[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pancaran Energi

Kamis, 26 September 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pancaran Energi


Hari masih pagi, tapi hati Rara sudah resah dan gelisah. Beberapa minggu lalu ia mengirimkan naskah kepada sebuah penerbit Indie dalam rangka sebuah lomba. Jika naskahnya dianggap menarik, maka pihak penerbit akan bekerja sama untuk membukukannya. Saat ini sudah beberapa hari menjelang penentuannya, sehingga mau tidak mau Rara berdebar menantikan keputusannya.

"Minum teh dulu, yuk," Jaka memeluknya sang istri dari belakang untuk menenangkan.

Pagi itu mereka baru saja sarapan, dan karena Rara nampak malas-malasan di depan tempat cuci piring, maka Jaka ingin membuat cair suasana. 

"Maaf ya..." Rara menggeliat nyaman dalam pelukan suaminya. "Aku cuma..."

"Cuma khawatir tentang naskahmu akan diterima atau tidak?" tebak Jaka sambil mengecup kepala Rara.

Rara mengangguk lalu membalikkan badan untuk menghadap Jaka.

Jaka menghela napas. "You know quite well how the law works, don't you, Ra?" tanyanya beretorika. 

"What law?" Rara mengerutkan kening. 

"Hukum Semesta," Jaka mengingatkan. "Yang bekerja secara presisi sesuai dengan getaran yang kita pancarkan."

Rara menggeleng, antara lupa dan tidak sedang ingin diberi wejangan.

"Ayo dong, Dinda..." Jaka menyingkirkannya beberapa helai rambut di wajah kekasih hatinya. "Tinggalkan energi meminta, ganti dengan mengutarakan keinginanmu secara jelas dan yakin, lalu pasrahkan hasilnya."

Seketika, Rara menegakkan badan. Ia ingat sekarang apa yang telah dilewatkannya mengenai pembuatan buku ini.

"Karena kalau energinya minta, maka apa yang diinginkan malah menjauh..." gumamnya pada diri sendiri.

"Yup," Jaka tersenyum melihat istrinya yang kembali bangkit. 

"Karena tujuanku menulis adalah ingin menceritakan tentang indahnya dunia," Rara masih bergumam. "Ingin membagikan apa yang aku tau dan bahagia dengannya."

"Lalu siapa yang menuntutmu untuk membuat buku?" tanya Jaka, bukan dengan iseng semata. 

"Tidak ada..." kali ini Rara yang tersenyum minta dimaklumkan. "Aku yang menuntut diriku sendiri untuk membuat buku."

Jaka hanya mengerling saja mendengarnya. Rara sedang menyadari apa yang terjadi pada dirinya, dan kesadaran itu membawanya pada kenyataan yang membahagiakan.

"Dan menuntut membuatku lupa pada tujuan awalku. Menyetirku perlahan kepada pemuasan ego dan bukannya pelayanan," Rara melebarkan senyumannya untuk mengakui kebodohan.

Lagi-lagi, Jaka mengerling saja, menikmati momen di mana istrinya sampai pada pemahamannya. 

"Lalu karena menuntut itu energinya meminta, maka yang direfleksikan alam terhadapku adalah perasaan kekurangan, ketakutan, kekhawatiran," lanjut Rara. "Dan semua energiku terkuras ke sana, sampai aku sendiri bersedia mengubahnya menjadi energi kebersyukuran, hingga yang didatangkan kepadaku adalah keberlimpahan."

"Semua yang terjadi pada kita adalah yang paling sesuai dengan apa yang kita pancarkan," Jaka menutup kesimpulan Rara. "Jadi tidak usah bekerja untuk mengejar target, karena hitungan target itu masih terbatas logika. Bekerja yang tulus saja tanpa pengharapan, karena keberlimpahan dariNya sungguh tidak akan pernah bisa terbayangkan."

Rara menatap suaminya dengan terpesona. "I hate it when you're right," katanya sambil melingkarkan kedua tangannya pada leher Jaka.

Jaka merangkul pinggang Rara dan tertawa. "So what do you like about me, then?"

"Your kisses and..." Rara mulai menggoda.

Lalu yang terjadi setelahnya adalah yang tersesuai dengan energi yang dipancarkan...

********
Baca lagi kisah kasih mereka dalam Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar