[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ada, Just Be

Senin, 08 April 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ada, Just Be


Hari Sabtu malam ini Jaka dan Rara akan menghadiri sebuah undangan pernikahan. Seorang teman akrab mereka sudah menemukan perempuan pilihannya, dan ingin segera diresmikan. Seperti biasa, Jaka anteng dengan koleksi pakaiannya yang tidak banyak pilihan, sedang Rara pusing mau pakai baju apa.

"Aku ngga punya bajuu..." Rara melenguh.

Jaka hanya bisa geleng kepala mendengarnya. "3/4 lemari itu isinya milikmu semua, Ra," katanya sabar. "Masa sebanyak itu bilang ngga punya baju?"

Iya sih... Tapi Rara tetap keras kepala. "Bukan ngga punya baju dalam arti sebenarnya," katanya ngeyel. "Tapi ngga punya baju untuk kondangan malam nanti."

"Yang terakhir beli itu gimana?" Jaka mengingatkan. Sekaligus mengingatkan diri sendiri betapa pegal kakinya saat itu, menunggu Rara memilih bajunya.

"Kan baru dipakai minggu kemarin..." jawab Rara tambah melenguh.

Lagi-lagi, Jaka geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir ia, betapa ternyata baju pun ada aturan pakainya.

"Yang batik gimana? Yang selendangnya kamu suka itu?" ia memberi saran lain.

"Waktu acara lamaran kan aku pake, masa dipake pas kawinan juga?" sahut Rara makin bingung.

"Yang marun ini?" Jaka mengambil satu yang ia suka. "Seksi..."

"Warnanya ngga match sama batiknya kamu..." Rara menyanggah.

"Emangnya harus matching ya?" ganti Jaka yang bingung. "Yang hitam ini?"

"Ngga mau..." Rara kesal. "Tuh kan, aku ngga punya baju!" Diliriknya jam dinding, yang menandakan bahwa ia tidak sempat untuk pergi ke mall dan membeli yang lain. "Haduuh, gimana iniii..."

Jaka mengambil napas, lalu pergi ke dapur mengambilkan segelas air untuk istrinya. Kalau tidak segera minum, Rara hanya akan bertambah stress saja.

"Jeda, dulu yuk..." Jaka mengajak Rara duduk dan menyerahkan gelas airnya.

"Jeda buat apa?" Rara meneguk isi gelasnya. "Waktunya mepet disuruh jeda."

"To just be," jawab Jaka kalem. "Hanya untuk ada saja. Hadir di sini, bukan di baju, bukan di jam, bukan di mall, bukan di acara pernikahan. Ada di sini aja sama aku. Mau?"

Rara mengangguik-angguk.

"Menurutku, sederhananya ada 3 lapis pada tubuh yang dapat didengarkan," Jaka memulai nasihatnya. "Lapisan terluar adalah pikiran, di mana informasi yang pernah diterima, baik secara sadar maupun yang terekam bawah sadar, itu keluar. Melogikakan segala sesuatu yang hadir, sehingga kamu mau mendengarkannya karena masuk akal."

Rara mengangguk lagi.

"Lalu perasaan, di mana emosi bermunculan sebagai bentuk respon yang juga minta diperhatikan," sambung Jaka. "Dua lapis terluar itu yang lebih sering didengarkan oleh kita."

"Yang ketiga apa?" Rara bersuara.

"Suara hati," Jaka tersenyum menjawab. "Suara yang hanya datang ketika pikiran tenang dan perasaan tentram. Dan suara itulah sebenar-benarnya penuntunmu. Bukan pikiranmu, bukan perasaanmu."

"Dan ia muncul saat..." suara Rara menggantung menunggu diteruskan.

"Saat jeda," Jaka tersenyum lagi. "Saat kita hanya mengada, hadir di sini, di saat ini, at present moment. Bukannya "menghilang" di tengah rimba pikiran dan perasaan yang membawa kita hadir di masa lalu atau masa depan."

Tiba-tiba, Rara terdiam. Kesadaran meliputinya. Dalam keheningan, diamatinya semua.

Pikiran mengajaknya berputar-putar di hal pakaian. Pikiran juga meracuninya dengan keharusan untuk tampil dengan sempurna. Ditambah dengan waktu yang mendesak, pikirannya pun mengajak buru-buru dan mampir ke masa depan.

Tidak hanya pikirannya yang memaksa didengarkan, perasaannya pun minta diperhatikan. Rasa malunya menyeruak ke depan perasaan-perasaan lainnya. Sebagai peneman, ketakutan juga memunculkan diri. Semua tumpang tindih, memaksa didahulukan.

Lalu, hanya dalam beberapa detik saja menjadi pengamat, beratnya pikiran langsung runtuh, dan kepalanya jadi dingin. Ia juga menyadari bahwa perasaannya mulai tenang, adem. Tanpa diminta, jawaban bermunculan di benaknya. Tidak ada salahnya kalau ia pakai baju yang tidak match dengan baju Jaka. It's okay juga kalau ia pakai baju yang sudah pernah dipakainya minggu lalu.

Kemudian, diamatinya lagi kalau-kalau ada perasaan yang mungkin datang saat jawaban itu bermunculan. Adakah penolakkan? Ternyata tidak. Hatinya tetap ayem, karena semua jawaban terterima dengan nyaman. Ternyata tidak ada masalah. Pakaian apa saja boleh, dan datang jam berapapun bisa. Serta-merta ia jadi terheran-heran sendiri, kenapa hal itu tadi begitu rumit ya?

Senyum di wajah sang istri menjadi pertanda bahwa Jaka dapat berlega hati sekarang. "Sudah enakan?" tanyanya lembut.

"Iya," Rara tersipu. "Hanya dengan mengada, hadir saja, tiba-tiba nyaman, semua terselesaikan."

Kali ini, Jaka yang mengangguk. "Momen "Just Be" adalah momen keterhubungan dengan Sang Maha, Sang Sumber Hidup, sehingga di sanalah letak kedamaian sejati," Jaka menerangkan. "Di sanalah keadaan di mana dualitas disadari untuk kemudian terlampaui. Di sanalah kemenyatuan terjadi."

"Momen sadar penuh-hadir utuh," Rara melanjutkan. "Di mana tidak ada yang dikerjakan, nothing to do but just be, tapi justru hidup, bangun, bervibrasi tinggi."

"Widih," Jaka bersiul. "Ngomongin getaran kok ya jadi pingin. Pakai baju yang merah itu dong..." suaranya mendadak parau. Tangannya mulai mencari titik-titik sensitif istrinya.

"Maaf, ya," Rara berkelit menghindar. "Sudah waktunya dandan, jadi cuma bisa kasih dp aja, hihi..." katanya sambil mencium mesra sang suami.

Lalu yang dicium pun hanya bisa pasrah, mengembalikan kesadarannya agar tidak dikuasai nafsu. "Just be, Jaka, just be," katanya menasihati diri sendiri.

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

1 komentar:

  1. penggambaran rara dan jaka sangat menggambarkan realita yang ada, terutama terkait masalah baju ahaha..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus