[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Sensor Alam

Selasa, 05 Mei 2020

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Sensor Alam



Sesorean ini, Jaka dan Rara asyik dengan gawainya masing-masing. Jaka, seperti biasa, melanjutkan permainan bertarungnya secara daring, dan Rara, seperti biasa juga, memilih menelusuri lini masa media sosialnya. Sungguh dua kegemaran yang sangat berbeda. Tiba-tiba, sebuah pesan instan masuk untuk Rara.

"Halo Rara, apa kabar?" begitu isinya. 

Kalimat itu sederhana saja, sebenarnya. Datang dari seseorang yang dikenalnya, walau tidak terlalu akrab. Tapi Rara mengernyit. Ada semacam perasaan tidak nyaman menggelenyar di dadanya. Diindahkannya sensasi itu, lalu mengetik jawaban.


"Baik," katanya. "Kamu gimana, baik?"

Yang ditanya menjawab serupa dan tak lama, keduanya terlibat dalam percakapan umum layaknya dua teman yang sudah lama tidak jumpa. Saling menanyakan kegiatan, keluarga, juga kerjaan. Hangat saja, nampaknya, walau sensasi itu terus membayangi Rara. 

Setengah jam berlalu, Rara tiba-tiba merasa jengah dan ingin menyudahi pembicaraan, jadi ia mengundurkan diri dengan alasan akan menyiapkan makan malam. Untungnya, sang teman juga harus membeli makanan untuk berbuka puasa, katanya. Sebuah pesan terakhir lalu disampaikannya,

"Kapan dong, kita ketemuan? Banyak cerita, nih!"

Tapi Rara tidak merasa perlu memberi respon apa-apa, perutnya jadi agak mual, jadi ia menutup aplikasi chatting-nya begitu saja. Obrolan itu pun berhenti, dengan menyisakan sesuatu di hati Rara --entah apa.

Di sebelahnya, Jaka menangkap sesuatu yang tidak biasa. Dialihkannya pandangan dari permainan daringnya untuk bertanya,

"Kamu kenapa, Dinda?" Jaka mengecup kepala istrinya. 

Yang ditanya lalu menoleh dan tersenyum saja, tidak bisa menjelaskan apa-apa. 

"Siapa yang ngejapri?" tanya Jaka lagi tanpa bermaksud cemburu. "Ada sesuatu yang bikin ngga enak?"

Lagi-lagi, Rara tersenyum saja, kali ini sambil menggeleng. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, walau sensasi ketidaknyamanan itu masih menghinggapi. 

"Memang begitu, Ra..." sang suami akhirnya memutuskan untuk menjelaskan. "Ada semacam sensor alam tertentu, yang membuat kita bisa mendeteksi ketidakselarasan."

"Maksudnya?" sang istri bertanya.

"Semua kan bergetar pada frekuensinya masing-masing," Jaka meletakkan gawainya. "Kita bisa merasakannya, menangkap vibrasinya, dan oleh karenanya, bisa merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan akibat getarannya."

Rara mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dipejamkannya mata, untuk memahami melalui tidak hanya nalarnya. Jaka tersenyum melihatnya, dikecupnya lagi kepala Rara, seakan itu dapat membantu proses pemahamannya. 

"Kadang kita merasa ada semacam penolakan terhadap seseorang --tanpa peduli bahwa orang tersebut terlihat baik atau tidak, sudah bertemu secara fisik atau belum" lanjut Jaka. "Seolah jiwa ini tau apa yang secara indera tidak terdeteksi."

"Ah," Rara berseru tertahan. "Seolah jiwa ini tau..." ia meneruskan seruannya dalam hati.

Jaka tersenyum lagi. Senang sekali ia. Bukan hanya karena Rara jadi naik pemahaman, juga karena ia bisa kembali pada permainan daringnya. Tapi bukan Rara namanya, kalau hanya berpuas diri pada sebuah jawaban.

"Tapi taunya dari mana?" sang istri mulai mengejar. "Kalau sekarang ini aku bisa tau, apa kapan-kapan akan tau juga? Apa ada sesuatu di orang itu yang bisa aku tangkap keberadaannya? Atau gimana?"

Mau tak mau, Jaka terkekeh geli, sambil melemparkan pandangan rindu pada gawainya. Ia lalu menarik napas dalam, memejamkan mata, meyakinkan diri bahwa ia terhubung pada sang Maha Sumber Pengetahuan sebelum menjawab.

"Radio Prambors itu mengudara pada frekuensi tertentu --eh, berapa itu frekuensinya, ya?" Jaka mengerutkan kening. "Lalu Delta FM, Sonora, Radio Kayu Manis dan sebagainya juga beredar pada frekuensi tertentu..."

Rara diam saja, menunggu penjelasan lanjutan.

"Kamu akan cenderung memilih salah satu yang selaras, yang menyamankanmu, lalu stay tune di radio tersebut dan enjoy di sana," yang ditunggu meneruskan omongan. "Kamu ngga akan merasa nyaman di frekuensi lain, karena getaranmu bukan di sana..."

Rara masih diam, mencerna.

"Kalau suka pada sebuah stasiun radio, itu karena kamu bergetar pada gelombang yang sama dengan lagu-lagu yang diputar di sana," lanjut Jaka. "Jazz, misalnya, yang getarannya slow. Atau klasik, yang bervibrasi lembut. Atau musik hardcore, yang jelas berada di frekuensi tinggi. Atau pop, yang ringan dan enerjik. Atau dangdut, yang..." 

Jaka menggantung kalimatnya, membuat Rara tertawa.

"Masing-masing mengudara pada gelombang yang tetap, geser setengah herzt saja sudah terdengar kresek-kresek," Rara akhirnya urun bicara. "Tidak enak didengar, ngga nyaman."

"Dan getaran seperti itu jugalah yang kamu tangkap dari orang-orang," Jaka mengambil istrinya ke dalam pelukan. "Maka kamu, somehow someway, akan menerima sinyal nyaman atau tidak nyaman dari mereka, karena sensor alamnya bekerja. Sensor yang seterusnya ada, tidak akan hilang selama kita selalu terhubung dengan Semesta raya"

"Lalu kenapa ya, aku tidak merasa nyaman dengan temanku tadi?" sang istri bertanya lagi. "Hmm..."

Jaka tertawa. "Sudah ya, tidak perlu dilanjutkan. Apapun itu, cukup hanya dirasa, tidak perlu dilogika. Sensornya sudah secara alamiah bekerja, jadi turuti ajakannya untuk mendekat, atau menghindar. Lagipula ada hal lain yang lebih penting untuk diurusi, perutku, misalnya."

Tawanya menular ke Rara, jadi ia bangkit dan menghilang ke dapur, mempersiapkan makan malam mereka. Namun tak ayal, opini-opini iseng berseliweran di kepala mengenai temannya itu. Penasaran ia, dengan apa yang ditangkapnya.

"Mungkinkah ada niat lain yang terselip di hatinya? Atau ada emosi dan ego tertentu, yang dengan halus mengiringinya saat ia berbagi cerita?" pikirannya sibuk bicara. 

Lalu sesuatu seperti mengingatkannya, sehingga ia segera mengheningkan piranti nalarnya. Samar-samar, sebuah bisikan menggema dari dadanya,

"Belajarlah untuk tetap dalam keheningan, tanpa campur tangan pikiran. Antar jiwa memang mampu mengenali, melebihi apa yang dilihat inderawi raganya secara fisik. And souls tend to go back, to whom they feel like home. Percaya saja padanya..."

******** 

Matur nuwun sanget kepada Mas Guru, atas bimbingan jiwanya. Matur nuwun untuk Mbak Dina, Mbak Anastasia, Ibu Cita, atas obrolan ringan namun sarat pelajaran. My soul salutes yours, Namaste. 

Baca lagi kisah yang lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar