[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Tanah Surga

Senin, 13 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Tanah Surga


Siang ini begitu panas. Matahari seakan tidak ingin menyia-nyiakan tugasnya yang hanya setengah hari saja untuk menyinari separuh planet yang ada Indonesianya. Jadi ia membanjiri bumi Nusantara dengan sinarnya yang melimpah ruah, sebelum awan-awan berdatangan dan membuatnya tertutup. 

"Rasanya ingin tidur-tiduran di kulkas," Rara menelepon suaminya yang sedang tugas di luar kota. 

"Ya udah sana..." yang ditelepon memberi saran.

"Yee..." sahut Rara sambil tertawa.

"Kalau ngga, tidur-tiduran di lantai saja," Jaka berkata lagi. "Sekalian grounding."

Rara langsung mengerjakan saran itu. "Betapa panasnya Indonesia, ya?" tanyanya agak kesal. Bulan puasa yang panas mentereng sama sekali bukan idaman.

"Kita ini hidup di tanah surga, Ra," Jaka menjawab dengan sabar. "Bersyukurlah atasnya."

"Siapa yang ngga bersyukur...?" Rara menyanggah sambil malu hati. Diam-diam, ia memang mengutuk siang yang panas di tanah air ini.

"Sebagian manusia mendapatkan jatah lahir di negeri seberang yang gersang," Jaka menjelaskan lagi. "Negeri yang tanahnya tandus tanpa bisa ditanami, dengan air yang sulit didapatkan."

"Iya..." Rara menjawab pelan.

"Bayangkan kalau kamu terlahir di negara berpadang pasir, harus pakai cadar terus atau bisa kumat setiap hari nanti asmamu," Jaka masih kekeuh dengan penjelasannya. "Kita kan enak, lahirnya di padang bunga dan persawahan, dengan wangi bunga dan harum rumput di mana-mana."

"Iya..." jawab Rara lagi.

"Bagi mereka, tanah air Nusantara ini adalah surga yang dirindukan," suara Jaka terdengar sedih. "Di sini ada segala hal yang mereka impikan seperti air yang mudah didapat, cahaya matahari yang cukup saja waktu bersinarnya -tidak sepanjang tahun, pohon-pohon yang tumbuh subur sehingga ke manapun mata memandang, hanya hijau yang terlihat."

"Belum lagi hasil bumi yang melimpah ruah," Rara ikut bicara. "Belanda bahkan iri sekali dengan suburnya buah Pala di sini sampai-sampai menjajah. Dan hasil laut, terutama setelah ibu Susi menghajar habis para pencuri, juga sangat besar. Pokoknya kenyang lah, tinggal di sini."

Jaka tertawa mendengar penjelasan istrinya. "Sang Gusti sudah melimpahkan banyak sekali anugerah pada tanah dan air Indonesia," katanya. "Sebuah kemewahan yang tidak dimiliki negara-negara lainnya di belahan bumi manapun. Masa kita berani mendustakan nikmatNya?"

Kali itu, Rara tercenung saja. Mengingat betapa Indonesia sangatlah gemah ripah loh jinawi. Lahannya ijo royo-royo, bukan kuning tandus dan berpasir. Di tanah ini, kayu yang ditancapkan ke tanah pun akan jadi tanaman, dan di perairan ini, sekali melempar jala pun terjaring banyak ikan. Mata air mengucur di bukit-bukit, hingga perusahaan minuman kemasan jadi milyader karenanya. 

Walau tidak ada kolam susu, tapi bumi Nusantara ini sudahlah surga bagi penghuninya. Surga yang diimpikan untuk ditinggali manusia lain yang jatahnya menempati belahan bumi yang lahannya bahkan sulit ditumbuhi rumput sekalipun. Surga yang menjadi tempat kelahirannya, tempat mencari makan dan membuang hajat, dan mungkin tempatnya dimakamkan nanti. Surga yang membuat iri yang lain, hingga mereka ingin menguasai dengan cara apapun -baik itu mengadu domba maupun menginvansi.

"Aku tidak rela kalau surga ini diambil bangsa lain," ia tetiba berkata. "Nusantaraku gemah ripah loh jinawi, tentram karta raharja, jangan pernah ada yang berani mengusiknya!"

Meski geli akan pernyataan Rara, tapi Jaka tau bahwa istrinya itu sudah bangkit kesadarannya. Kesadaran akan apa yang sudah dianugerahkan kepadanya, berupa tanah air Indonesia. Sudah sepatutnya kita bersama bahu-membahu melestarikan alamnya, berjiwa patriotik menjaga kedaulatannya. Sudah sepantasnya kita menghaturkan terima kasih ini kepadaNya, dengan menegakkan kepala dan bangga terhadapnya.

Samar-samar terdengar di telinganya sebuah lagu lawas milik Koes Plus,

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

...membuat Jaka kembali ternyum penuh haru. Ya, kita sudah hidup di tanah surga, maka nikmatNya mana yang mampu didustakan?

********
*matur nuwun mas Guru Setyo atas inspirasinya

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

7 komentar:

  1. Mendengar lagunya koes plus jadi ingin ambil gitar. Dan bernyanyi.. Aku juga tidak rela semisal kalau tanah surga dan kolam susu ini diambil bangsa lain. Ayo kita jaga biar kita bisa dihampiri ikan dan udang terus hehehe..

    BalasHapus
  2. setuju teh bersyukur di Indonesia aku tinggal ga kebayang klo bukan di 62 ini meski netizennya bermulut pedas tp kekayaan alamnya mmg patut diperhitungkan

    BalasHapus
  3. Iya..
    Aku juga sering merutuk mengenai cuaca.
    Tapi,
    teringat kembali harus bersyukur...tinggal di Bandung.
    Yang panasnya tidak seheboh Surabaya, kampung halamanku.

    Fightiing, Rara...

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah kucinta Indonesiaku walau kadamg masih ngomel begina begitu hihi

    BalasHapus
  5. sedihnya banyak yang nggak nyadar kalo bumi kita gemah ripah loh jinawi

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah. Bahagia lahir di Indonesia. Negeri yang indah dan ramah.

    BalasHapus
  7. Ceritanya menarik,idenya bagus

    BalasHapus