[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Persepsi dan Realita -bagian 2

Kamis, 09 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Persepsi dan Realita -bagian 2


Malam sudah menjelang. Langit yang cerah memamerkan hiasannya berupa bintang-bintang yang berkelipan. Beberapa bintang terlihat berkelompok, walau samar-samar saja terlihatnya, membentuk rasi-rasi yang darinya bisa dipelajari banyak sekali hal tentang kehidupan. Mereka bahkan ada di sana untuk membantu manusia membuka rahasia-rahasia alam...

"Kalau semua harus dipandang secara netral saja, berarti aku ngga boleh bilang bintang itu cantik, dong?" tanya Rara.

"Yang mengharuskan itu siapa?" Jaka bertanya balik dengan geli. 

"Ya kamu laah..." Rara lalu memeletkan lidah ke arah Jaka. Suaminya itu memang suka begitu. Apa saja yang dikatakannya biasanya tersirat-sirat, seperti menyimpan sesuatu yang lebih dari yang sekadar terucap.

Jaka makin tergelak dibuatnya. Pada obrolan sore tadi dengan Rara, ia memang bicara tentang memandang sesuatu dengan netral saja. Jadi dalam hati, ia mengakui bahwa yang keluar dari bibirnya itu memang seringnya mengandung sesuatu yang sulit diungkapkan melalui bahasa lisan.

"Tapi aku kan ngga pernah ngomong 'harus'..." katanya sambil nyengir karena terdesak. Rara selalu bisa menyudutkannya, walau ia selalu dengan senang hati 'menyerah'.

Rara jadi ikut tertawa. Ia tau benar 'kondisi' Jaka, dan memakluminya. Kondisi yang membuat sang suami itu terkadang bisa menangkap pesan-pesan alam, hingga ia berkesulitan menjelaskannya lewat kata-kata. Kata-kata kan hanya mampu mendeskripsi sesuai nalar saja...

"Jadi, aku boleh bilang bahwa bintang-bintang itu cantik, kan?" tanyanya. 

"Ya boleh aja, sayang..." Jaka menjawil dagu Rara. "Manusia secara normal memang hanya mampu mempersepsikan realita secara dualisme," katanya.

Rara mengangguk sambil mengagumi apa yang dihadirkan semesta ini di depan matanya. 

"Ada gelap dan terang, indah dan buruk, sedih dan gembira, dan seterusnya," sambung Jaka. "Kemudian, secara naluri kita tentu akan berpihak pada sisi yang lebih "menyenangkan" saja. Menolak, atau bahkan meniadakan sisi yang lainnya --apa ada yang mau bersedih, atau melihat sesuatu yang buruk-buruk?" 

Rara menggeleng saja --menggeleng sambil menyetujui penjelasan Jaka.

"Padahal, alam semesta akan tetap berjalan tanpa memedulikan semua persepsi manusia," Jaka menambahkan. "Memangnya, waktu jadi diam sejenak karena kamu ketakutan ketemu belalang? Atau bumi berhenti berputar karena ada tagihan datang?"

Kali ini, Rara yang jadinya tergelak. Mengingat-ingat bahwa ia memang suka berharap demikian.

"Logika semesta tidak sama dengan logika manusia, ia jauh melampauinya," sang suami menjelaskan lagi. "Logika semesta tidak terikat dualisme baik atau buruk. Realitanya tetap terjadi netral, tidak berpatokan pada persepsi manusia. Bisa dibayangkan ngga, apa jadinya kalau kejadian alam bergantung pada penilaian-penilaian kita?"

"Maka tidak akan ada lagi belalang di seluruh permukaan bumi --karena aku takut padanya, ahahaha," Rara semakin tergelak. Betapa lucunya kalau itu terjadi, sekaligus betapa mengerikannya jika fenomena alam berada di bawah tuntunan persepsi manusia.

Jaka ikut tertawa. Ia sangat menikmati saat-saat itu, sebetulnya. Momen di mana Rara paham akan perkataanya dan bersedia belajar daripadanya. Namun dalam kesadarannya ia pun mengerti, bahwa bintang-bintang maupun tawa istrinya itu sejatinya tidaklah istimewa. Hanya sesuatu yang dihadirkan semesta ke dalam hidupnya, tanpa perlu diberikan kesan mendalam. 

Tapi kadang ia tak mampu menghindari pesonanya...

"Ra..." katanya dengan suara serak dan dalam, "...bobo yuk!"

********
*thank you ko Mike Yamin atas berbaginya <3

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

1 komentar: