[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Berpuasa

Selasa, 07 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Berpuasa


Sudah sejak dua hari menjelang puasa, Rara sibuk menyiapkan semuanya. Semuanya di sini maksudnya segala bahan makanan yang akan dimasaknya nanti, baik untuk sahur dan berbuka, untuk berbagi, juga untuk hari raya nanti. Banyak sekali yang dibelinya, hingga Jaka kewalahan membantunya menyimpan-nyimpan.

"Aku mau bulan puasa kali ini sempurna," Rara mengelap keringatnya setelah memasukkan barang terakhir ke lemari, yaitu tepung roti dengan tiga ukuran berbeda.

"Puasa itu sebetulnya apa, sih?" tanya Jaka lembut. Ia lalu duduk di kursi makan, mengistirahatkan kakinya.

"Menahan lapar dan haus, untuk bersimpati pada kaum dhuafa," jawab yang ditanya. "Oh iya, menahan marah juga!"

"Kalau tujuannya untuk bersimpati kepada yang tidak berpunya, maka puasa bukanlah menahan lapar dan haus, Ra," Jaka tersenyum. "Menerima rasa lapar dan haus, bahkan rasa marah, mungkin lebih tepat."

Rara melongo. Jaka memberinya sudut pandang baru akan makna puasa, yang sungguh berbeda dari yang telah ia mengerti puluhan tahun lamanya. 

"Begitu, ya?" ia jadi menggumam sendiri. "Kata 'menerima' secara psikologis memang lebih lembut ketimbang 'menahan' ya? Lebih nyaman di hati..."

Jaka tersenyum lagi, membiarkan istrinya mencapai pemahamannya sendiri.

"Bahwa apapun yang terjadi, suka dan duka, juga lapar dan haus mestinya diterima saja, tanpa dikomplen, ya?" tanya Rara. "Dari sana, jadi lebih bisa memahami mereka yang sedang berkekurangan, bahwa lapar dan haus pun dijadikan teman tanpa penolakan."

Merasa bahwa Rara masih ingin bicara, Jaka mengangguk saja.

"Lagipula, kesannya 'menahan' itu terpaksa, ya?" Rara berkata lagi. "Dan keterpaksaan tidak menimbulkan ketulusan, malah jadi bermotif. Puasa karena ingin pahala dan surga, dan bagi anak kecil malah karena teriming-imingi angpaonya. Etapi, kalau masih kecil boleh saja sih diberi janji-janji, semasa itu tidak menjadi kebiasaan."

Kali ini, Jaka tertawa mendengar kesimpulan Rara. "Yang jelas, jasmani itu memang idealnya dipenuhi kebutuhannya, bukan dituruti kemauannya," katanya. 

Rara belum terlalu mengerti maksudnya, jadi gantian ia yang diam saja. 

"Ada satu hukum yang fundamental dalam spiritual," Jaka menjelaskan. "Ibarat neraca, jiwa akan 'bercahaya' jika jasmani terpenuhi sesuai kebutuhannya. Sebaliknya, jika jasmani dimanja sesuai keinginan, maka jiwa akan keruh."

Rara membulatkan mulutnya tanda mulai paham.

"Jadi, badan ini diberi asupan dengan tujuan bertahan hidup saja --makan, minum, bicara dan istirahat secukupnya. Namanya trivatra, atau tiga jurus pengendalian jasmani," sang suami meneruskan. "Tentu saja, puasa adalah juga untuk mengendalikan angkara murka. Tapi bukan dengan menahannya -itu hanya menjadikannya bom yang terpendam- melainkan dengan menyadarinya untuk kemudian dapat menerimanya."

Rara mengangguk-angguk. Pikirannya mengajaknya jalan-jalan, mengingat kejadian anak muda yang mengamuk di depan kompleks rumah mereka. 

Anak muda pengangguran yang mungkin lapar, lalu rasa itu 'ditahan' tidak 'diterima'nya. Yang mungkin melihat orang mondar-mandir dengan jajanannya, hingga lapar yang ditahan itu memicu rasa marahnya. Marah yang tidak juga 'disadari' dan 'diterima'nya, namun 'ditahan'nya berhari-hari, berbulan-bulan, hingga suatu saat meledak...

"Kok bengong?" Jaka bertanya. 

"Itulah gunanya kesadaran, ya?" Rara balik bertanya. "Sadar membuat kita menerima dengan lapang dada."

Lagi-lagi Jaka tersenyum. "Kesadaran membuahkan perilaku benar, selaras dengan kehendak Sang Maha," katanya. "Puasanya benar, karena sadar bahwa sejatinya lapar dan haus itu ya diterima saja, bukan ditahan-tahan. Ini akan membuat empati kepada para dhuafa jadi lebih tulus. Marah pun jadinya benar, karena sadar bahwa output ucap dan lakunya adalah untuk tujuan kebaikan, bukan untuk pelampiasan." 

Serta-merta, Rara menghambur ke Jaka. Dipeluknya suaminya itu dengan penuh terima kasih. Ada banyak sekali yang ia dapatkan dari obrolan mereka menjelang puasa kali ini. Seiring dengan itu, hilang sudah keinginannya untuk satu bulan yang sempurna, kecuali untuk berpuasa dengan lebih sadar saja. 

********
*Terima kasih kepada mas Ferry Yusri dan pak Ngurah Agung atas inspirasinya <3 

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

10 komentar:

  1. Lagi dan lagi belaja banyak dari cerpen Teh Ayu. Huaaah, aku sampe umur segini aja masih suka salah kaprah. Dan bener ya, menahan itu sama aja menumpuk. Sewaktu-waktu bisa meledak.

    BalasHapus
  2. Bener banget teh, puasa lebih mendalam maksnanya ya makanya saya harus lebih banyak belajar dari hikmah puasa😀

    BalasHapus
  3. Menerima ya teh iya juga kalau menahan seperti ada terpaksa ah makin suka sama Jaka hahhaah

    BalasHapus
  4. Puasa bukan semata menahan haus dan lapar, bener lama - lama numpuk dan lapar bertubi2 hehehe sbegitupun kalau menahan yang lain yah

    BalasHapus
  5. Salam kunjungan dan follow disini ya :)

    BalasHapus
  6. Masya Allah jadi dapat insight baru bahwa puasa adalah menerima bukan menahan

    BalasHapus
  7. Menerima, konsep ini sudah aku tahu sejak beberapa tahun terakhir tapi ternyata benar-benar “menerima” itu jauh di kedalaman ya, adanya di lapis-lapis terdalam, jadi mesti selalu berada di kesadaran agar bisa menerima seutuhnya

    BalasHapus
  8. Bener juga, ya, kalau jasmani dimanja sesuai keinginan, maka jiwa akan keruh. Ini dalem banget.

    BalasHapus
  9. Berpuasa karena kesadaran memang lebih afdol ya teh..apalagi plus pengetahuan bahwa mempersembahkan yg terbaik sebagai bukti penghambatan dan semua itu kembali KPD kita...sungguh Maha Penyayang nya Allah SWT

    BalasHapus
  10. Proses untuk bisa memaknai sesuatu ini adalah proses yang gak mudah.
    Huhuu...seringkali lupa lagi, dan kerap diingatkan melalui sebuah kejadian.
    Semoga kejadian yang menimpa kita bukan kejadian yang buruk.

    BalasHapus