[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Niat dan Distraksinya

Kamis, 29 Agustus 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Niat dan Distraksinya


Sudah beberapa hari ini Rara uring-uring tidak jelas, padahal tidak sedang PMS. Ia jadi lebih gegabah sekaligus malas memberdayakan diri alias mager, dan pastinya moody. Jaka tidak terlalu menyadari perubahan itu, sampai malam tadi ia pulang ke rumah dan melihat hal-hal yang tak kasat mata...

"Sudah bisa hening lagi, sekarang?" tanya Jaka sambil membawakan Rara sarapan ke tempat tidur. Sudah seminggu ia meninggalkan istrinya itu untuk tugas di luar pulau, sampai kurang memperhatikan energi lain yang berkeliaran di sekitarnya...

"Wah, breakfast in bed," Rara tersenyum semringah. "What did I do to deserve this?" Diterimanya baki berisi sepiring nasi goreng yang masih panas, dan dibauinya irisan seledri dan bawang goreng kesukaan yang berkumpul di atasnya.

"For just being you," Jaka menjawab disertai sedikit perasaan bersalah. Jarang-jarang ia merasa bersalah seperti itu, tapi Rara yang uring-uringan itu rasanya termasuk dalam kesalahannya yang kurang memperhatikan.

Saking jarangnya terjadi, Rara jadi mengernyit karena ikut menangkap itu. "Kenapa, kok nadanya ngga enak?" tanyanya.

Dengan tersenyum minta maklum, Jaka menjelaskan, "Kapanpun merasa uring-uringan ngga jelas, kamu harus bisa menyadarinya dan segera berhening diri, ya..."

Rara terdiam sejenak mendengarnya. Ya, memang ia menyadari perubahan emosi itu pada dirinya, walau tidak terlalu digubrisnya karena disangka bawaan hormon semata.

"Kamu tau ngga, kepalaku yang sebelah kanan seperti semutan yang kadang hilang kadang muncul..." katanya perlahan. "Dan seperti biasanya saat PMS, aku gampang kesal dan baperan. Padahal ngga lagi waktunya haid."

Jaka tersenyum lagi. "Ngga ngerasa aneh, ya?" ia bertanya.

Rara terdiam lagi, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya satu mingguan terakhir ini. "Iya... aneh," jawabnya setengah melamun. "Aku jadi susah untuk hening... Ada yang salah, kah?"

"Sejatinya, kita itu selalu terhubung denganNya, Sang Sumber Hidup-Kehidupan," Jaka menjelaskan lagi. "Tapi kadang ada saja distraksi yang mengganggu keterhubungan itu."

"Distraksi apa, misalnya?" Rara bingung.

"Karena semua itu energi, maka sebetulnya semua makhluk itu bisa saling merasakan," jawab Jaka. "Para yang tak kasat mata itu bisa merasakan kita, dan kalau senang, bisa saja mereka mengikuti, Ra..."

Terkejut, Rara menutup mulutnya yang terbuka. 

"Sadari napas, di mana ia berujung dan berpangkal, dan temukan IA di sana," Jaka menjawil dagu istrinya. "Kembali hening dan usahakan untuk terhubung selalu denganNya."

Rara mengangguk. Ia melakukan saran itu malam tadi saat Jaka memintanya untuk berhening diri. "Tapi, apa maksudnya kalau mereka senang lalu mengikuti?"

"Adalah niat, yang secara terang-terangan menyatakan kejernihan hati kita," sang suami menerangkan. "Niat itu memancarkan energi yang makhluk lainnya bisa dengan jelas membaca. Dari sana, akan ada saja yang selaras dengan niat itu, lalu mencoba membantu kita menjalankan apa yang diniatkan."

"Kalau niatnya buruk, gimana?" Rara bergidik sendiri.

"Ya akan ditemani dengan yang selaras dengan niat itu." Jaka menjawab tegas. "Jadi niatlah yang baik-baik saja, ya."

"Aku kan ngga punya niat buruk apa-apa minggu kemarin," protes Rara. "Buat apa juga punya niat buruk..." sambungnya dengan sedih.

"Bahkan yang niatnya baik pun terkadang bisa ikut terkena distraksi, Ra..." Sahut Jaka sambil mengelus rambut istrinya. "Maka segeralah sadari kalau tiba-tiba galau, tidak mood untuk terhubung, dan sejenisnya. Mungkin sedang ada yang mendistraksi."

Rara mengangguk. Ia menyadari perubahan mood-nya kemarin-kemarin ini, tapi tidak ngeh untuk bertindak apa-apa sampai suaminya menyarankan hening.

"Jadi itulah maksudnya "bahkan kesombongan sebesar buah zarah pun tidak akan masuk surga' ya?" tanyanya. "Karena berangkuh hati itu betul-betul niat yang tidak baik dan bisa jadi ketempelan makhluk yang..." ia menggantungkan kalimatnya tanpa ingin melanjutkan.

"Nah, gimana bisa berada di surga, kalau uring-uringan gaje?" Jaka tertawa-tawa. "Dan kalau kamu begitu, tanpa harus mati pun rasanya aku ada di neraka."

Rara ikut tertawa mendengarnya. Memang jauh sekali jika bicara tentang surga dan neraka yang nun jauh di sana, ya?

Seakan bisa membaca pikiran istrinya, Jaka buru-buru menyingkirkan baki sarapan di pangkuan Rara dan mulai mencumbunya, "Jadi sebelum ke surga sana, aku mau menikmati dulu surga yang dihadirkan buatku di bumi ini..."

Lagi-lagi, Rara tertawa dibuatnya, walau kali ini tawanya terdengar berbeda...

********
*thank you teh Norin Silviana for the insight <3

Baca lagi kisah Jaka dan Rara kumpulan kisah Jaka dan Rara, yaa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar