[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Eling

Rabu, 10 April 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Eling


Tadi malam, Jaka tetiba diundang ke suatu acara di ujung barat kota. Sebuah acara di Padepokan tempatnya dulu belajar dan menjadi mentor, yang tentu saja ingin dihadirinya. Pada saat bersamaan, Rara pun harus mengajar privat sampai malam. Jadi Jaka memintanya untuk mengantar sebelum kelasnya dimulai, supaya istrinya bisa lebih nyaman pulang larut dengan kendaraan sendiri. 

Dan pagi ini, Rara punya satu berita yang asyik untuk diceritakan saat sarapan...

"...dan tiba-tiba aku merasa hilang begitu saja," katanya sambil mengolesi roti keduanya dengan mentega, dan bercerita bagaimana dalam perjalanan pulang mengantar Jaka, di jalan raya bebas hambatan dalam kota, ia seolah 'tenggelam' dalam dirinya sendiri.

"Mobil di kiri-kananku tetap melaju biasa, aku sadar itu. Tapi entah mereka yang berjalan terlalu cepat sehingga yang terlihat hanya sinar-sinar lampu berkelebatan, atau akunya yang melambat..." sambungnya. "Yang jelas aku seperti hilang, atau tenggelam, atau apalah itu namanya, dengan rasa damai yang tidak pernah kualami sebelumnya."

"Weits," Jaka menatap Rara dengan serius. "Bisa jadi bahaya juga itu..." Tapi kemudian, ia santai kembali. Ditambahkannya garam dan merica pada telur orak-arik kesukaannya.

"Lah memang iya," sahut Rara. "Kalo diinget-inget lagi sekarang, kok ya ngeri juga di jalan tol begitu..." ia meneguk jus jambunya.

"Tapi saat itu rasanya damai-damai saja sih... Aku bingung mendefinisikannya gimana..." lanjutnya. "Itu aku mengalami apa ya?"

"Ya ngga usah didefinisi," jawab Jaka kalem. 

"iya sih, bingung juga kalau membahasakannya," Rara mencoba rileks. "Soalnya aku juga merasa kayak tiba-tiba pergi ke banyak tempat di berbagai penjuru bumi. Aku seperti melihat apa yang mereka kerjakan, tapi ngga ada aku secara fisik, cuma melihat aja, cuma..."

"Cuma ada kesadaran," Jaka melengkapi kalimat istrinya. "Kalo aku lebih suka menyebut kondisi itu sebagai 'switching of consciousness' atau perpindahan kesadaran. Di mana pada saat itu, yang bekerja bukan lagi kesadaran ragawi, melainkan kesadaran lain yang lebih tinggi, lebih luas, lebih halus, dan lebih universal."

"Maksudnya?" Rara bertanya sambil mengolesi satu roti lagi dengan mentega untuk suaminya.

"Kesadaran yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, dan tidak bergantung pada fungsi inderawi," Jaka mulai mengisi rotinya dengan telur orak-arik dan sosis ayam. "Bisa juga dikatakan sebagai kesadaran spiritual."

"Tapi, kenapa aku mengalami itu?" tanya Rara lagi. "Aku kan suka meditasi juga, tapi rasanya belum pernah sampai 'hilang' seperti itu. Ruang seperti tidak ada, waktu serasa tidak lagi signifikan. Tidak ada keinginan untuk menghentikan mobil atau buru-buru sampai tujuan, bahkan kepedulian untuk keselamatan. Rasanya seperti berserah saja, kalau harus diambil saat itu juga aku pasrah, karena damai sekali."

"Itu kesadaranmu sendiri yang membawamu sampai sana," jawab Jaka. "Untuk memberi tahu, atau mengingatkan kembali, bahwa kita bukanlah sekadar sosok yang lahir dengan hanya kesadaran ragawi."

"Oh..." Rara mengangguk. "Bahwa kita adalah raga yang berjiwa dan bukannya jiwa yang berraga, ya?"

"Ya, maka elinglah," kata Jaka tersenyum. Kalau istrinya benar-benar paham akan hal tersebut, maka Rara bukanlah Rara yang dulu...

"Kamu pernah begitu, kah?" Rara menduga-duga. Suaminya itu rasa-rasanya selalu berada dalam keadaan meditatif tinggi, sehingga setiap gerak dan ucapnya penuh kesadaran.

Jaka tertawa mendengarnya. "Bagaimanapun, kita masih tetap berraga, Ra. Ada kebutuhan-kebutuhan fisik yang harus dipenuhi, sehingga kesadaran ragawi perlu tetap ada," jelasnya. "Walaupun harus diusahakan seimbang, di mana naluri ragawi dipenuhinya itu sesuai kebutuhan dan bukan keinginan, agar jiwa semakin bercahaya."

"Iya..." Rara mengerti tentang konsep neraca, atau keseimbangan jiwa dan raga itu. Bahwa bila jasmani ditekan, rohani akan naik, dan sebaliknya. 

"Kalo udah ngerti, yuk kita penuhi kebutuhan jasmani dulu di kamar," Jaka menggoda, membuat sang istri tersipu mendengarnya.

"Apa sih, nakal ah," sahut Rara dengan senyum tertahan. Lalu ia bangkit dan mulai membereskan sisa sarapan dari meja makan. Dibawanya piring-piring ke dapur dan mulai mencuci, sampai Jaka memeluk, menciumnya dari belakang, dan semuanya tetiba menghilang...

********
*Matur suksma pak Guru, atas pelajarannya 🙏😊

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar