingkah. Jadi ia pura-pura memandangi saja batu yang cantik itu.

"Masih kasar, baru saja dipecah," kata Ki Djiwo. "Setidaknya, begitulah yang orangnya bilang padaku. Jadi kamu bisa membuatnya menjadi sepasang cincin, jika suka."

Memang masih kasar. Rara hampir dapat merasakan serpihan pecahannya saat jarinya bergulir di permukaan benda alam yang merah bening itu., sebelum Jaka mengambilnya.

"Bening sekali, Ki," katanya sambil membawa batu itu ke arah matahari, menerawang. "Kamu suka, Ra?" tanyanya pada sang istri.

Rara mengangguk saja, tidak tau harus berkata apa. Tapi pikirannya segera melayang ke liontin-liontin dan cincin.

"Ya sudah, istriku mau, Ki," Jaka meletakkan bongkahan indah itu di atas satu-satunya meja. "Jadi berapa?"

"Aku sudah katakan, untukmu saja. Tidak dijual," si Djiwo berkata tegas. "Kamu menyelamatkan nyawaku, Jaka!"

Rara terkejut mendengarnya. Suaminya itu belum bercerita apa-apa yang berhubungan dengan nyawa belakangan ini. Tapi pandangan bertanyanya diacuhkan Jaka.

"Ki Djiwo yang berjuang sendiri... Saya hanya membantu menyalurkan energi," balas Jaka tak kalah tegas. Ia tidak ingin dibayar atas jasa yang tidak banyak dilakukannya itu.

"Hahahahah!" orang tua di hadapan mereka itu tertawa menggelegar. Membuat Rara hampir lompat dari duduknya. Dicengkeramnya lengan Jaka erat-erat.

"Aku sudah tau hatimu bersih," suara Ki Djiwo terdengar berat. "Oleh karenanya, aku minta kamu ke sini membawa istri," sambungnya.

Jantung Rara seperti melorot dari tempatnya karena kalimat itu. Apalagi, yang berkata mulai berdiri dan menghampirinya. Jari-jarinya mencengkeram lengan suaminya lebih erat hingga Jaka meringis kesakitan.

"Ini kuhadiahkan saja untukmu, ya?" suara yang berat itu melembut. "Tidak salah toh, memberi hadiah kepada satu-satunya tamu wanita yang sudi datang ke rumah pohon?"

Rara menundukkan kepala dengan gelisah, bertanya-tanya apakah pikirannya tadi bisa terbaca. Dirasakannya jari-jari berkulit kasar mengambil tangannya, dan sebelum ia menolak, batu indah yang diperbincangkan dari tadi itu sudah ada dalam genggamannya.

"Tapi... tapi..." katanya gagap. Ia memindahkan tatapannya dari Ki Djiwo dan Jaka.

"Tidak ada isi apa-apa di dalamnya," sang pemberi menjelaskan. "Kalau ada, pasti suamimu tau lebih dulu."

Tapi Rara bukan bertanya tentang itu, walaupun bersyukur bahwa ternyata Ki Djiwo tidak bisa membaca pikiran.

"Baik, kami terima," Jaka mengambil alih pembicaraan. "Terima kasih, Ki Djiwo," katanya sambil mengelus punggung Rara untuk menenangkan. 

"Terima kasih kembali, sahabat!" yang diterimakasihi tersenyum. "Tunggu aku sembahyang sebentar, lalu kita sama-sama ke desa!" 

Lalu pemilik rumah itu pergi ke selasar rumah kayunya, dan berdiri dalam diam. Tangannya menangkup ke atas, dan bertahan pada posisi demikian.

Rara masih belum berani bergerak saking kagetnya dengan yang baru terjadi, lagipula, ia takjub melihat bagaimana Ki Djiwo "sembahyang".

"Tubuh manusia itu adalah kuil sucinya, bagi orang-orang yang sudah sampai pada pemahaman demikian," Jaka berbisik. 

Rara melirik penuh haru atas penjelasan itu. Sang suami itulah satu-satunya yang bisa membaca pikirannya.

"Ki Djiwo bersembahyang di mana saja yang ia mau, bahkan tanpa harus ke mana-mana," Jaka melanjutkan, masih dengan berbisik. "Baginya, tubuhnya adalah tempat sucinya, tempat ibadahnya, alam adalah tempat peristirahatannya. Ini makanya dia betah tinggal di sini."

Rara mengangguk pelan, lalu memandang lagi orang yang katanya sedang bersembahyang itu. Tiba-tiba seberkas sinar muncul, memancar mengelilingi tubuh yang berdiri tegak membelakanginya itu. Meremang, putih kemilau, namun segera memudar karena Rara terkejut dan mengerjapkan mata. Serta merta, Rara melirik lagi ke Jaka.

"Sst," Jaka memberi isyarat untuk diam. Tapi Rara jadi tau kalau suaminya itu melihatnya juga. 

"Mari!' suara berat itu terdengar lagi. "Sudah kulayangkan terima kasihku pada alam atas pertemuan kita ini. Aku baru saja menyaksikan betapa dekatnya kita di suatu masa dulu, Semoga menjadi sahabat lagi di kehidupan nanti!" lanjutnya semringah.

Tanpa ingin bertanya, Rara segera mengikuti dua pria itu ke luar sambil menggenggam mutu manikamnya yang indah.

********

Baca kisah lain mereka di : Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar