"Dik, kita dapet kiriman dari Jakarta. Sebuah sepeda motor! Namanya Hela!' saya mendengar bapak berseru girang kepada ibu. Sedetik kemudian, saya, dik Evi, dik Rizal, dan tentu saja, Ibu, berlarian menyerbu bapak di teras. Yang bersangkutan terlihat sumringah, sedang mengelus kiriman dari kakak iparnya, salah seorang Pakdhe saya yang bekerja di Jakarta.
.......
Honda Hela adalah salah satu motor keluaran PT Astra Honda Motor (AHM), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, perakitan dan distributor sepeda motor merk Honda (*wikipedia). AHM ini merupakan satu dari anak perusahaan multinasional, Astra Internasional Tbk., yang berdiri pada tahun 1971, dengan nama awal PT. Federal Motor.
Sepeda motor ini benar-benar sepeda dan motor, yang memiliki mesin sekaligus pedal untuk mengayuh. Kapasitas mesinnya 50cc, yang ditandai dengan huruf 'P' di depannya. Ada beberapa varian Hela yang pernah dikeluarkan PT AHM sesuai kapasitas mesinnya ini, seperti PS50N, PS50L, dan PS50J yang rilis pada tahun 1968. (*sepeda-motor.info)
Honda Hela, dengan demikian adalah kakek buyutnya motor-motor bebek yang beredar di pasaran saat ini.
.......
Ilustrasi lagi
Sejak memiliki Honda Hela, bapak tidak lagi berjualan kacang goreng, keripik pangsit, dan peyek kacang dengan sepeda onthel. Bapak juga tidak harus kepayahan mengayuh sepeda saat berangkat dan pulang kerja, sebagai guru di sebuah SD. Eh, kecuali saat sedang kehabisan uang untuk membeli bensin, karena Honda Helanya sangat pengertian, bisa berjalan juga dengan kayuhan, hihihi.
Dalam ikhtiarnya menitipkan dagangan, bapak paling sering mengajak saya. Tidak akan pernah hilang dalam ingatan saya, setiap detik bersamanya naik Honda Helanya yang berwarna asli kuning pisang itu. Saya ingat suaranya yang menderu bising, saya ingat kedua pedalnya yang mencuat di samping kiri dan kanan, saya ingat joknya yang empuk -jauh lebih empuk ketimbang onthel bapak.
Bahkan, masih berkelebatan di mata saya, momen-momen yang tercipta bersama si kuning Honda Hela. Ada momen di mana bapak mengangkat blek-blek peyek lalu mengaturnya dengan baik hingga saya bisa duduk nyaman di antaranya. Ada momen di mana bapak bernegosiasi dengan pemilik warung dan saya duduk manis menunggunya, dengan semilir angin di persawahan yang hijau nan damai. Ada momen di mana bapak berbinar-binar menerima bayaran atas peyek-peyek yang berhasil terjual. Serta momen di mana bapak kecewa dalam lelah di bawah teriknya mentari, karena peyek kami tidak diterima oleh beberapa pelanggan baru.
Tidak hanya kenangan tentang ikhtiar bapak menafkahi keluarga yang muncul di pelupuk mata saya. Bayangan bapak menjemput saya dan adik-adik di sekolah bersama si Kuning juga menari-nari.
Saya ingat, di suatu sore yang sejuk, saya duduk lama di depan gerbang sekolah menanti bapak yang tidak kunjung datang. Padahal biasanya sebelum sore, bapak sudah tiba dengan motor kesayangannya itu. Ingin rasanya saya berlari pulang, tapi sekolahnya jauh dari rumah. Akhirnya beliau tiba dengan sepeda onthel, karena ternyata si Kuning sedang mogok. Tergopoh-gopoh, bapak mengayuh, sambil mengkhawatirkan saya yang sudah lama menunggu.
Ah, bapak, betapa saya merindukan bapak....
.......
Honda Hela dirakit oleh pekerja-pekerja di bawah bendera Pt. Astra Internasional Tbk. Astra Internasional Tbk. adalah sebuah perusahaan perdagangan umum yang lahir pada tahun 1957 di Jakarta. Konon, Om Willem, panggilan akrab bapak William Soeryadjaya, pendirinya, mengawali bisnis di sebuah toko kecil yang becek, yang kemudian berkembang subur bak 'pohon rindang' hingga seperti sekarang ini.
Seperti usahanya, pengusaha asal Majalengka yang akrab dipanggail 'Om Willem' ini pun berperilaku persis seperti pohon yang rindang. Beliau merupakan seorang yang pantang menyerah, sekaligus juga bersahaja. Ia senang membantu pebisnis kecil, menjadi naungan bagi banyak usaha, dan menjadi orang Asia pertama yang menjadi anggota Dewan Penyantun 'The Asia Society', sebuah lembaga amal milik salah satu orang terkaya di dunia, Rockefeller.
Seorang yang benar-benar layak dijadikan panutan, dan menjadi salah satu anak kebanggaan negeri tercinta ini.
.......
Masih ilustrasi
Saya masih -kalau tidak salah ingat- kelas dua SD saat Honda Hela datang. Si Kuning itu dengan cepatnya menarik perhatian saya, anak kecil yang tidak bisa diam dan selalu penasaran. Selama bertahun-tahun saya menunggu untuk bisa mengendarainya, tapi bapak tidak pernah memberi kesempatan. Saya hanya terus-menerus duduk di jok belakang, dengan rambut yang melayang-layang diterpa angin di sepanjang perjalanan menembus sawah yang penuh kenangan.
Sampai saat itu tiba....
"Ayo dong, pak. Boleh ya? Sekali ini saja...." saya mengerjapkan mata dengan penuh harap.
Setiap hari raya Idul Fitri tiba, kami sekeluarga pergi ke tempat simbah di Jatinom, sekitar dua puluh menit saja dari tempat kami tinggal. Seperti biasanya, bapak akan mengantar kedua adik saya, Evi dan Rizal, terlebih dulu ke sana. Setelah itu, bapak kembali untuk menjemput ibu, yang akan duduk menyamping dan menggelayut manja di belakangnya. Lalu, tiba giliran saya, penumpang terakhir yang banyak maunya.
"Ya sudah, sekali ini saja, ya!" akhirnya bapak luluh oleh rayuan maut anaknya.
Yeaay! Tidak bisa dijelaskan betapa gembiranya hati saya ketika itu. Anak kelas lima SD akan menyetir sebuah motor Honda Hela! Apa kata teman-teman di sekolah nanti?
"Mesti terkenal byanget aku, iso ngegas-ngegas numpak montor, mboncengi bapak nyang Jatinom!" bathin saya menjerit girang.
Lalu, terjadilah hal yang saya impikan itu. Ke rumah simbah mengendarai motor dengan bapak sebagai penumpang. Dan.. terjadi jugalah insiden itu. Saat roda si Kuning menukik tajam karena terpeleset pasir-pasir yang bertaburan di aspal.
"Piye iki, paaaak?!"
"Rem ae, ojo di gas teruuuuus!"
Tapi tidak bisa. Si Kuning sudah oleng, membawa saya terseret bersamanya. Dunia terlihat begitu miring saat itu, dan berat, karena ternyata saya tertindih beban ratusan kilogram.
Ya, kami kecelakaan di sebuah tikungan tajam dan jatuh bersama. Bapak, yang juga seorang guru Karate, secara naluri langsung melakukan salto. Tangannya yang terulur tidak sempat merebut saya dari setang si Kuning yang melaju oleng.
Untungnya, tidak ada luka fatal yang kami alami. Hanya saja, saya tetap harus dibawa ke klinik dan menerima suntikan Tetanus. Saya ingat, suntikan itu sakitnya luar biasa, dan hanya bisa saya telan bulat-bulat dalam hati, karena terlalu gengsi saya, untuk menangis di depan bapak.
"Nek wis tibho, wis kapok, tho?" sindir bapak seakan mendengar umpatan saya di dalam hati.
Saat itu, ya, saya kapok. Tapi tidak selamanya, karena sampai saat ini, saya masih mengendari si Kuning Honda Hela, walau bapak sudah bertahun lalu berpulang kepadaNya.
.......
Tulisan ini saya buat untuk mengenang almarhum om Sus Handoko. Paklik saya, adiknya Mama, yang tinggal di Klaten, Jawa Tengah bersama istri dan anak-anaknya. Beliau adalah seorang guru SD, merangkap sebagai guru Karate, juga pedagang penganan kecil seperti kacang goreng, keripik pangsit, dan peyek. Bulik Zuhriyah, istrinya, yang mengolah, Om Han yang menjajakannya ke pedagang kaki lima, warung-warung dan rumah makan di sepanjang jalan Klaten-Solo dan Klaten-Yogyakarta. Adik sepupu saya Hanif, yang menjadi narasumbernya.
Om Han yang saya ingat adalah pria bertubuh gempal yang enerjik. Hawa keceriaan, semangat, kesederhanaan, segera tertangkap bila berada di dekatnya. Paklik yang satu ini juga terkenal sangat humoris dan sabar. Segala ledekan yang dilemparkan kepadanya selalu diterima dengan tawa dan lapang dada. Tidak pernah terbersit sedikitpun dendam di hatinya yang kaya maaf itu.
Saya ingat Mama pernah berkata bahwa,
Artinya, Mama saya sebagai kakak membantu ibunya mengasuh Om Han sewaktu kecil. Ini adalah sebuah kebiasaan yang sangat wajar dilakukan di era tahun 1950an, di mana nenek saya yang memiliki anak sepuluh orang, merasa sangat kewalahan mengurus kegiatan hariannya. Tidak hanya melahirkan dan membesarkan anak sepuluh, sebagai ibu rumah tangga, simbah putri, nenek saya, juga harus mengurus rumah dan keperluan simbah kakung. Oleh karena itu, kemudian ada semacam peraturan yang 'mengharuskan' anak-anak tertua untuk 'memegang' satu adik demi membantu ibunya.
Mama kebagian memegang Om Han. Walau berjarak tahunan, tapi kakak nomor tiga dan adik nomor delapan itu mukanya mirip. Tidak hanya itu, keduanya juga memiliki sifat yang sama; pantang menyerah dan selalu optimis menghadapi keadaan.
Om Han menjajakan peyek kacangnya yang khas selama bertahun-tahun, sejak Hanif duduk sebagai siswa sekolah dasar, hingga sepupu saya tersayang itu menjadi mahasiswi. Hari demi hari dilaluinya dengan tegar untuk berikhtiar menghidupi keluarganya. Kelelahan nampak jelas di wajahnya, namun semangatnya tidak tertandingi. Ia tahu, sebagai seorang guru, gajinya tidak akan cukup untuk keperluan istri dan tiga anak. Oleh karenanya, bersama si Kuning Honda Hela, ia menyambung penghasilannya.
Sepeda motor ini benar-benar sepeda dan motor, yang memiliki mesin sekaligus pedal untuk mengayuh. Kapasitas mesinnya 50cc, yang ditandai dengan huruf 'P' di depannya. Ada beberapa varian Hela yang pernah dikeluarkan PT AHM sesuai kapasitas mesinnya ini, seperti PS50N, PS50L, dan PS50J yang rilis pada tahun 1968. (*sepeda-motor.info)
Honda Hela, dengan demikian adalah kakek buyutnya motor-motor bebek yang beredar di pasaran saat ini.
.......
Ilustrasi lagi
Sejak memiliki Honda Hela, bapak tidak lagi berjualan kacang goreng, keripik pangsit, dan peyek kacang dengan sepeda onthel. Bapak juga tidak harus kepayahan mengayuh sepeda saat berangkat dan pulang kerja, sebagai guru di sebuah SD. Eh, kecuali saat sedang kehabisan uang untuk membeli bensin, karena Honda Helanya sangat pengertian, bisa berjalan juga dengan kayuhan, hihihi.
Bapak itu orang yang sangat gigih bekerja, senang bergaul, dan sederhana. Pemikirannya tidak aneh-aneh seperti orang zaman now, hanya sebatas mengajar, lalu pulang dan beristirahat, bercanda gurau bersama anak-anak, lalu pergi lagi mengantar dagangan ke para pelanggan. Ada beberapa kaki lima, warung makan, dan rumah makan di daerah Kalasan dan sepanjang Solo-Klaten-Yogyakarta yang menjadi pembeli setianya.
Dalam ikhtiarnya menitipkan dagangan, bapak paling sering mengajak saya. Tidak akan pernah hilang dalam ingatan saya, setiap detik bersamanya naik Honda Helanya yang berwarna asli kuning pisang itu. Saya ingat suaranya yang menderu bising, saya ingat kedua pedalnya yang mencuat di samping kiri dan kanan, saya ingat joknya yang empuk -jauh lebih empuk ketimbang onthel bapak.
Bahkan, masih berkelebatan di mata saya, momen-momen yang tercipta bersama si kuning Honda Hela. Ada momen di mana bapak mengangkat blek-blek peyek lalu mengaturnya dengan baik hingga saya bisa duduk nyaman di antaranya. Ada momen di mana bapak bernegosiasi dengan pemilik warung dan saya duduk manis menunggunya, dengan semilir angin di persawahan yang hijau nan damai. Ada momen di mana bapak berbinar-binar menerima bayaran atas peyek-peyek yang berhasil terjual. Serta momen di mana bapak kecewa dalam lelah di bawah teriknya mentari, karena peyek kami tidak diterima oleh beberapa pelanggan baru.
Tidak hanya kenangan tentang ikhtiar bapak menafkahi keluarga yang muncul di pelupuk mata saya. Bayangan bapak menjemput saya dan adik-adik di sekolah bersama si Kuning juga menari-nari.
Saya ingat, di suatu sore yang sejuk, saya duduk lama di depan gerbang sekolah menanti bapak yang tidak kunjung datang. Padahal biasanya sebelum sore, bapak sudah tiba dengan motor kesayangannya itu. Ingin rasanya saya berlari pulang, tapi sekolahnya jauh dari rumah. Akhirnya beliau tiba dengan sepeda onthel, karena ternyata si Kuning sedang mogok. Tergopoh-gopoh, bapak mengayuh, sambil mengkhawatirkan saya yang sudah lama menunggu.
Ah, bapak, betapa saya merindukan bapak....
.......
Honda Hela dirakit oleh pekerja-pekerja di bawah bendera Pt. Astra Internasional Tbk. Astra Internasional Tbk. adalah sebuah perusahaan perdagangan umum yang lahir pada tahun 1957 di Jakarta. Konon, Om Willem, panggilan akrab bapak William Soeryadjaya, pendirinya, mengawali bisnis di sebuah toko kecil yang becek, yang kemudian berkembang subur bak 'pohon rindang' hingga seperti sekarang ini.
Seperti usahanya, pengusaha asal Majalengka yang akrab dipanggail 'Om Willem' ini pun berperilaku persis seperti pohon yang rindang. Beliau merupakan seorang yang pantang menyerah, sekaligus juga bersahaja. Ia senang membantu pebisnis kecil, menjadi naungan bagi banyak usaha, dan menjadi orang Asia pertama yang menjadi anggota Dewan Penyantun 'The Asia Society', sebuah lembaga amal milik salah satu orang terkaya di dunia, Rockefeller.
Seorang yang benar-benar layak dijadikan panutan, dan menjadi salah satu anak kebanggaan negeri tercinta ini.
Astra Honda Motor by Astra International Tbk.
.......
Masih ilustrasi
Saya masih -kalau tidak salah ingat- kelas dua SD saat Honda Hela datang. Si Kuning itu dengan cepatnya menarik perhatian saya, anak kecil yang tidak bisa diam dan selalu penasaran. Selama bertahun-tahun saya menunggu untuk bisa mengendarainya, tapi bapak tidak pernah memberi kesempatan. Saya hanya terus-menerus duduk di jok belakang, dengan rambut yang melayang-layang diterpa angin di sepanjang perjalanan menembus sawah yang penuh kenangan.
Sampai saat itu tiba....
"Ayo dong, pak. Boleh ya? Sekali ini saja...." saya mengerjapkan mata dengan penuh harap.
Setiap hari raya Idul Fitri tiba, kami sekeluarga pergi ke tempat simbah di Jatinom, sekitar dua puluh menit saja dari tempat kami tinggal. Seperti biasanya, bapak akan mengantar kedua adik saya, Evi dan Rizal, terlebih dulu ke sana. Setelah itu, bapak kembali untuk menjemput ibu, yang akan duduk menyamping dan menggelayut manja di belakangnya. Lalu, tiba giliran saya, penumpang terakhir yang banyak maunya.
"Ya sudah, sekali ini saja, ya!" akhirnya bapak luluh oleh rayuan maut anaknya.
Yeaay! Tidak bisa dijelaskan betapa gembiranya hati saya ketika itu. Anak kelas lima SD akan menyetir sebuah motor Honda Hela! Apa kata teman-teman di sekolah nanti?
"Mesti terkenal byanget aku, iso ngegas-ngegas numpak montor, mboncengi bapak nyang Jatinom!" bathin saya menjerit girang.
Lalu, terjadilah hal yang saya impikan itu. Ke rumah simbah mengendarai motor dengan bapak sebagai penumpang. Dan.. terjadi jugalah insiden itu. Saat roda si Kuning menukik tajam karena terpeleset pasir-pasir yang bertaburan di aspal.
"Piye iki, paaaak?!"
"Rem ae, ojo di gas teruuuuus!"
Tapi tidak bisa. Si Kuning sudah oleng, membawa saya terseret bersamanya. Dunia terlihat begitu miring saat itu, dan berat, karena ternyata saya tertindih beban ratusan kilogram.
Ya, kami kecelakaan di sebuah tikungan tajam dan jatuh bersama. Bapak, yang juga seorang guru Karate, secara naluri langsung melakukan salto. Tangannya yang terulur tidak sempat merebut saya dari setang si Kuning yang melaju oleng.
Untungnya, tidak ada luka fatal yang kami alami. Hanya saja, saya tetap harus dibawa ke klinik dan menerima suntikan Tetanus. Saya ingat, suntikan itu sakitnya luar biasa, dan hanya bisa saya telan bulat-bulat dalam hati, karena terlalu gengsi saya, untuk menangis di depan bapak.
"Nek wis tibho, wis kapok, tho?" sindir bapak seakan mendengar umpatan saya di dalam hati.
Saat itu, ya, saya kapok. Tapi tidak selamanya, karena sampai saat ini, saya masih mengendari si Kuning Honda Hela, walau bapak sudah bertahun lalu berpulang kepadaNya.
.......
"Mengingat bapak itu hal yang indah, Mbak," Hanif memulai ceritanya.Walaupun komunikasi kami hanya terjalin melalui daring, tapi saya tahu, sang adik sepupu itu menerawang dalam senyum dan hati yang pedih. Mencoba menelusuri kembali sel-sel kelabu di otaknya yang menyimpan memori tentang almarhum om Handoko, bapak yang selalu menjadi panutannya.
Om Han yang saya ingat adalah pria bertubuh gempal yang enerjik. Hawa keceriaan, semangat, kesederhanaan, segera tertangkap bila berada di dekatnya. Paklik yang satu ini juga terkenal sangat humoris dan sabar. Segala ledekan yang dilemparkan kepadanya selalu diterima dengan tawa dan lapang dada. Tidak pernah terbersit sedikitpun dendam di hatinya yang kaya maaf itu.
Saya ingat Mama pernah berkata bahwa,
"Om Han ini 'pegangannya' Mama. Dulu, setiap anaknya simbah pegang satu adik."
Artinya, Mama saya sebagai kakak membantu ibunya mengasuh Om Han sewaktu kecil. Ini adalah sebuah kebiasaan yang sangat wajar dilakukan di era tahun 1950an, di mana nenek saya yang memiliki anak sepuluh orang, merasa sangat kewalahan mengurus kegiatan hariannya. Tidak hanya melahirkan dan membesarkan anak sepuluh, sebagai ibu rumah tangga, simbah putri, nenek saya, juga harus mengurus rumah dan keperluan simbah kakung. Oleh karena itu, kemudian ada semacam peraturan yang 'mengharuskan' anak-anak tertua untuk 'memegang' satu adik demi membantu ibunya.
Mama kebagian memegang Om Han. Walau berjarak tahunan, tapi kakak nomor tiga dan adik nomor delapan itu mukanya mirip. Tidak hanya itu, keduanya juga memiliki sifat yang sama; pantang menyerah dan selalu optimis menghadapi keadaan.
Om Han menjajakan peyek kacangnya yang khas selama bertahun-tahun, sejak Hanif duduk sebagai siswa sekolah dasar, hingga sepupu saya tersayang itu menjadi mahasiswi. Hari demi hari dilaluinya dengan tegar untuk berikhtiar menghidupi keluarganya. Kelelahan nampak jelas di wajahnya, namun semangatnya tidak tertandingi. Ia tahu, sebagai seorang guru, gajinya tidak akan cukup untuk keperluan istri dan tiga anak. Oleh karenanya, bersama si Kuning Honda Hela, ia menyambung penghasilannya.
"Sejarah bapak dan peyek kacang itu adalah motivasi terbesar untuk berjuang dalam hidup. Bapak mengajarkan kami untuk tidak cengeng dan mudah menyerah," lanjutnya
Terbukti memang, ikhtiar sang bapak terbayar dengan gemilang. Ketiga anaknya berhasil disekolahkannya dengan tinggi hingga dengan titel Sarjana satu. Hanif saat ini adalah seorang dosen di sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Anak itu memang bakatnya pintar sejak kecil. Pada semester ketiganya di kampus, ia sudah mampu membiayai kuliahnya karena beasiswa.
Ia bercerita, saat menginjak semester lima, om Han kesulitan keuangan karena harus membiayai sekolah dua adiknya. Gadis itu lalu memberanikan diri untuk meminjam sejumlah uang untuk membeli kamera dan komputer, yang bisa menunjang mata-mata kuliahnya sekaligus memberinya penghasilan sendiri. Sekarang, Hanif sudah banyak sekali menghasilkan karya, kebanyakan berupa video-video bertema alam, bersama teman-temannya para Sineas Muda di Kota Gudeg sana.
Si Kuning Honda Hela masih dipakai Hanif sampai saat ini, untuk menggantikan bapak yang selalu mengendarainya untuk berikhtiar.
Ia bercerita, saat menginjak semester lima, om Han kesulitan keuangan karena harus membiayai sekolah dua adiknya. Gadis itu lalu memberanikan diri untuk meminjam sejumlah uang untuk membeli kamera dan komputer, yang bisa menunjang mata-mata kuliahnya sekaligus memberinya penghasilan sendiri. Sekarang, Hanif sudah banyak sekali menghasilkan karya, kebanyakan berupa video-video bertema alam, bersama teman-temannya para Sineas Muda di Kota Gudeg sana.
"Banyak yang menawarnya, mbak," curhat Hanif, "Malah ada yang mau tukar dengan Honda Beat. Tapi ora tak ke'i. Sejarahnya itu ngga bisa dijual, mbak. Tak ternilai."Ya, tidak ada yang pernah bisa membeli sebuah sejarah, atau merampasnya dari ingatan. Perjuangan Om Han, sifat dan sikapnya, telah terceta sebagai inspirasi dalam benak anak-anaknya. Juga saya. Tak pernah terpikir oleh saya, bahwa berjualan peyek bisa menyambung hidup sebuah keluarga, hingga anak-anaknya besar dan berkarya dengan hebat.
Peyek dalam blek-blek kaleng yang hanya seharga lima puluh Rupiah sebuah itu, berkelana dalam harmoni bersama si Kuning Honda Hela. Meninggalkan kenangan yang tak akan lekang dari ingatan, dan semoga turut menempatkan Om Han bersama amalan baiknya di alam keabadian.
*Ilustrasi adalah paduan antara imaji saya dan cerita yang dikisahkan Hanif
Sosok bapak memang hard worker ya, entah bagaimana caranya bertanggungjawab menafkahi keluarga. Semoga almarhum Bapak mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, Bu. Btw, motornya antik dan pasti ga akan dijual karena saksi perjuangan:)
BalasHapusAamiin ya rabbal alamin. Terima kasih atas doanya, mbak Rina. Iya, motornya dipake anaknya, Hanif, sampe sekarang, hihi
HapusDari lama sudah pakai Honda ya. Antik banget tuh motornya. Ditambah ada cerita dari ayahnya ya, Mbak :)
BalasHapus