[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pilihan Penghakiman

Senin, 04 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pilihan Penghakiman


Seharian kemarin, Jaka punya pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Berhubung akhir minggu, ia lalu mengajak Rara untuk menemani. Kebetulan juga pekerjaannya itu berlokasi di seputaran Dago atas dan kliennya menyewakan sebuah villa kecil untuknya. Jadi ia bisa leluasa bekerja dengan tetap berdekatan dengan Rara -yang kemudian asyik sendirian sambil menyelesaikan tulisannya.

"Villa-nya kemarin bagus banget, ya?" Rara membahas pengalamannya itu di meja makan. Disiapkannya Jaka sepiring nasi goreng dengan sebuah telur mata sapi kegemarannya.

"Iya," Jaka menjawab singkat. Ia suka telur ceplok yang kuningnya masih setengah matang, jadi kemudian sibuk menaburkan garam dan merica dengan jumlah yang pas.

"Aku kagum pada arsitek dengan Mediterranean style gitu. Dan Dago atas itu kan pemandangannya indah dan udaranya masih segaaar," sambung Rara sebelum menyuap. "Jadi aku seneng banget kemarin, tulisanku beres padahal deadline-nya masih lama. Makasiy yaa..."

Jaka mengambil satu telur ceplok lagi. "Nanti aku sampaikan terima kasihnya ke yang ngundang, yaa..." sahutnya.

Rara tertawa melihatnya. Jaka tidak pernah komplain tentang masakannya, padahal ia hanya bisa membuat yang sederhana saja. Jadi dibiarkannya sang suami makan sekenyangnya. 

"Etapi..." Rara menyendokkan suapan terakhir. "Aku ga suka sama pelayanannya. Masa komplek villa yang bagus begitu tapi fasilitas standar."

Jaka tidak memberi respon. Sibuk makan.

"Pekerjanya juga tidak sigap. Aku minta tambah kopi tapi katanya habis, dan aku minta tolong belikan juga katanya warungnya jauh,"  lagi-lagi Rara yang bicara. "Kan sayang, kalau tempatnya bagus tapi ngga didukung sama fitur lainnya."

Akhirnya Jaka menghentikan aktivitasnya. Ia meneguk air putihnya agar bisa bersuara dengan leluasa.

"Hidup itu, kalau mau fokus pada kebaikannya, boleh saja," katanya. "Mau berkonsentrasi pada keburukannya, juga boleh. Bahkan hanya menikmati keberadaannya tanpa dinilai-nilai pun monggo."

Rara yang sedang menaikkan gelas untuk minum langsung terdiam. Kesadaran baru tetiba melingkupinya, dengan sebelah tangan bergeming di udara. 

"Benar," akunya jujur beberapa detik kemudian. Ia meletakkan gelasnya kembali tanpa jadi minum, dan bangkit untuk memeluk Jaka. "Thank you for always reminding me. Aku pasti sangat disayang semesta, sampai dapat suami yang baik banget gini."

Jaka menikmati pelukannya sambil tersenyum. "Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibanggakan atas sebuah pemberian. Itu hanya sebentuk pengembalian atas karma baikmu."

Dibilangi begitu, Rara jadi terdiam lagi. Mencerna.

"Dan tidak ada yang perlu disesalkan atas sebuah kemalangan. Itu pun adalah sebentuk pembayaran atas karma sendiri saja," sambung Jaka. "Jadi sekali lagi, boleh saja menitikberatkan pada indahnya, atau pada cacatnya. Or just leave them without any judgement. It's your call - pilihannya ada padamu."

Mau tidak mau, suka atau ngga, Rara lagi-lagi harus mengakui bahwa Jaka benar --atau tidak benar, karena semuanya netral adanya. Ah, kadang ia sebal pada pelajaran-pelajaran spiritual seperti ini. Sebal tapi jika ditilik-tilik lagi, hatinya nyaman tanpa penolakan. 

Jadi ia lalu tersenyum saja, menikmati satu demi satu koreksi dan masukan yang menggembleng jiwanya. Sudah syukur ada Jaka yang selalu mengingatinya. Eh, atau harusnya tidak usah bersyukur karena semua terjadi dengan sendirinya sesuai dengan jatahnya? Arrgh, bingung!

Seakan membaca pikiran Rara, Jaka tertawa. Ia membawa istrinya ke pangkuan, dan mulai menciumi leher jenjangnya. "Mendingan masuk kamar lagi, yuk."

Gantian Rara yang jadinya tertawa. "Ngapain?" tanyanya beretorika.

"Itu..." suara Jaka berubah serak dan sedikit berat. Jarinya menelusup ke dalam baju tidur Rara, mencoba menyentuh titik-titik sensitif sang dinda. "Konon katanya, bercinta itu meditasi paling indah yang membawa pada banyak pemahaman..."

Rara ingin tertawa lagi mendengar alasan itu, tapi ia hanya bisa menggelinjang. Sebuah desahan kemudian merepresentasi apa yang ingin disampaikannya...

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

7 komentar:

  1. Cerita Rara dan Jaka ini selalu bikin senyum sendiri deh, selalu beda aja disetiap episode nya.

    BalasHapus
  2. Bener kita bisa pilih pada kebaikan atau keburukan

    BalasHapus
  3. akhir ceritanya gemes sendiri wkwkwk kok aku geli dan senyum sendiri aih teteh bisaan

    BalasHapus
  4. Itu tolong jarinya dikontrol ya, Jakaaaa! Wekekekek

    BalasHapus
  5. Waduh, Rara dan Jaka. Masih sore ini. Hahaha.Suka sama ceritanya, selalu ada quote baru yang bikin aku manggut-manggut😁

    BalasHapus
  6. Aih endingnya, hihihi... Seneng ya kalau punya pasangan yang selaku mengingatkan...

    BalasHapus
  7. Oh jadi INI bercerita tentang pasangan ya

    BalasHapus