[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Semesta dan Segala Isinya

Rabu, 01 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Semesta dan Segala Isinya


Beberapa bulan ini banyak sekali liburnya, membuat Bandung penuh sesak dengan para pelancong. Tapi Jaka dan Rara tidak ikut-ikutan melancong. Mereka sudah mendaftar untuk menonton bintang-bintang saja dari langit Lembang, di observatorium Bosscha. Tempat peneropongan bintang itu memang terbuka untuk umum, dengan biaya yang terjangkau. Jadilah malam kemarin mereka melintasi perbukitan menuju ke sana.

"Apa ya, isi semesta raya ini?" tanya Rara. Ia sudah semangat sekali mencoba 7 jenis teropong yang bisa menembus gelapnya langit.

"Kosong..." jawab Jaka santai. 

"Kok kosong?" Rara bertanya lagi. "Bukannya ada milyaran galaksi, yang terus bertambah dan membesar?"

"Memang..." yang ditanya menjawab santai lagi. 

Begitulah Jaka. Rara harus ekstra sabar menghadapinya. Menghadapi jawaban-jawaban yang kadang kontradiktif namun bertemu di ujungnya. Atau jawaban-jawaban yang dibalikkannya menjadi pertanyaan, membuat Rara harus berpikir atas pertanyaannya sendiri.

"Ngga tau ah..." Rara berkata cuek. Ia tidak sedang ingin banyak berpikir. Langit terlalu indah dengan hiasan bintang untuk diacuhkan.

Jaka tertawa mendengarnya. Ia memang senang sekali menggoda istrinya itu.

"Begini," katanya memulai penjelasan. "Kita semua tau -terima kasih kepada dunia sains yang telah bekerja keras membuktikannya- bahwa jagad raya itu memuat benda-benda yang tak terhingga jumlahnya."

Rara diam mendengarkan.

"Ada galaksi yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan bintang. Ada planet-planet yang beredar di tata surya mengelilingi sebuah bintang, misalnya bumi kita ini kepada matahari," Jaka meneruskan. "Ada satelit yang mengelilingi planet, ada makhluk-makhluk yang menghuninya, dan sebagainya..."

"Lalu..." Rara menyambung pelan.

"Yang meliputi semua benda itu adalah kekosongan yang tanpa batas," lanjut Jaka. 

Dari raut wajahnya, Jaka tau bahwa istrinya sedang kesulitan mencerna penjelasannya.

"Memangnya, apa yang ada di antara kamu dan aku sekarang ini?" katanya berusaha menyederhanakan. "Apa yang berada di antara planet-planet, antar bintang, antar galaksi kecuali kekosongan?"

Dilihatnya sang istri mengangguk, jadi ia meneruskan.

"Kita sudah pernah membahas bukan, tentang atom yang dibelah?" tanyanya. 

"Atom jika dibelah akan bertemu dengan inti atom dengan elektron-elektron," Rara bersuara. "Lalu jika terus menerus dibelah akan sampai pada tidak ditemukan apa-apa selain kekosongan."

Jaka tersenyum. "Bahkan di antara elektron-elektron sekecil dan serapat itu pun ditemukan kekosongan," katanya. "Salahkah jika aku lantas menjawab semesta ini berisi kekosongan?"

"Ya ngga salah..." Rara merendahkan suara. "Cuma kan kita taunya ada trilyunan benda langit di luar sana..."

"Ya, kita memang terbiasa melihat, menilai berdasar apa yang terlihat saja," Jaka memaklumi. "Melupakan bahwa yang tidak terlihat adalah justru esensi dari segalanya."

"Lalu Tuhan di mana?" tanya Rara lagi. Sungguh sebuah pertanyaan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak betul-betul menyelami jawabannya.

"Yang meliputi semua, sumber segala keberadaan," Jaka kembali menjawab santai. 

Dan Rara pun kembali melenguh menanggapi jawaban suaminya. "Be more specific, please," katanya kesal.

Jaka tertawa lagi. "IA tidak bisa dibuat spesifik, Ra," katanya geli. "IA bukanlah satu sosok yang bisa ditangkap indera ragawimu. IA juga melampaui batasan bahasamu dalam menggambarkan sifat-sifatNya."

"Terus, bagaimana caranya tau bahwa IA ada?" Rara kebingungan. Ini juga sebuah pertanyaan yang bisa membuat keresahan -terutama karena kebanyakan orang cenderung butuh sosok sebagai bukti bawah Tuhan itu ada.

"Dengan rasa," lagi-lagi Jaka menjawab ala kadarnya, membuat Rara kembali merengut dan ia jadi gemas ingin menciumnya.

"Sepengetahuanku, IA hanya bisa dibuktikan dengan rasa, Ra. Itulah mengapa orang zaman dulu itu cenderung tidak bicara tentang Tuhan. Mereka tidak membicarakanNya seolah-olah IA sesosok atau sesuatu atau apalah itu yang bisa didefinisikan," lanjut Jaka. "Mereka menjalankan sendiri ritualnya masing-masing, sesuai kebutuhannya untuk merasakan keberadaan sang Tuhan."

"Oh..." Rara mulai mengerti. Lalu ia diam, merenungi jawaban demi jawaban. Juga mengingat-ingat, saat-saat di mana heningnya membawa pada sebuah rasa. 

Begitu mendalam, hingga tiba-tiba sesuatu seperti menyergapnya. Sekonyong-konyong ia melayang, jauh menembus kegelapan malam, hingga bintang-bintang berkedip di depan matanya. Tidak, bukan mata, karena rasanya ia seperti tidak memiliki raga. Tidak ada apa-apa di sana kecuali gelap dan titik-titik putih. Tidak ada matanya, tidak ada juga badannya, kecuali kesadarannya saja yang tersisa...

********
*inspired by: Buku Suwung by Setyo Hajar Dewantoro
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

1 komentar: