[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Hukum Keseimbangan

Rabu, 01 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Hukum Keseimbangan



Pagi ini Rara bertampang kusut, sekusut hatinya yang sedang memendam kesal. Jaka memperhatikannya sambil tersenyum, namun ia tidak berminat untuk bertanya. Takut kena semprot. Jadi ia melipir ke dapur saja, membuatkan roti panggang untuk mereka sarapan. Rara mengikutinya dan duduk di meja makan.

"Kamu mau scrambled, ngga?" tanyanya sambil menimang-nimang telur.

Yang ditanya menjawab dengan gelengan kepala saja, belum minat bersuara.

"Aku tetap buatkan scrambled egg dan sosis ya, seperti kesukaanmu," Jaka tersenyum lagi. Sepuluh menit kemudian, ia membawa semua masakannya ke meja makan, lalu mengambil sepiring kecil pepaya yang sudah dipotong-potong dari kulkas.

"Kenapa, sayang?" tanyanya sambil menyuapi istrinya sepotong pepaya. Setelah itu, ia menyuap sendiri pepaya dengan lahap.

"Bayaranku kurang," yang ditanya menjawab dengan sedih. Dibukanya lagi mulutnya untuk sepotong pepaya. "Bukan maksudku hitung-hitungan, atau tidak bersyukur... Tapi untuk kerjaanku kemarin itu, rasanya segitu kurang."

"Memangnya ngga pake perjanjian di awal?" tanya Jaka lagi. Setelah menyuap potongan pepaya terakhir, ia mengisi piring makan Rara dengan roti panggang dan lauknya.

Rara menggeleng. "Aku pikir dia sudah tau berapa tarif mengajar privat..." jawabnya sendu. Seorang temannya meminta satu bulan les bahasa Inggris privat untuk anaknya yang akan mengambil tes TOEFL. Dan les privat biasanya bertarif lebih mahal ketimbang les reguler di tempat khusus.

"Begini," Jaka memulai wejangannya sambil mengisi piring sarapannya. "Setiap apa yang keluar dari kita, bahkan hanya sebuah pikiran pun, akan ada imbalannya. Itu makanya dikatakan bahwa niat baik itu mendapat sepertiga pahala. Apalagi sebuah laku."

"Lalu?" tanya Rara. Ia belum berminat menyentuh sarapannya.

"Alam semesta itu memiliki tugas menyeimbangkan. Apapun yang berlebih akan dikurangi, dan apa yang kekurangan akan ditambahi," jawab Jaka yang semangat makan. "Dari setiap laku positif kita, maka alam akan berhutang pada kita. Sebaliknya, setiap hal negatif yang terjadi karena kita, maka kita berhutang pada semesta. Ngga usah takut dicurangi. Tidak ada yang mampu mencurangi."

Belum paham, Rara hanya merespon dengan merengut saja.

"Kalau kamu merasa bahwa dedikasimu adalah positif dan layak dibayar satu juta Rupiah, misalnya, maka satu jutalah yang akan kamu dapat. Alam sudah menyediakan bayarannya untukmu," Jaka mengunyah sosis ayamnya. "Kalau kamu ternyata cuma dibayar lima ratus ribu, misalnya, oleh pihak pemakai jasa, maka alam akan membayar sisanya. Dengan berbagai cara --ini makanya dikatakan bahwa rezeki datang dari mana saja."

"Si pemakai jasa gimana?" tanya Rara mulai bersemangat. Ia lalu menggigit roti isi telur orak-ariknya dengan lahap.

"Ya berlaku hukum yang sama, bahwa suatu saat kelak alam akan mengambil sesuatu darinya seharga hutangnya -atau lebih- secara paksa, kalau dia tidak juga mau sadar dan membayar secara sukarela," jawab Jaka. "Itulah gunanya kesadaran."

"Bagaimana kalau dia tidak tau kalau tarifnya satu juta, makanya hanya membayar lima ratus ribu Rupiah?" Rara bertanya lagi.

"Semua orang kan bisa merasa, Ra," Jaka menghabiskan sosisnya. "Kita semua tau, bahwa ada harga yang pantas atas setiap usaha. Kebersihan hatilah yang menjadi patokannya."

Rara manggut-manggut paham. "Jadi, sisa uangku akan dibayar semesta, ya?" 

"Semesta akan memberlakukan hukumnya tanpa tebang pilih, Ra. Lagipula, tidak ada yang dapat lolos juga dari pengamatanNya. Semua peristiwa pasti terekam sempurna," Jaka kembali menjelaskan. "Jadi sebaiknya, tidak usah terlalu gumun akan kekurangan, karena bisa jadi pembayarannya hanya tertunda. Atau bisa jadi juga, kita yang sebenarnya harus bayar hutang pada semesta."

Lalu Rara kembali tidak berminat pada sarapannya. Ia jadi merenungi kata-kata suaminya. Mencoba mengingat-ingat lagi kepada siapa ia pernah berbuat ketidak adilan, sehingga saat ini alam memotong bayarannya...

*******
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

3 komentar:

  1. Ih, keren deh ceritanya. Jujur, aku jadi berkaca2 ini. Dan bener banget, kita sering kali merasa kurang ini itu, padahal Tuhan tahu, ya segitu memang 'jatah' yang sesuai dengan 'kerja' saya. Fyuh... kudu memantaskan diri untuk bisa 'lebih' ya teh...

    BalasHapus
  2. Bagitu ya hukum keseimbangan semesta itu. Alam nggak pernah berhutang ya, selalu menepati hak kita.

    BalasHapus
  3. Teh, kalo cerita tentang Jaka dan Rara ini aku suka terhanyut padahal ceritanya sederhana. Intinya hal baik bisa memberikan yang baik pula, begitu pun sebaliknya.

    BalasHapus