[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Jatah

Kamis, 21 Maret 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Jatah


Sepagi ini, Rara sudah galau lagi. Sarapan sudah selesai, meja makan sudah kembali rapi, dan piring gelas pun sudah dicucinya bersih-bersih. Tapi Jaka masih melihatnya mondar-mandir ngga jelas, jadi tentu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Ada apa, Ra?" tanyanya lembut. diajaknya sang istri untuk duduk di sofa, sambil memberikan sebuah Rubik untuk dijadikan sasaran kegelisahan.

Benar saja, Rara langsung memainkan kubik mainan itu, berusaha merapikan warna-warnanya, walau hasilnya makin kacau. Orang yang gelisah memang butuh penyaluran secara kinestetis, kalau ia belum bersedia menyalurkannya melalui lisan. 

Jaka menunggu dengan sabar, sampai Rara menyerah dengan mainannya dan mulai cerita.

"Bosku mau resign dan pindah ke Jakarta minggu depan..." katanya memelas. 

"Terus...?" tanya Jaka.

"Aku punya salah sama dia..." Rara mengaku. "Salah komunikasi aja sebetulnya, dan sudah ngga masalah. Tapi aku belum ngaku sampe sekarang..."

"Ya ngaku lah..." Jaka mengelus rambut Rara. 

"Takut..." Rara menutupi wajah dengan dua tangan. 

Jaka tersenyum. "Semua sesuai sangkaan, Ra," katanya. "Apa sangkaanmu terhadapnya?"

"Dia ngga akan marah juga sih kayaknya..." jawab Rara. "Eh tapi ngga tau deh, aku bingung..."

"Begini aja, tanya hatimu ya, kapan pasnya untuk bicara," Jaka memberi saran. "Bosmu perginya masih minggu depan, kan?"

Rara mengangguk.

"Seperti biasa, ajak hatimu bicara, tanya satu persatu dengan jawaban ya-tidak, sampai ketemu hari yang paling sesuai," Jaka mengelus rambut Rara lagi. 

Lalu, dilihatnya sang istri memejamkan mata untuk berhening diri. Bertanya pada sang Penuntun Sejati tentang hal yang membingungkannya, agar arahannya membawa pada keadaan yang paling sesuai untuknya. 

"Besok, katanya," Rara mengabarkan apa yang hatinya kabarkan. "Iya kayaknya besok pas, hari ini masih grogi aku, dan lusa sudah dekat wiken."

"Dan, apakah dia akan marah?" Jaka bertanya pelan. Biasanya, informasi itu juga diberitahu --kalau berani ditanyakan.

"Ngga," Rara menjawab dengan semringah. "Pada dasarnya, si ibu orangnya cool aja sih, akunya aja yang baperan..." 

"Nah itu..." sahut Jaka tegas. "Tidak hanya kepada sesama manusia, kita pun kadang memberi sangkaan yang seenaknya terhadap Tuhan."

Rara mengangguk, paham akan maksudnya.

"Jadi kurangi mempersonifikasikan Sang Maha yang tidak terdefinisikan dengan sangkaan-sangkaan kita yang terbatas," Jaka menjelaskan. 

"Iya, Tuhan kan ngga baperan. Bukan tipe yang gemar menghukum hanya karena orang bertanya mengenaiNya, misalnya," Rara melanjutkan. "Yang baperan itu aku, ahahah!"

"Betul," Jaka menimpali. "Justru Ia ingin dicari, dikenali, ditanya-tanya..."

"Dan justru Maha Cinta," kata Rara lagi. "Begitu menemuiNya, mengenaliNya, bertanya-jawab denganNya itu hanya indah saja yang terasa. Dengan jawaban yang tiba-tiba saja dimunculkan pemahamannya."

Jaka tersenyum lagi. Walau kadang masih suka terbawa perasaan, ia senang Rara sudah belajar mengenali Tuhan. Semakin dalam mengenal Sang Maha, tentu semakin mengejawantah seluruh sifatNya ke dalam para hamba, ke dalam Rara. 

Ia mengingat-ingat Rara yang dulu, saat masih merasa jauh dengan Tuhan. Masih menganggap Sang Maha tak terdefinisi itu sebagai sosok yang berada di suatu tempat, dan memahamiNya sesuai kemampuan indriyanya yang terbatas ruang dan waktu. Padahal, IA tentu saja tak terbatas ruang dan waktu, bukan berupa sosok yang berada nun jauh entah di mana. Ia bahkan sangat dekat..

"Sayang, ngga semua berani mengenalNya, ya?" pertanyaan Rara mengembalikan Jaka pada kesadarannya. "They would not even dare to ask."

"Ya ngga apa-apa," lagi-lagi Jaka mengelus rambut istrinya. "Memang tidak semua orang berjatah yang sama. Biarkan mereka dengan pemahamannya, dengan kenyamanannya. Tidak perlu saling usik."

Sekarang ganti Rara yang tersenyum. Ia lalu menyandarkan kepala pada suaminya, mendekap erat kekiniannya. Karena hanya kini yang ia punya, tidak satu detik di belakang pun satu detik di depan. Detik di mana ia ada bersama Tuhannya yang tak berbatas ruang dan waktu, walau tidak semua paham akan hal itu. Tidak mengapa, semua punya jatahnya...

********
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

1 komentar:

  1. Selalu baper baca kisah Rara dan Jaka, kebayang kalau sudah menikah nanti hihi.

    BalasHapus