[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Batin Meditatif

Kamis, 11 April 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Batin Meditatif


Jaka dan Rara baru saja selesai sarapan, dan pagi itu tidak ada pekerjaan yang perlu diselesaikan, setidaknya sampai siang nanti. Jadi, agenda mereka adalah mendandani halaman depan dan belakang rumah yang sudah semrawut dengan alang-alang dan rumput yang meninggi. Rara sudah membeli beberapa tanaman hias tambahan, dan Jaka akan melengkapi koleksi kolam ikannya dengan dua ekor kura-kura. 

"Pohon lemonnya tolong pindahin ke ujung ajaa," Rara merengek pada Jaka. "Supaya durinya ngga nusuk-nusuk."

"Iya..." kata Jaka, menyadari bahwa untuk urusan atur-mengatur, tata-menata, Raralah mandornya.

"Terus, pohon cempakanya ditanam pinggir kolam, biar ikan-ikannya adem," Rara mulai bicara sendiri. "Nah, White Clematis-nya biar jadi semak yang merambat di dekat jendela kamar. Dan Morning Glory-nya biar melilit di kanopi belakang..."

Jaka memperhatikan istrinya yang tenggelam dalam pikirannya dengan geli, lalu mulai mengerjakan apa yang Rara minta untuk dikerjakan. Hingga satu jam lebih telah berlalu dan Rara mulai lelah. Sambil duduk di rumput, diamatinya sang suami yang masih tetap bekerja.

"Kenapa bisa anteng aja begitu, sih?" tanyanya pada Jaka. "Kamu mikirin apa?"

"Hm?" yang ditanya balik bertanya. "Ngga mikirin apa-apa."

Sebetulnya, Rara ingin protes lagi. Tentang mengapa Jaka bisa tidak memikirkan apa-apa padahal dari tadi diam saja, sedangkan ia sendiri sejauh ini sudah habis menyanyikan satu album lagu dengan pikiran kadang ke depan kadang ke belakang.

"Berkebun itu suatu jenis meditasi, kah?" hanya itu yang akhirnya ia bisa tanyakan.

Jaka tertawa mendengarnya. Pertanyaan itu menggelitik hatinya, jadi ia menghampiri Rara dan duduk di sampingnya.

"Keadaan meditatif itu kan tidak selalu harus dicapai dengan duduk bersila dan memejamkan mata, Ra," katanya menerangkan. "Kondisi batin yang tenang, damai, jernih bisa saja terjadi secara alamiah walau sedang menjalankan keseharian."

"Iya kah?" tanya Rara lagi. "Jadi ngga usah dengan sengaja masuk ke keheningan?"

"Bisa disengaja, bisa tidak, yang jelas semestinya disadari," Jaka menjelaskan lagi.

"Ngga sengaja, tapi disadari?" Rara bingung.

Jaka meringis. "Meditator itu memang menyadari apa saja yang dilakukannya," ia menjawab. "Oleh karena itu ada istilah sadar penuh-hadir utuh, di mana seseorang yang berada dalam kondisi batin meditatif itu eling akan keadaan eksternal maupun internalnya."

"Oh..." Rara berusaha memahami penjelasan suaminya. "Apa tanda-tandanya, kalau seseorang sudah masuk dalam kondisi batin itu..?"

"Pada umumnya, kalau gejolak pada pikiran dan perasaan sudah mereda, maka seseorang bisa dikatakan masuk tahap kondisi meditatif awal," sang suami membabar pengetahuannya. "Ada kualitas keheningan tertentu yang dicapainya -sengaja maupun tidak, di mana saja dan kapan saja- namun keadaan eksternal masih dengan mudah memengaruhinya."

Rara mengangguk-angguk.

"Ia akan merasa rileks, lega tanpa beban, tidak tercengkeram pikiran atau perasaan tertentu yang menggelisahkan," Jaka melanjutkan. "Kalau keadaan eksternal sudah lebih mendukung suasana internal, maka ia akan masuk pada derajat meditatif pertengahan. Di sini, ruang dan waktu tidak terlalu signifikan, karena keheningannya sudah cukup mantap, tak mudah tergoyahkan."

"Apa itu derajat meditatif?" tanya Rara..

"Derajat meditatif menyatakan ‘derajat ketercerapan’ seorang meditator dalam meditasinya," Jaka tersenyum dan membelai rambut istrinya. "Yaitu kadar acuhnya, perhatiannya, atau eling dan kehadirannya yang utuh pada saat ini dan di sini."

"Lho..." Rara bingung lagi. "Memangnya ada, yang tidak eling saat meditasi?"

"Ya bisa jadi..." jawab Jaka. "...kalau ia jadi terhanyut dalam ekstase sehingga tak sadarkan diri. Makanya kadang meditasi perlu dibimbing juga, supaya diberitahu tahap-tahapnya. Kecuali dia memang seorang meditator yang eling, sadar kapan mulai masuk, berada di dalamnya, hingga saat turun dari kondisinya."

Rara mengangguk lagi. "Kamu di tahap mana?"

"Hahaha..." Jaka tertawa lagi. "Aku ngga tau ada di mana. Yang jelas, ada orang-orang yang dapat berada dalam keheningan yang terus menerus, walau dalam keseharian ia secara fisik membaur dengan aktivitas keduniawian. Itu adalah suatu pencapaian luar biasa, bisa berada pada kondisi batin yang tidak semua orang mampu mencapainya."

"Ada tahap lagi kah, di atasnya?" Rara penasaran.

"Ya, saat seseorang sudah sedemikian melebur, tenggelam dalam dirinya sendiri sehingga tidak menyisakan kesadaran eksternal, karena ketercerapan yang tinggi," jelas Jaka. "Ia seolah-olah kehilangan kesadaran ragawinya, seperti pulas tertidur, dan tentu bisa berbahaya karena kita masih punya tubuh. Masih perlu kesadaran yang bertumpu pada persepsi inderawi akan rangsangan eksternal." 

"Waw..." hanya itu yang bisa dikatakan Rara. Sedemikian indahnya, kah, alam uwang-uwung itu sehingga ada orang yang rela meninggalkan kesadaran ragawinya untuk terus berada di sana? 

Tapi ia tau bahwa pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Ia tau bahwa sejatinya manusia bukanlah makhluk bumi yang merindukan langit, melainkan makhluk langit yang menyudikan diri untuk tinggal di bumi demi bersama memperindah kecantikan planet ini.

Seakan bisa membaca pikiran istrinya, Jaka menjawil dagu Rara dan berkata, "Ayo ah, kembali memayu hayuning bawana dari halaman kecil kita ini."

Rara tersenyum penuh sayang pada suaminya, lalu mulai mengambil air untuk menyiram bunga clematis putih nan wangi yang baru ditanamnya. Ya, ia akan terus berpartisipasi dalam kesadaran kolektif, untuk bahu-membahu memayu, setidaknya dari hal kecil yang ia miliki sendiri.

********
*Terima kasih banyak pak Ngurah Agung, atas cuplikan kata-kata dan pelajarannya. Rahayu🙏 

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

9 komentar:

  1. sha kalau tidur, kadang sadar kalo sha teh lagi tidur. gimana tah teh? hahaha
    kadang lagi tidur, mikirin banyak hal dan sadar kalo sha mikirinnya saat tidur? wkwkwk

    BalasHapus
  2. Ternyata meditasi ada tahapannya. Tahap awal aja aku nggak tahu pernah ngerasain apa enggak hehe

    BalasHapus
  3. Memayu hayuning bawana itu bahasa apa ya mba, waah jadi kenal istilah2 baru

    BalasHapus
  4. Selalu ingin tau kelanjutannya nih kalau baca cerbung teh Putu, eh ini kayaknya emang cerbung ya bukan cerpen

    BalasHapus
  5. Hmm.. aku pun sekarang jadi terbiasa untuk meditasi, walau kadang cuma 5 menit sebelum tidur tapi efeknya lumayan bikin rileks :D

    BalasHapus
  6. Meskipun ceritanya fiktif, tapi ada banyak hal/pelajaran yang bisa diambil. Khususnya tentang meditasi :D

    BalasHapus
  7. Ia tau bahwa sejatinya manusia bukanlah makhluk bumi yang merindukan langit, melainkan makhluk langit yang menyudikan diri untuk tinggal di bumi demi bersama memperindah kecantikan planet ini.

    Suka banget sama bagian ini teh :)

    BalasHapus
  8. Teh, ima lagi coba tidak mengendalikan pikiran yang kedepan dan ke belakang ini. Dengan fokus sama apa yang dikerjain sekarang. Rasanya nyaman, meski masih tarik ulur, ada aja pikiran kemana2nya.

    BalasHapus
  9. Fiksinya asik sekali, teh. Di tunggu kelanjutannya :)

    BalasHapus