[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Batin Jernih

Rabu, 15 Mei 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Batin Jernih


Malam ini rasanya damai sekali. Jangkrik kembali berderik setelah hujan mereda, menyisakan wangi tanah yang lembab diguyurnya. Jaka dan Rara ikut mendinginkan badan di teras depan, sambil menikmati sekoteng panas yang baru dibeli dari tukang yang lewat.

"Hahaha, ada-ada aja," Jaka tetiba tertawa-tawa membaca sebuah pesan di hapenya.

"Kenapa?" Rara bertanya. Tapi ia tidak menunggu jawabannya, melainkan langsung mengambil gawai suaminya itu.

Pasrah, Jaka memilih untuk menikmati lagi sekotengnya.

"Siapa ini?" kening Rara berkerut. "Kok ngomongnya gini?"

"Teman..." Jaka menjawab. "Ya biar aja, ngga apa-apa."

Serta-merta Rara mendelik. "Kata-katanya kasar begini, masa ngga apa-apa?" tanyanya kesal.

Jaka menghela napas panjang, seperti biasanya saat ia hendak mengatakan sesuatu yang penting. Namun ia kalah cepat dengan Rara,

"Sini aku aja yang balesin," kata sang istri berapi-api.

"Rara..." Jaka memanggil lembut. 

"Kenapa?" yang dipanggil menjawab ketus. "Aku ngga boleh balesin?"

"Bukan ngga boleh..." suara Jaka masih terdengar lembut. "Tapi coba kamu perhatikan lagi isinya. Kata-katanya mencerminkan ketidaktahuan yang diekspresikan..."

Walau bingung, Rara menyempatkan matanya untuk membaca isi pesan itu lagi.

"Rasakan energinya," pesan sang suami dengan tersenyum. "Kamu kan sudah mulai bisa. Abaikan dulu marahmu, ya."

Seketika, Rara hening. Membiarkan batinnya bicara tanpa interupsi dari pikiran maupun perasaannya. Ditelusurinya kata per kata, sambil mencoba membaca lebih dari apa yang terbaca. Kadang memang sesuatu itu tersirat, bukan sekadar tersurat. Heninglah yang mampu mengungkapnya.

"Dia merasa terancam..." gumamnya beberapa saat kemudian. "Dan perasaan itu, alih-alih disadari dan terterima, malah memengaruhi pikirannya, lalu ucapnya, dan lakunya..."

"Widiiih," komentar Jaka sambil bersiul. "Terus?"

"Terus tetiba aku jadi ngga enak hati karena tadi kesal," aku Rara. 

"Jadi gimana?" tanya Jaka.

Rara memandang suaminya dan tersenyum. Untung saja ia tidak keburu membalas pesan itu. Apalagi Jaka, yang sekadar berniat pun tidak. Pemahaman kedua pihak itu berbeda jauh, hingga menanggapi omongannya hanya akan membuat malu sendiri saja. Seperti mahasiswa yang membalas omongan anak TK.

"Nyaman, ya, kalau baik dan buruk hanya disadari," Jaka ikut tersenyum. "Disadari bahwa semua yang muncul itu selalu hanya datang lalu pergi, tidak ada yang abadi."

Rara mengangguk.

"Seperti langit biru yang hanya menyadari awan-awan --ada yang hitam berpetir ada yang putih lembut-- tanpa terperangkap oleh penilaian terhadapnya. Sekali ia mengidentifikasikan dirinya seperti awan hitam, maka ia akan bersedih. Sebaliknya, bila ia mengidentifikasi dirinya sebagai awan putih, maka ia akan senang. Mau sampai kapan terjerat dalam sedih-senang, padahal awan-awan akan selalu bermunculan?"

Rara menganggguk lagi, walau dalam hati, ia merasa belum mampu sepenuhnya menjadi sang langit biru yang hanya menyadari...

Seperti membaca pikiran istrinya, Jaka meneruskan, "Caranya mudah saja, setiap kali ada yang dirasa menyakiti, segera pancarkan cahaya kesadaran ke arahnya. Setelah itu, pancarkan cahayanya ke dalam diri sendiri, nanti juga damai sendiri." 

"Tapi kalau awannya terlalu banyak, gimana?" katanya memprotes.

Jaka tertawa. "Ya memang begini konsekuensinya hidup di belantara manusia. Inilah mengapa para pertapa melipir ke gua, dan para suci ada di tempat-tempat yang jauh dari awan-awan yang menggoda."

Rara menghela napas saja mendengarnya.

"Ya, gunakan saja awan-awan itu untuk melatih kesadaran," kata Jaka sambil merangkul Rara. "Justru inilah kesempatan bagi jiwa untuk semakin memancarkan cahayanya. Mirip dengan berlian, semakin diasah akan semakin berkilau. Semakin pikiran dan perasaan berhasil melampaui penilaian, semakin jernih dan bersinar batin kita."

Memejamkan mata, Rara masuk kembali ke dalam keheningan. Disadarinya luka hati ini karena perkataan si pengirim pesan, lalu diterimanya dengan damai. Setelah itu, dipancarkannya cahaya kesadaran, ke luar dan ke dalam. Lalu ia tersenyum, mengetahui bahwa satu asahan lagi telah menempanya menuju batin yang semakin jernih.

********
*hatur nuhun kang Sarman atas obrolannya...

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka 

8 komentar:

  1. iya bener teh petapa milih sendiri di gua yah biar ga terkontaminasi hahaha

    BalasHapus
  2. Aku dulu termasuk yang reaktif kalau baca sms/WA yang gak mengenakkan. Lama lama ya bisa lebih tenang kalau ada sesuatu yang tidak sesuai

    BalasHapus
  3. thinking before answering ya?

    Yang sedang dikampanyekan thinking before sharing agar nggak kejebak hoax

    BalasHapus
  4. Intinya harus pintar-pintar mengelola emosi ya ...
    Jika menghadapi sesuatu yang gak enak, kesampingkan dulu amarah, pahami situasinya dahulu.

    BalasHapus
  5. Mau tanya sama Kang Jaka.
    Aku selalu merasa kalau ada orang yang marah sama aku, berarti aku yang salah...karena uda bikin orang tersebut merasa gak nyaman.
    Jadi bahan introspeksi gitu...

    Taoi karena hal ini jugalah, aku selalu merasa kurang percaya diri dalam mengambil keputusan.
    Huhuu...banyak pertimbangan dengan pendapat sana dan sini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paling baik adalah bertanya pada hati untuk setiap pengambilan keputusan, karena IA bicara lewat nurani. Dari sana, apapun yg menjadi jawaban itu dilaksanakan, tanpa perlu ditimbang2 lagi, atau namanya beriman pada kehendakNya.

      Lepas dari situ, hasilnya dipasrahkan. Apakah nanti jadinya ada yg marah karena keputusan itu atau tidak, sudah bukan jadi urusan kita karena apa yg kita lakukan "sebatas" mengikuti kata hati. Yg jelas, orang marah atau tidak bukan salah kita karena mungkin sudah wayahnya terjadi :)

      Hapus
  6. Intinya sih positive thingking is the first, terus kitanya berusaha ga reaktif jgn terburu ambil.sikap tenang, pikirkan ...hehe kalau yg bikin galau2 tuh sy ganti dzikir ingat Allah..tenang deh jd ga reaktif lagi.

    BalasHapus
  7. Jadi berfikir lagi setelah baca ini memang tidak boleh mengedapankan emosi ya

    BalasHapus