[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pertanyaan "Koan"

Minggu, 14 April 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pertanyaan "Koan"


Minggu sore ini mendung. Guntur bersahutan, kadang pelan kadang keras, mendahului sang hujan. Rara ingin menyusul Jaka di teras depan, tapi ia harus menunggu masakannya matang dulu. Hanya sukun, pisang dan ubi madu kukus, tapi ia dan suaminya memang suka sekali penganan tradisional seperti itu.

"Ra, sini dong," suara Jaka terdengar mengajak. Pemantik apinya yang terbuat dari besi kemudian nyaring terdengar setelahnya. "Kling!"

"Iyaa," sahut Rara sembari mengangkut camilan sore mereka ke beranda. Seperangkat teko dengan dua cangkir kecil motif bunga yang cantik sudah ada di sana, Jaka yang membawanya.

Ia lalu sibuk membuatkan teh dan menaruh sukun juga ubinya ke atas dua piring kecil. Dari sisi kanan, Jaka memperhatikannya sambil tersenyum.

"Seperti apa wajahmu saat di kandungan dulu, ya?" tanyanya. "Cantik jugakah?" Ia mengecup rambut istrinya sebelum menerima camilannya.

Yang ditanya kemudian hanya terbengong-bengong saja. Siapa yang bisa tau wajah seseorang ketika berada di dalam perut ibunya? Ultrasonografi empat dimensi belum ada waktu itu, dan jika ada pun... Ah, sudahlah.

"Pertanyaan macam apa itu?" akhirnya Rara menjawab, membuat Jaka terkekeh mendengarnya.

"Kamu tau ngga, kalau bertepuk sebelah tangan itu bunyinya gimana?" Jaka bertanya lagi.

Tapi Rara memutuskan untuk tidak ingin terganggu dengan pertanyaan konyol suaminya. Jadi ia menyibukkan diri dengan menaburkan kelapa parut di atas sukunnya. "Mau kelapa?" ia melirik Jaka.

Jaka mengangguk. "Pertanyaanku dijawab dong," katanya jahil.

Lagi-lagi Rara tidak menggubrisnya. Ia ingin sore akhir pekan yang tenang, bukannya yang penuh filosofi sehingga ia harus berpikir keras. Dalam ketidak acuhan, ia mengunyah sukun tabur kelapa parutnya yang lezat. 

Kepengin, Jaka pun melahap sukunnya sendiri. Dibiarkannya Rara berpikir --ini asumsinya saja, berdasar pengalaman yang sudah-sudah, bahwa istrinya itu suka bermain-main dengan pikirannya.

Tapi ternyata Rara tidak sedang berpikir. Ia terus mengunyah camilannya dengan perlahan, hadir utuh pada setiap gigitannya. Menyadari gurihnya kelapa yang berbaur dengan sukun pada indera pengecapnya, menyadari ubi yang madunya meleleh membanjiri rongga mulutnya. Setelah semuanya ditelan dengan nikmat, ia lalu menyisip teh manisnya, membiarkan cairan hangat itu turun melalui tenggorokannya, juga dengan sepenuh sadar. 

"Kamu tau..." katanya sambil meletakkan cangkirnya. "...bahasa dan kata-kata adalah bentuk komunikasi antara satu diri dengan diri lainnya, dan karenanya bahasa adalah "pendapat", bukan "fakta". Sebab bahasa bukanlah fakta, maka kata-kata adalah ilusi semata."

Kali ini, ganti Jaka yang terbengong-bengong saja. Tangannya yang memegang sukun melayang di udara.

"Segala apa yang bisa kujadikan jawaban atas pertanyaanmu, jugalah bahasa," Rara melanjutkan. "Sedangkan kebenaran sejati adalah sesuatu yang harus dialami dan tak mungkin diwakilkan. Dan bahasaku, juga seluruh pengetahuan dan seni yang kuketahui itu semua bersifat subyektif, oleh karenanya menjadi "tidak dapat dipercaya." 

Lagi-lagi, Jaka hanya bisa menatap istrinya dengan takjub. Mengabaikan mulut dan sukunnya yang saling merindukan untuk bertemu. 

"Tidak ada yang bisa dipercaya," Rara balik memandang sang suami. "Termasuk omonganku barusan, dan pertanyaan-pertanyaanmu tadi."

Dengan sangat terpaksa, si sukun harus benar-benar terpisahkan dari si mulut, karena Jaka meletakkan camilannya kembali ke piring. 

"Pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah milikku," Jaka membelai pipi Rara dengan punggung telunjuknya. Terpesona ia, pada kemampuan sang istri dalam menjawab. "Itu adalah "koan", atau pertanyaan paradoks yang mirip teka-teki, yang biasa dilemparkan Bodhidharma kepada murid-muridnya. Tujuannya agar pertanyaan itu mampu menunjukkan betapa "relatifnya" kebenaran itu."

"Siapa itu Bodhidharma?" tanya Rara.

"Ia konon adalah seorang Bhiksu beragama Buddha, yang juga dikenal sebagai Guru Dharma Tripitaka," jawab Jaka. "Ia yang kemudian mengajarkan "Dhyana", atau "Chan" dalam bahasa China dan "Zen" dalam bahasa Jepang."

"Oh," Rara tau tentang Zen.

"Dengan melakukan perenungan terhadap koan yang dilemparkan, maka akan mudah masuk ke dalam keheningan," Jaka meneruskan. "Di sanalah, dalam meditasi itu, para murid kemudian menemukan satu-satunya kebenaran yang ditularkan oleh koan, dalam bentuk bahasa yang berupa "pertanyaan abadi."

Rara mengambil satu pisang kukus dan mengunyahnya lamat-lamat, sambil mencoba memahami penjelasan Jaka. Tidak mengerti ia, bahwa kesadaran penuh dan kehadiran utuh yang didapatnya saat mengunyah itu adalah meditasi geraknya. Tak lama, ia tersenyum dalam kepahaman. 

"Inti merasakan keheningan di sini adalah saat perbedaan antara dirimu dengan apa yang ada di sekitarmu menjadi sirna. Keheningan adalah merasakan kedamaian saat menyatu dengan "realitas obyektif," kata Jaka lagi. Lalu, diambilkannya satu pisang lagi untuk Rara.

"Kok aku makan jadi pisang terus ya, kayak apa aja..." Rara tetiba protes, membuat Jaka terbahak atas komplennya itu.

"Kamu tau ngga, setelah itu sang Guru Tripitaka menciptakan gerakan-gerakan senam," Jaka memakan pisang yang diambilnya sendiri. 

"Senam?" Rara bingung. "Untuk apa?"

"Saat tinggal di kuil Shaolin, ia melihat kalau murid-murid Buddha sering mendapatkan derma makanan dari warga sekitar," jawab sang suami. "Jadi ia meminta mereka untuk bercocok tanam di dekat kuil. Tujuannya agar para murid tidak bergantung pada orang lain dan mendapat keuntungan dari hasil  tanamnya, juga fisik yang jadi sehat."

"Oh," seru Rara. "Nama gerakan senamnya adalah Kung Fu, kah?"

Jaka tersenyum. "Betul, artinya kerja atau latihan keras," jawabnya. "Lama kelamaan gerakan itu menjadi rangkaian ilmu bela diri."

"Nah, aku pintar kan," Rara pura-pura bersombong diri. 

"Iya..." jawab Jaka lagi, kali ini dengan suara serak. "...dan aku suka sama yang pintar..." suaranya bertambah dalam dan berat. "Kita masuk yuk..."

Lalu Rara tertawa. Dimajukannya bibir untuk mencium Jaka, dan menghentikannya dua detik kemudian. Dengan sebilah senyum nakal, ia kemudian bangkit dan berjalan ke dalam, membiarkan sang suami menyusulnya ke kamar...

******** 
*special thanks to ko Michael Yamin for the inspiration, rahayu

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

9 komentar:

  1. Baca ini jadi pengin makan ubi madu deh hehe

    BalasHapus
  2. Baca ini ujan2 bayangin aku dan suami juga masuk kamar yihaaa baca ini suka. Senyum2 sendiri

    BalasHapus
  3. Duh jd pengen makan sukun, tapi saya mah lebih suka yang digoreng daripada yang dikukus hehe...

    BalasHapus
  4. andaikan semua pasutri punya komunikasi bagus kaya Rara dan Jaka ....

    BalasHapus
  5. ampun ditanyain "kamu wkt di perut cantik juga ga" itu bikin auto meleleh :"

    BalasHapus
  6. Lhooo...endingnya yaa...
    Bikin aku auto-mikir.
    Hhahhaa...gaya yaa...pakek dipikir segala, ((aka. dibayangin))

    BalasHapus
  7. Salfok sama rebusan sukun dan kelapa parut yg gurih..duh bikin laper hahaha..

    BalasHapus
  8. Lebih panjang dr biasanya, Teh. Trus rada njelimet dari biasanya :D

    BalasHapus