[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kebenaran dan Pembenaran

Selasa, 05 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kebenaran dan Pembenaran


Siang ini, Jaka ada sedikit urusan mengenai surat-surat yang perlu dilegalisasikan, jadi ia sudah berangkat sedari pagi tadi. Rara hanya punya satu jadwal mengajar hari ini pada jam 3 sore, tapi ia diminta Jaka datang lebih awal untuk makan siang bersama.

"Makan di sana saja, ya," Rara mengalungkan tangannya di lengan Jaka. "Aku pengin makan lotek."

"Ok," jawab Jaka sepenuh rela. Berdua, mereka lalu menyusuri sebuah jalan kecil di Bandung yang lengang, menuju warung lotek kecil favorit berdua.

Di tengah perjalanan, seorang pengemis tua terlihat tertidur di sebuah kursi pedestrian. Nyenyak sekali, dengan pohon besar berusia puluhan tahun menaunginya. Wajahnya damai, membuat Jaka dan Rara ikut tersenyum memandangnya.

Rara membuka tasnya dengan cepat, lalu berjalan menghampiri si bapak tua. Tapi langkahnya terhenti, dan ia kembali ke sisi Jaka.

"Kenapa?" tanya Jaka. "Ngga jadi ngasih?"

Dengan ragu, Rara menggeleng, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi.

Jaka tersenyum. "Ya udah jalan lagi yuk," ajaknya.

"Aku cuma ngga enak, takut ganggu tidurnya..." Rara menjelaskan. "Ya udah aku selipin di bawah tangannya aja deh," katanya berbalik badan.

Tapi Jaka keburu menggamit tangan istrinya untuk meneruskan perjalanan. "Ingat ngga, apa yang pertama muncul di hatimu, saat mau ngasih sedekah di awal tadi?" tanyanya.

Rara menoleh, menatap suaminya dengan bingung. "Ya iba lah..."

"Kalau benar demikian, maka welas asihlah yang menguasai," Jaka menjelaskan. "Dan welas asih adalah rasa murni yang merupakan kebenaran."

"Gimana maksudnya "kalau benar demikian"? protes Rara. "Aku benar-benar iba kok, bukan dibuat-buat."

"Ya makanya aku tanya... Apa yang pertama muncul saat melihat bapaknya tadi," Jaka merangkul istrinya yang sedikit tersinggung. "Kamu kan tadi ngga jadi ngasih, itu mungkin karena niatmu sudah ditunggangi kepentingan lain."

"Maksudnya apa sih??" Rara jadi makin tersinggung. "Memangnya apa yang bisa menunggangi niat baik??"

Ada sebuah tempat duduk lagi di pedestrian itu, jadi Jaka mengajak Rara duduk dulu agar dapat menjelaskan lebih jauh, dan supaya istrinya itu sedikit teralihkan emosinya.

"Semua perasaan yang muncul di awal saat kita melihat sesuatu, itulah kebenaran yang sejati," Jaka mengambil tangan Rara dan mengecupnya. "Seperti yang tadi itu, sebuah kilasan rasa yang ditelusupkan jiwa sebagai pedomanmu bergerak melakukan kebajikan."

Rara mengangguk saja sambil mencerna kalimatnya.

"Tapi kemudian kamu ragu," Jaka meneruskan. "Saat itulah pikiranmu mengambil alih kekuasaan atas tubuh, dan kamu memilih untuk tidak jadi memberi..."

"Aku mau memberi kok," Rara protes lagi. "Tapi kamu ngajak jalan lagi."

"...atau jadi memberi," lanjut Jaka. "Iya aku ajak kamu jalan, tepat saat kamu bimbang untuk memberi atau tidak memberi. Sadari, Ra, bahwa pada momen itu pikiranmu melakukan kudeta terhadap suara hatimu."

Perlahan, Rara mengangguk. Ia ingat lagi kejadiannya sekarang.

"Pada waktu-waktu tersebutlah, sebuah kebajikan bisa jadi ternodai," Jaka mengecup rambut istrinya. "Saat pikiran menelusupkan perasaan-perasaan lain selain welas asih, seperti merasa lebih, merasa khawair si bapak ngga bisa makan, ingin dapat pahala demi masuk surga, dan sebagainya."

Rara hanya bisa mengangguk lagi.

"Dan jika pikiran sudah bermain, maka ia akan menilai," Jaka menjabarkan lagi. "Kebajikanmu akan berlandaskan salah atau benar, dosa atau pahala, neraka atau surga. Perbuatanmu akan bergerak karena ketakutan, bukannya welas asih."

Rara masih diam dan mencerna.

"Karena pada saat itulah, bisikan yang dihadirkan sang Jiwa dapat ditunggangi kepentingan semata," sambung Jaka. "Saat di mana kebenaran sejati berubah menjadi pembenaran pribadi."

Akhirnya, Rara tersenyum paham. "Jadi selalu amati, ya, apa yang pertama muncul di hati?" tanyanya.

"Ya," Jaka ikut tersenyum. "Dan ciri pengetahuan semesta --kebenaran sejati yang datang dariNya-- adalah bahwa itu bebas dari penilaian maupun sangkaan," katanya. "Lalu segala perbuatanmu akan menjadi tulus dan ikhlas tanpa pamerih, sebab tidak pernah terbersit sedikitpun di benakmu akan hasil dan balasannya."

Tiba-tiba, Rara berdiri. "Tunggu sini yaa," serunya pada Jaka. "Ini hatiku sudah mengajak ke sana lagi. Aku mau langsung bergerak sebelum pikiranku menguasai." Lalu ia membalik badan dan berjalan ringan ke bapak pengemis tadi.

Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

********

~Pengetahuan dari Sang Sumber Kebenaran hanya datang saat pikiran terlepas dari kepentingan. Karena pikiran yang melekat pada kepentingan hanya akan menghasilkan pembenaran. Dan jika itu terjadi, maka ajaranNya tidak lagi suci, wahyu-wahyuNya menjadi pembenaran atas kepentingan pribadi dan bukannya kemaslahatan seluruh alam.

Sadari, amati perasaan yang muncul, dan jauhkan dari pikiran. Lalu kebenaran akan menjadi keniscayaan yang menyamankan.

*another lesson learnt, thank you ko Rudi for the insight, namaste 🙏 <3
** Pict @ Candi Sukuh, by mas Harsendi, Karanganyar, Jateng, 24 Feb 2019

8 komentar:

  1. Lotek favorite nya yang di kalipah apo bukan nih. Hahahaha

    BalasHapus
  2. wah jadi pingin beli lotek nih sore-sore begini

    BalasHapus
  3. Teh, baxa cerita ini ima jadi inget kisah sahabat Nabi yang sedang perang. Saat dia dalam posisi mau mengalahkan musuhnya dengan pedangnya, musuhnya ini meludahi sahabat Nabi. Lalu sahabat Nabi mengurungkan niat membunuh musuhnya, lalu segera pergi. Musuhnya heran, dia pun bertanya karena urung dibunuh, begini jawabannya,"Ketika saya akan membunuhmu, itu karena Allah, tapi ketika kamu meludahiku, aku marah, jadi saya tidak mau membunuhmu karena dendam."

    BalasHapus
  4. Hehehe aku sepertinya pernah ada di situasi kayak Rara di atas. Thanks buat remindernya ya, Teh :)

    BalasHapus
  5. Jadi percaya aja sama insting pertama yg muncul ya

    BalasHapus
  6. Kebenaran dan pembenaran memang berbeda ya, teh

    BalasHapus
  7. Wah, ini filosofis banget, dalem memaknai tingkah laku. Makasih jadi teringatkan

    BalasHapus
  8. Ini ranah tasawuf :) oh ya, tentang yg pertama dirasakan adalah kebenaran sejati, ini sama seperti yg dibahas dalam Kokologi. Yg pertama melintas di pikiran kita adalah kebenaran.

    BalasHapus