[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang This Too, Shall Pass

Minggu, 17 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang This Too, Shall Pass


Sudah hari Minggu lagi. Rara mengajak Jaka untuk jalan-jalan lagi di taman depan, sambil sedikit berolah raga. Dan, lagi-lagi hidup melemparkan kedualitasannya di hadapan, seakan tidak ingin melewatkan kesempatan dalam memberikan pelajaran. Seperti biasa, Raralah yang baper...

"Senangnyaa..." katanya berkomentar, saat melihat segerombolan orang berpakaian rapi. Yang perempuan nampak cantik dengan sanggul dan kebaya, sedang yang laki-laki gagah dengan celana panjang dan kemeja batiknya.

"Wah, pak tetangga anaknya sudah wisuda," Jaka ikut melambaikan tangan pada rombongan itu. 

"Hari wisuda itu hari yang membanggakan," Rara meneruskan komentar. "Kalau waktu bisa diputar, habis wisuda aku mau pergi ke studio buat foto sama papah-mamah dan teman-teman, terus makan-makan, kayak anak jamanow gitu." 

"Hm..." tangap Jaka seadanya. Mereka sedang berlari kecil, ia ingin menghemat tenaga dengan tidak bicara.

"Dan setelahnya, pasti posting-posting di medsos dan senyum-senyum terus selama beberapa hari," lanjut Rara. Bicara banyak ternyata tidak membuatnya capek.

Jaka masih tidak menanggapi, tapi ia membelokkan diri menuju seorang anak kecil yang sedang memeriksa tempat sampah taman. 

Entah apa yang dibicarakan, tapi Rara melihat suaminya terlibat dalam obrolan yang serius. Ia kenal anak itu, Jaka membawanya ke rumah beberapa hari lalu dan memberinya banyak makanan dari kulkas. Karena merasa bahwa akan lama menunggu, Rara berjalan ke bawah sebuah pohon rindang dan melakukan beberapa pose Yoga di sana. 

"Ibunya sedang sakit," lapor Jaka beberapa menit kemudian. "Ayahnya masih di luar pulau."

"Jadi dia gantiin ibunya memulung, ya?" tanya Rara.

"Iya," Jaka menjawab sambil duduk-duduk di bawah pohon. "Uangnya buat beli obat sama makan. Buat beli susu sachet-an juga untuk adik bayinya."

Rara diam saja. Matanya menatap si anak itu, dan pikirannya membawa pada perasaan yang campur-baur. Lalu, seperti biasa, matanya mulai panas dan berair. 

"Eh, kok nangis..." Jaka mengajaknya duduk. "Kan sudah belajar melampaui dualitas..."

Dibilang begitu, Rara malah tambah sesegukan. Kadang-kadang, ia tidak suka dengan dualitas-nondualitas, atau apapun itu namanya. Ia suka bermain dengan perasaan, walau bisa jadi jungkir-balik ke atas dan ke bawah karenanya.

Jaka menghela napas dan membiarkan istrinya melepaskan emosinya. Lalu, diceritakannya sesuatu,

"Konon katanya, Raja Solomo meminta seorang bijak untuk memberinya sebuah cincin," ia mengelus kepala Rara. "Tapi cincin yang bukan sembarang cincin."

Nampaknya usaha itu berhasil. Rara menyusut air matanya dan anteng mendengarkan dengan kepala bersandar.

"Cincin itu haruslah memiliki keajaiban untuk membuatnya tetap senang di saat sedih," Jaka mengelus rambut Rara. "Dan orang bijak itu menyangupi dengan membuatkannya sebuah cincin dengan tulisan 'Gam zeh ya'avor'"

"Apa itu artinya?" tanya Rara.

"Gam zeh ya'avor adalah sebuah pepatah Ibrani yang dalam bahasa Inggris berarti 'This too shall pass'," jelas Jaka. "Apa coba, bahasa Indonesianya?"

"Ini pun akan berlalu..." Rara menjawab sambil merenung. Ia tau arah cerita Jaka.

"Wah, pintar bahasa Inggris, ya?" Jaka menjahili, membuat Rara ikut tertawa. 

"Begitulah," Jaka menyambung cerita. "Kemudian cincin itu benar-benar mendatangkan keajaiban bagi pemakainya, karena kekuatan kalimatnya yang luar biasa."

"Bahwa dapat memberikan penghiburan saat sang Raja berduka?" tanya Rara lagi.

"Dan membuatnya eling lan waspada saat sedang bersuka-ria," Jaka melengkapi. 

Rara tersenyum. Gambaran lengkap tentang cerita Jaka muncul di kepalanya. Kegembiraan saat wisuda tidak akan berlangsung lama, syukurilah momennya sebelum menjadi kenangan. Kesedihan si anak pemulung itu pun akan ada akhirnya -mungkin saat ibunya sembuh dan adik bayinya sudah minum susu. 

"Silih berganti, tidak ada yang abadi," Jaka ikut tersenyum melihat Rara. "Hanya dualitaslah yang abadi, saat pikiran ini masih menilai-nilai."

"'Lampaui', pasti mau bilang begitu, kan?" Rara mengerucutkan bibirnya. "Terima yang hadir apa adanya, netral sebagaimana hakikatnya."

"Ngg, aku ngga mau bilang gitu kok," Jaka menatap istrinya dengan penuh cinta. "Istriku pintar..." 

"Oya?" Rara tersenyum mengoda. Lagi-lagi, ia tau arah pembicaraannya.

"Iya... Bikin nafsu aja..." suara Jaka mulai berat dan terdengar serak. "Pulang yuk..."

Dan pohon rindang itu menjadi saksi dua sejoli yang dimabuk cinta...

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

*thanks to Jessica Valentina Ananta for the insight and the picture


Tidak ada komentar:

Posting Komentar