[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Seni Hidup

Rabu, 03 April 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Seni Hidup


Hari ini libur. Rara mengajak Jaka menemaninya berbelanja -sebuah hal yang sebenarnya kurang disukai sang suami. Tapi Rara butuh masukkan tentang hadiah yang akan diberikannya kepada salah satu rekan kerja yang resign. Ia sangat menyukai rekannya itu, dan perpisahan bukanlah hal favoritnya, jadi ia bingung mau memberikan apa.

"Kok ada sih, istilah kado perpisahan," ia mengomel. "Perpisahan itu menyedihkan, kok malah dikasih hadiah."

Jaka mesem-mesem saja mendengarnya. Ia mengajak istrinya ke area buku, karena menurutnya buku itu adalah hadiah yang netral. Bisa diberikan kapan saja dalam rangka apa saja, dan kepada siapa saja --kecuali mungkin pada yang tidak suka baca.

"Dia sukanya apa?" tanyanya. "Ada banyak buku tentang hobi, tinggal pilih aja yang sesuai. Ya kalau kamu mau beliin dia buku sih..."

"Buku, ya?" Rara malah balik bertanya. Di pikirannya, ia akan memberikan sesuatu yang lebih unik dan pribadi. Seperti parfum atau perhiasan, misalnya.

"Mau yang lain juga boleh..." Jaka pasrah.

"Itulah..." Rara ikutan pasrah. "Aku bingung mau kasih apa. Pilih ini atau itu, semuanya keliatan bagus."

"Kamu maunya ngasih apa?" tanya Jaka lagi. 

"Parfum," jawab Rara ragu. "Atau lebih baik liontin dengan inisial namanya ya? Duh, masa dua-duanya..."

"Hidup ya memang tentang memilih, Ra," Jaka mengajak Rara duduk sebentar di sebuah sofa untuk membaca. "Semuanya adalah pilihan, yang silih berganti mendatangi kita, meminta untuk diperhatikan."

Rara diam saja. Ia mau manut saja mendengarkan wedharan suaminya, karena sudah bingung sekali mau bagaimana.

"Jadi hidup itu adalah seni untuk memilih. Akan muncul unsur 'tega' dan 'ikhlas' di dalamnya, dan semua akan menggembleng jiwa," jelas Jaka. 

"Maksudnya?" tanya Rara.

"Dari dua atau lebih pilihan, kita akan memilih hanya satu. Itu berarti kita akan melepaskan yang lain," sang suami menjawab. "Di sanalah kadar 'tega' dan 'ikhlas' muncul, dengan titik tengah yang bernama 'konsekuen'."

Rara manggut-manggut mulai paham. "Itulah seninya, ya?"

Jaka mengangguk. "Maka belajar untuk semakin terhubung dengan Diri Sejati, agar bisa membantu kita untuk memilih dengan sadar," jelasnya lagi. "Semakin sadar, semakin kita mahir memilih dan bersikap konsekuen terhadapnya."

Rara manggut-manggut lagi. "Ngga akan salah pilih, kah?" tanyanya masih ragu.

"Kalau sadar, ya dengan sendirinya akan menerima apapun itu hasil pilihannya," jawab Jaka. "Kalau milihnya sambil ngga sadar, begitu tau salah ya berontak."

Rara meringis. Rasanya ia sering begitu, hihihi.

"Awalnya mungkin ada perasaan tidak nyaman, tapi pilihan yang diarahkan sang Diri itu adalah yang paling sesuai," Jaka melanjutkan. "Di sanalah letak penggemblengannya, bahwa kita hidup berdasar tuntunan. Menjalani realitas dan bukannya bersembunyi di balik kenyamanan ilusi." 

"Minta petunjuknya boleh dalam hal apa saja, kah?" Rara bertanya lagi. "Milih pakai baju apa, misalnya?"

"Semua," Jaka tersenyum. "Jadi hidup betul-betul mengalir sesuai tuntunan saja, Ra. Supaya terbiasa tega sekaligus ikhlas, terbiasa konsekuen, karena terbiasa tertuntun."

"Aku suka ngeyel..." kata Rara mengakui. "Mengabaikan kata hati."

Jaka tersenyum lagi. "Iya, itulah seninya hidup manusia yang dilengkapi dengan pikiran dan perasaannya, yang bisa menghijabi pilihan-pilihan yang sesuai baginya masing-masing."

"Padahal kalo sesuai tuntunan kan berarti selaras dengan keseluruhan alam, ya?" Rara beretorika.

"Iya..." Jaka mengecup kepalanya. "Selaras, harmonis, sinergis antara manusia dengan semesta, kan jadinya nyaman semua..."

Tiba-tiba, Rara bangkit dan menghampiri rak buku di depannya. Sebuah buku tentang berbagai resep kue diambilnya. Ia tau benar kalau rekan kerjanya suka masak dan diminta berhenti kerja office-hour oleh suaminya. Buku resep kue tentu akan berguna untuk mengisi waktu luang sekaligus menggali hobi.

"Ini aja," katanya mantap. "Aku mau tambahin satu oven kecil deh, siapa tau dia mau jualan kue. Dia pernah bawa Red Velvet buatannya ke kantor. Enak banget."

"Nah, itu cakep," Jaka berkomentar. "Sekalian bisa jadi jalur pendapatan dan lapangan kerja ke depannya. Eh, Red Velvet itu apa?"

Rara tertawa tanpa ingin menjawab. Dikecupnya sang suami sebagai tanda terima kasih dan berjalan menuju kasir. Hari ini ia banyak belajar, dan pelajaran itu membawanya pada pilihan yang menurut hatinya nyaman. Biarlah pilihannya ini kelak jadi manfaat untuk rekannya, dan banyak lagi yang mungkin terlibat.

********
*special thanks to mas Permadi, rahayu 🙏

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar