My Story
Asuransi dari kantor VS Asuransi Pribadi
Hari ini adalah hari keempat Raynor demam. Untungnya (sakit kok untung, hehe), bungsuku yang ketularan Kayla, kakaknya, ini ternyata demam karena antibodinya berjuang melawan virus batuk-pilek, bukan penyakit lain. Virus yang kuat, sepertinya, hingga demamnya lumayan lama, dan suaranya sampai menghilang terhalang dahak. Poor my baby... :(
Sakit musiman kali ini, dan beberapa kali sebelumnya, saya tidak mengajak anak-anak ke dokter. Bukan hanya karena saya sudah hapal obatnya (dan ciri-ciri penyakitnya), tapi juga untuk tujuan berhemat. Semasa tidak menunjukkan tanda-tanda sakit di luar kemampuan saya untuk menangani, maka pergi ke dokter dan mendapat resep yang sama saja seperti sebelumya, belum saya rasakan perlu.
Padahal, kami dulu memiliki 'hobi' ke dokter, karena didukung fasilitas yang memadai. Suami saya mendapatkan jaminan kesehatan yang bagus dari tempatnya bekerja. Tapi, sekitar setahun belakangan ini, beliau memutuskan untuk mengambil pensiun dini, dan berikhtiar di jalur niaga. Jujur, dari hati yang terdalam, saya khawatir. Saya sempat merasa tidak mampu untuk 'terjun bebas' dari zona nyaman menuju kemandirian. Terlebih lagi, mandiri dalam urusan 'hobi' ke dokter spesialis....
Billing Statement rawat inap di sebuah RS
yang saya simpan, 1 dari 4 lembar. Betapa banyak angkanya!
(*disodori kertas tersebut, bisa jadi seorang pasien
yang sudah hampir sembuh jadi pingsan lagi, ahahaha!)
Kisah si Pelaut dan Asuransi
Konon, di suatu masa lalu, ada seorang pelaut yang berpikir tentang keselamatan jiwanya. Jika ia pergi melaut, tentu ia bersyukur bisa kembali ke darat dengan selamat. Tapi, apa jadinya jika ia pulang hanya tinggal nama..? Bagaimana nasib keluarganya nanti? Istrinya selalu disibukkan oleh urusan rumah dan anak-anak, mungkinkah bisa sekaligus mencari nafkah?
Bayangan itu mempengaruhinya dengan sangat, sehingga ia lalu mengajak teman-teman pelaut untuk sama-sama mengumpulkan sejumlah uang. Dana kumpulan tersebut kemudian disimpan. Untuk apa? Untuk diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan, kalau salah satu atau beberapa dari mereka tidak pulang lagi. Ya, mereka ingin memberikan suatu bentuk jaminan keuangan, kalau-kalau mendapat celaka saat mencari nafkah di lautan lepas sana.
Bayangan itu mempengaruhinya dengan sangat, sehingga ia lalu mengajak teman-teman pelaut untuk sama-sama mengumpulkan sejumlah uang. Dana kumpulan tersebut kemudian disimpan. Untuk apa? Untuk diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan, kalau salah satu atau beberapa dari mereka tidak pulang lagi. Ya, mereka ingin memberikan suatu bentuk jaminan keuangan, kalau-kalau mendapat celaka saat mencari nafkah di lautan lepas sana.
Fisherman with boat in the sea
*www.photosof.org
Warisankah itu namanya? Garansi? Atau dana penggantian jiwa? Yang jelas, simpanan itu pasti akan sangat berguna bagi si janda beserta anak-anaknya, sampai nanti Tuhan memberikan mereka rezeki lagi dari sumber lain.
Konsep yang sederhana, ya? Ramai-ramai mengumpulkan uang, lalu dipulangkan kembali pada pihak keluarga bila terjadi musibah pada pencari nafkahnya, sesuai porsi sumbangannya masing-masing. Nah, dari kisah itulah, katanya program asuransi jiwa bermula.
Asuransi Saat Ini
Kalau menelaah cerita diatas, rasanya memang masuk akal mengapa sang pelaut begitu mencemaskan keluarganya. Mengapa? Setiap orang yang produktif, pasti memiliki nilai ekonomi. Kakek, nenek, suami, istri, bahkan loper koran dan artis cilik pun bisa bekerja dan menghasilkan uang. Nilai ekonomi itu akan hilang, kalau produktifitasnya berakhir (karena meninggal, karena sakit/cacat, karena pensiun....). Nilai itulah yang akan digantikan oleh pihak asuransi, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Di zaman pelaut, dana yang terkumpul itu murni disimpan, tidak diganggu gugat, sampai dikembalikan lagi pada ahli warisnya. Tapi di era seperti ini, pooling of fund itu tentunya akan lebih kompleks. Banyak peraturan, kebijakan, syarat-syarat yang dikenakan bagi kedua belah pihak, baik peserta maupun penyelenggara. Dan, dana tersebut tentu saja diputarkan/dikelola oleh pihak penyelenggara, supaya menghasilkan keuntungan.
Dari perputaran dana itu, nasabah diberikan tambahan keuntungan selain Uang Pertanggungannya (disingkat UP), yaitu hasil tabungan. Tidak ada yang dirugikan, masing-masing punya porsi manfaatnya sendiri-sendiri. Nasabah mendapatkan UP plus tabungan, pihak perusahaan juga akan mendapat hasil pengelolaan uang 'titipan' nasabahnya.
"Payung tidak menjamin bahwa tidak akan hujan,
tapi menjamin bahwa kita tidak akan kebasahan. "
~ Safir Senduk
Asuransi dari kantor VS Asuransi Pribadi
Bapak ahli Perencanaan Keuangan yang sudah sangat ahli di bidangnya, Safir Senduk, CFP, mengilustrasikan asuransi sebagai 'payung'. Beliau dengan lugas menyatakan pentingnya berasuransi. Menurutnya, sekitar 10% dari penghasilan kita sudah selayaknya dibelikan asuransi. And I could not agree more!
Meski belum genap setahun pak imam hati dan keluarga saya berhenti menjadi pekerja, saya cukup merasakan betapa kehilangannya kami akan fasilitas kesehatan yang disediakan kantornya dulu. Tidak ada lagi berlenggang di lobby rumah sakit mewah tanpa membawa uang cash, tidak ada lagi 'hobi' mengunjungi dokter spesialis. Itu mungkin belum seberapa, saya tidak berani membayangkan seberapa beratnya jika keluhan kami bukan lagi 'sekedar' batuk-pilek belaka....
Untuk itulah, Sun Life hadir ditengah masyarakat. Untuk menghalau kegelisahan akan biaya perawatan rumah sakit yang selangit, untuk meringankan beban saat nilai ekonomis sang pencari nafkah hilang, bahkan membantu ketika ada kebutuhan finansial mendesak yang tiba-tiba datang. Sun Life menjawab semua itu melalui paket-paket asuransinya yang didesain sesuai permintaan. Program jaminan kesehatannya mengatasi masalah biaya-biaya rumah sakit, uang pertanggungannya akan mengurangi beban para pewaris, dan program tabungannya akan menolong saat diperlukan.
Atas : Ibu Elin Waty, CEO PT Sun Life Financial Indonesia
Bawah : Bapak Safir Senduk, CFP, dan para Blogger di Bandung
Insurance Company yang sudah berdiri sejak 1865 ini baru masuk ke Indonesia sekitar dua dasawarsa lalu. Namun demikian, kualitas pelayanannya tidak kalah dibanding yang lain. Agen-agennya yang tersebar seantero negri ini semua memiliki lisensi resmi dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, AAJI. Mereka terlatih untuk tidak hanya sekedar memperkenalkan, mengedukasi, tapi juga memberikan pelayanan terbaik. Oleh karenanya, PT Sun Life Financial sudah menyabet bermacam kategori penghargaan dari berbagai penyelenggara, yang semua semakin mengukuhkan keberadaannya.
Jadi, bukan hanya mengedepankan penjualan, tapi ibu-ibu dan bapak-bapak agen itu bekerja menggunakan telinga dan hati. Mereka mendengarkan keluhan, menjelaskan segala kebingungan, membantu merumuskan kebutuhan, hingga menyuguhkan pelayanan after sales yang memberikan perasaan nyaman pada setiap customer-nya. Setidaknya, begitulah yang saya simpulkan dari penjelasan ibu CEO-nya, Elin Waty. Saya percaya, tidak akan ada nasabah yang merasa left out, atau ditinggalkan kebingungan dan was-was akan premi yang dibayar maupun hak-hak yang dijanjikan.
Well, tunggu apalagi? Yuk, segera kelola keuangan dengan bijak, demi masa depan yang lebih baik, dengan mengalokasikan sebagian penghasilan kita untuk asuransi. Jangan hanya mengandalkan asuransi 'gratisan' dari kantor, karena akan dihentikan segera setelah masa kerja kita berakhir. Usahakan, sekecil apapun, mencicil premi dengan konsisten dan lapang hati. Mungkin saat ini tidak akan terasa sedemikian efektif, tapi percaya deh, suatu saat nanti, manfaat-manfaat yang ditawarkan Sun Life akan menjadi sangat berarti. :)
Customer service: 1 500786 (1 500SUN)
Headquarter : Menara Sun Life Lantai Dasar
Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung, Blok 6.3
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 12950
CEO: Elin Waty
Profiles :
facebook twitter
Postingannya menarik. Asuransi. Ini yang untuk lomba itu ya? udah ada pengumuman blm? good luck.
BalasHapusMbaknya lama gak update :(
Udaah, aku ga masuk, ahaha.
Hapus