[] Bilik Menulisku: Tentang Mengirim Energi Kasih-2

Minggu, 26 Juli 2020

Tentang Mengirim Energi Kasih-2



Belakangan ini, Rara dan Jaka sedang sering berjauhan. Ada saja yang harus dikerjakan oleh masing-masing, walau tidak memengaruhi komunikasi mereka. Seperti pagi itu, saat Rara sedang merindu sang suami yang berada nun jauh di sana.

"Just sent you a piece of love..." ia menuliskan pesan.

"Iya," Jaka menjawab. "Kerasa..." Sebuah emoticon tersenyum dibubuhkannya di ujung kalimat.

"Oya?" tanya Rara semangat. Ia baru belajar merasa-rasakan dan mengirim-ngirimkan energi, jadi senang sekali rasanya jika Jaka menerimanya. 

"Kapan?" tanyanya lagi, separuh menguji.

"Sekitar jam 07.45 - 08.00," yang ditanya menjawab setelah mengingat-ingat. Sudah lewat dari waktu-waktu tersebut, jadi sebetulnya wajar jika Jaka lupa dan memberikan jawaban yang salah.

Namun ternyata jawabannya benar, tercengang Rara dibuatnya. Ia memang bermeditasi pagi pada jam tersebut dan menyempatkan diri untuk memancarkan kasih pada suaminya. "Rasanya gimana?" ia bertambah semangat.

"Yaa... gitu," jawab Jaka singkat. Sebuah rasa memang terkadang sulit untuk dijabarkan, apalagi ia memang bukan tipe yang ekspresif. "Ada manja-manjanya," akhirnya ia menggambarkan.

Tercengang lagi Rara akan jawaban suaminya. Bukan apa-apa, ia hanya baru tahu kalau energi itu punya "rasa" khusus, dan bahwa rasa itu bisa terterima...  

"Emosinya kebawa-bawa," Jaka menambahkan. "Mestinya ngga gitu..."

Setengah panik, Rara memberondong suaminya dengan pertanyaan-pertanyaan. "Emosinya kebawa-bawa gimana? Kalau aku kirim ke orang lain apa dia akan merasakan juga manjanya? Aduh, gimana ini?"

"Emosinya ya tergantung bawaan pengirim ke penerimanya..." Jaka menjawab perlahan. "Emosimu ke aku kan begitu..."

Rara bingung, jadi ia minta dijelaskan lebih jauh lagi.

"Begini... Kirim ya kirim saja sesuai namanya," Jaka melanjutkan. "Yaitu mengirim kasih murni, yang bebas dari emosi yang mengiringi ego --apa pun itu jenis emosinya."

Setelah beberapa saat, yang diterangkan itu akhirnya manggut-manggut. Disadarinya lagi bahwa memang ada emosi bawaan dalam dirinya untuk...

"Memangnya benar-benar bisa kerasa ya?" Rara bingung lagi. "Rasanya gimana siy?"

Di seberang sana, Jaka tertawa. Sudah jelas bahwa ia bisa merasakan semburat ego yang datang bersama kiriman-kiriman. 

"Ya kerasa dong..." jawabnya tanpa berpanjang-panjang, masih kesulitan mendefinisi apa yang dirasakan. Memangnya siapa yang mampu dengan tepat membabar "rasa", kecuali jika mengalami sendiri?

"Kemarin katanya merasa ngga nyaman waktu berdekatan dengan teman," Jaka mencoba memberi contoh. 

"Yang mana?" Rara mengingat-ingat. "Siapa gitu?" ia bertanya lagi dan mendapatkan sebuah nama sebagai jawaban.

"Ooh..." Membaca nama itu, ada sekelebat ketidaknyamanan menguasai Rara, memaksanya untuk memejamkan mata sejenak demi menyelaraskan diri. 

"Gimana?" Jaka ganti bertanya, walau ia sudah tahu jawabannya.

Rara memberikan emoticon wajah menyeringai saja sebagai balasan, membuat Jaka tertawa lagi.

"Kurang lebih begitu rasanya, kalau menerima energi yang ada bawaan emosinya..." katanya pada sang istri.

Di ujung gawai di mana pesan itu sampai, Rara tersenyum salah tingkah, mengetahui apa yang dirasakannya dapat dirasakan suaminya juga. Jadi tidak enak hati ia, karena telah berbagi ketidaknyamanan. 

"Maaf yaa..." akunya jujur.

"Ya ngga apa-apa," Jaka mengirimkan emoticon pelukan. "Belajar lagi," pesannya dengan penuh kasih.

Rara membalasnya dengan emoticon yang sama, lalu menyudahi percakapan mereka dengan sebuah perenungan. Ya, Rara jadi dapat satu pelajaran baru lagi tentang mengirimkan kasih murni. Tentang bagaimana pancaran itu bisa menjadi kurang murni karena terbalut emosi-emosi. Tentang kepekaan si penerima dan apa yang terjadi pada mereka saat menerimanya. 

Dalam helaan napas, Rara melangitkan niat untuk bisa lebih tulus lagi, agar kehadirannya memberi kenyamanan bagi semua dan bukannya malah memberatkan mereka. Belajar juga untuk menyadari kehadiran ego yang kadang menyusup dengan halus lalu bersih-bersih diri, sebelum pancaran jiwanya terterima oleh keberadaan lainnya.

******** 
Kumpulan Fiksi Jaka dan Rara juga dapat dibaca di situs tentang Spiritual dan Meditasi Mahadaya Institute.

Matur nuwun KangMas atas pelajaran dan latihannya...

Baca lagi kisah yang lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar