[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Berserah

Selasa, 28 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Berserah

 
Saat itu hari sudah malam. Rara sedang berkendara pulang, setelah mengajar sedari siang. Lampu lalu lintas sudah berganti warna dari kuning ke merah ketika Rara hampir mencapai sebuah perempatan besar, jadi ia berhenti dengan patuh di belakang garis penyeberangan. Tak ingin dibawa berkelana oleh pikiran, Rara membuka telepon genggamnya untuk berselancar sebentar di dunia maya saat...

"Buka kacanya!" sebuah teriakan terdengar dekat sekali dengan telinganya. Rara mendongak kaget, dan tambah terkejut lagi mendapati keramaian yang sangat di hadapan matanya. Keramaian yang datangnya tanpa tedeng aling-aling, begitu mendadak padahal biasanya persimpangan itu sepi.  

"Buka kacanya!" teriakan itu terdengar lagi, lebih memaksa dengan pukulan di jendela. Tidak hanya di jendela, rasanya seluruh mobilnya dipukul-pukul tidak hanya satu orang tapi banyak. Rara menengok ke kiri, dan menemukan bahwa mobil sebelah pun sedang dirubung massa. Jelas sekali bahwa ia sedang berada dalam sebuah kerusuhan!

Seketika, panik mengambil alih kesadaran. Berbagai pikiran buruk berkelebatan, memaksa muncul sekaligus dalam satu kilasan. Pikiran-pikiran yang lama terpendam di bawah sadarnya beraksi, seperti ingin memamerkan koleksi ingatan nonton film-film horror-thriller, baca-baca berita dengan gambar-gambar menakutkan, juga dengar-dengar bisikan tetangga tentang kerusuhan dan sejenisnya. Semua sampah itu berhasil mengkudeta sadarnya.

"Pecahin aja!" Entah dari mana suara itu berasal, Rara sudah tidak ingin tau lagi. Kedua tangannya refleks menutupi wajahnya, melakukan tuntunan naluri untuk melindungi diri. Rasanya hanya itu yang bisa ia lakukan karena pikirannya tidak mau diajak kerjasama, hanya terus-terusan menakuti-nakuti. 

"Buka atau kacanya dipecahin!" teriakan itu datang lagi, tambah dekat dengan telinganya. Sebuah bayangan gelap menutupi pendaran lampu jalan, kian mendekat, sepertinya kaca jendela mobil Rara benar-benar akan dipecahkan.

Rara memejamkan mata dan membungkuk, setelah sebelumnya sempat menarik napas dalam-dalam. Kalaupun ada kerusuhan dan ia harus terkena apapun itu penyerangannya, setidaknya ia sudah berusaha bertahan. Namun ternyata, udara yang memenuhi paru-parunya itu membangunkan kesadarannya. Bayangan-bayangan mengerikan yang disuguhkan pikiran raib begitu saja. Tiba-tiba, segala ketakutan menghilang. 

Pada tarikan napas dalam yang kedua, kesadaran sudah berhasil mengambil alih dirinya lagi. "Saya di dalam mobil, berada di tengah sebuah kerusuhan massa, dan orang-orang berkerumun di luar," gumamnya pelan. Dilangitkannya rasa keberserahan -keberserahan yang damai, bukan yang sambil takut. Detik berikutnya, Rara membuka mata dan melihat telepon genggamnya di pangkuan. Dalam gelap dan ruang gerak juga waktu sempit, ia mencoba melakukan sebuah panggilan ke satu-satunya orang yang diingatnya. Jaka. 

Sayang, baru saja nada asa itu berbunyi satu kali, kaca jendela sudah berhasil dipecahkan dan sebuah tangan meraih lengannya... "Aaah!" kali ini Rara yang berteriak.

"Ra... bangun!" Jaka menepuk-nepuk pipi istrinya. "Bangun, Ra!"

Gelagapan dan tersedak udara, Rara terduduk dan batuk-batuk. Perlahan, kesadarannya naik lagi. Ia sedang di kamar, di atas tempat tidur, bukan di dalam mobil di luar sana. Dirasakannya tangan Jaka mengelus punggungnya, membuat bagian belakang tubuhnya itu nyaman mengenali energi yang masuk melaluinya. 

"Ngga apa-apa, cuma mimpi," suara yang sudah sangat dikenal itu begitu menenangkan. Rara membalikkan badan dan memeluk si empunya suara. 

Yang dipeluk lalu membiarkan tubuhnya didekap erat-erat, sepenuh rela. Hanya dengan satu tarikan napas, hatinya memancarkan kewelas-asihan yang tulus, menggelenyar menyampaikan energi cinta itu pada sang kekasih yang sedang memerlukannya. Sambil senyum mempertahankan kesadaran, Jaka membalas pelukan istrinya dan mengecup lembut rambutnya, menikmati detik-detik kebersamaan mereka.

Tak lama, Rara sudah bisa ikut tersenyum. Ia minum setengah gelas air putih yang disuguhkan Jaka, lalu bercerita. "... saat pasrah itulah aku lihat hapeku di pangkuan," katanya setelah bermenit-menit berkisah. "Terus aku berusaha telepon kamu. Tapi kalo ngga salah cuma bunyi satu kali dan belum diangkat, lalu kacanya pecah dan tanganku dipegang orang. Terus aku bangun."

"Mungkin itu tanganku yang mengambil tangan kamu," Jaka masih tersenyum. "Soalnya tangan kamu ke mana-mana sampe mukul aku."

"Loh?" Rara lalu tertawa. "Jadi aku mukulin kamu dalam mimpi ya?"

Jaka ikut tertawa. "Jadi apa, pelajaran yang didapat dari mimpinya?" ia bertanya.

"Ngga usah nonton film yang aneh-aneh, juga membaca atau mendengar berita hoax," Rara menjawab tegas. Walau bermimpi, ia ingat benar betapa pikirannya mengkudeta kesadaran dengan menakut-nakutinya. "Isi pikiran dengan tayangan dan omongan yang baik-baik saja supaya kalaupun terpendam tanpa sengaja ke bawah sadar, maka suatu saat muncul yang baik-baik juga."

"Dan berserah," Jaka menimpali. "Yaitu berusaha lalu memasrahkan hasilnya pada kehendak Sang Maha.  

Rara mengangguk setuju. Ia melakukan itu di mimpinya tadi.

"Berserah itu bukan perkara mudah," Jaka menambahkan. "Kadang pikiran masih mencampuri dengan menampilkan pilihan-pilihan tindakan, lalu meragukan. Menegasi tuntunan hati, menunjukkan keberadaannya dengan tidak ingin ditundukkan oleh kepasrahan."

Rara mengangguk lagi.

"Kalau ada yang terus-terusan menegasi hati sambil berteriak-teriak pasrah, maka bisa dipastikan bahwa keberserahannya itu palsu," lanjut Jaka. "Keberserahan sejati adalah yang damai dengan kata hati. Karena di sanalah, pada saat tidak berdaya dan benar-benar menyerahkan diri untuk dituntunlah, IA hadir."

Sambil kembali berbaring dan memeluk suaminya, Rara merenungkan kalimat Jaka. Ya, jika pikiran masih ingin eksis dan dianggap ada, maka hati tidak terdengar suaranya. Hanya dan hanya jika "perintah" keberserahan dari hati terjalani, maka itulah pasrah yang sebenarnya. Saat itu, damai menjalar ke seluruh tubuh, walau apapun mungkin terjadi. Membuat kalimat "lillahi ta'ala" benar-benar memiliki arti.  

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

9 komentar:

  1. Setuju heheu berserah emang susah apalagi menyangkut hajat orang banyak ya teh, semoga Tuhan bisa memberikan jalan terbaik untuk kita semua 😁

    BalasHapus
  2. Aduh untung cuma mimpi
    Udah ketakutan nih ^^

    BalasHapus
  3. Nah ini nih, aku juga suka kebawa hoax dan film aneh2, jadinya suka kebawa mimpi. Kayakny kudu stop deh yang begitu2. Cuma bikin aku parnoan. :D

    BalasHapus
  4. Duh, untung mimpi. Udah deg-degan aja saya bacanya, Teh.

    BalasHapus
  5. gatau kenapa tiap baca cerita rara sm jaka malah inget rara yg blogger itu hahahaa

    BalasHapus
  6. Berserah. Gampang diucapkan tapi butuh usaha keras. Semoga kita bisa bisa berserah pada Allah. Aamiin.

    BalasHapus
  7. Duh, aku ikut deg-degan baca 3/4 episode ini. Syukurlah cuma mimpi

    BalasHapus
  8. Setiap episode tuh bikin berdebar menantikan kelanjutannya

    BalasHapus