[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Sirna Diri

Kamis, 14 Februari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Sirna Diri


Saat itu sore menjelang malam. Jaka menggandeng tangan Rara, berjalan menuju sebuah tempat makan yang berada di kawasan Dago atas. Sebuah resto-cafe yang sangat disukai Rara, karena letaknya di atas bukit, dengan sebuah neon sign berbentuk hati besar berwarna merah di halamannya. 

Hujan rintik-rintik menemani mereka, membuat cuaca daerah atas yang sudah dingin menjadi semakin dingin. Rara sedang merapatkan syalnya dengan tangan kiri, sementara sebelah tangannya ada dalam genggaman Jaka, ketika hal itu terjadi... 

".........." Rara tiba-tiba terdiam. Kedua kakinya terhenti, matanya tidak berkedip, bahkan bernapas pun ia tidak ingin. 

Jaka yang berjarak satu langkah di depan Rara jadi ikut terhenti, karena tangan kirinya menarik sesuatu yang tidak mau ditarik. 

"Ra?" tanyanya bingung. "Ayo jalan, hujan."

Ditariknya lagi tangan sang istri, mengajaknya segera meneruskan perjalanan. Karena tempat makan itu sangat ramai, maka mobil-mobil harus diparkir agak jauh. Tidak hanya mereka, beberapa pengunjung lain terlihat setengah berlari berusaha menghindari hujan, walau agak susah karena jalanannya menanjak. Tapi Rara bergeming.

"Kenapa?" tanya Jaka, menyadari ada yang tidak biasanya terjadi.

Saat suaminya bertanya begitu, beberapa detik sudah berlalu, dan Rara sudah mau bernapas lagi. Bukan mau ding, butuh. 

"Kok aku..." Rara mengerjap-ngerjap. Gerimis membasahi bulu matanya. "Aku hilang..."

Jaka menghela napas. Diajaknya sang istri untuk ke sisi jalan. Ada pos satpam di sana, yang lumayan bisa membuat mereka terlindung sedikit dari hujan.

"Ya... memang begitu," jawab Jaka sambil mengeringkan wajah Rara dari bulir-bulir air yang menempel. "Ngga usah takut, nikmati aja."

"Aku ngga takut..." Rara menyanggah seketika. Detik berikutnya ia diam lagi, mencoba mengingat-ingat kejadiannya. "Ngg, takut sedikit sih, di awalnya. Tapi setelah itu ngga... Damai aja."

Jaka tersenyum saja. Rara mendapat pengalaman sirna diri.

"Tapi siapa yang ngga takut," kata Rara lagi, membela diri. "Siapa yang ngga takut kalo tau badannya hilang, yang ada cuma mata aja yang bisa melihat semua?"

"Bahkan mata pun tidak ada, Ra..." Jaka mengoreksi, membuat istrinya memutar bola matanya lagi untuk mengingat-ingat. 

"Iya... Ngga ada apa-apa selain kekosongan," sahut Rara. "Tapi kosong yang tidak hampa, karena rasanya damai..."

Jaka tersenyum lagi. "Yuk, aku sudah reservasi meja jauh-jauh hari, nih," katanya menarik tangan Rara.

Tapi kemudian Rara bergeming lagi. Ditatapnya Jaka yang tetiba berubah. Dimulai dari kepalanya, lalu badannya, yang seakan melenyap. Menguapkan entah apa itu namanya, partikel-partikel yang membentuk jasadnya, ke udara. Seperti debu-debu yang bertaburan di angkasa. Terbang, melebur kembali ke jagad raya.

Rara menggenggam erat tangan Jaka yang tadi menariknya, berusaha mempertahankan apa yang tersisa dari suaminya. Tapi tidak bisa. Apa yang bisa digenggam dari ketiadaan?

"Cinta, Ra," sebuah suara menggaung di telinganya. "Hanya cinta yang universal, yang nyata ada."

Rara yakin sekali bahwa itu suara Jaka, walau fisiknya sudah tidak ada, luruh di dalam kekosongan alam.

"Pagi, cinta..." 

Suara itu lagi, dan sebuah ciuman di bibirnya. Rara jadi terkejut hingga terbangun. Rupanya ia di rumah, di ranjangnya, bersama...

"Jaka!" dipeluknya sang suami kuat-kuat. Lalu dirabanya punggung itu, lengan itu, memastikan bahwa wujud itu adalah Jaka. Kemudian, sadar bahwa ia tadi hanya bermimpi, Rara terisak dan meneteskan air mata.

"Loh, kenapa?" Jaka jadi bingung sendiri. 

Yang ditanya lalu menggeleng saja dan tersenyum. "Ngga papa," jawabnya. "Hanya menyadari bahwa kita semua tidak ada, dan yang ada hanya cinta."

Jaka masih agak bingung, tapi tak urung ikut tersenyum. "Cinta yang universal," katanya sambil mengecup rambut Rara. 

"Ya..." balas Rara. "Cinta yang penuh ketulusan, tanpa mengikat dan menuntut balasan. Yang agung, dan yang baru saja kusadari, bahwa selama ini aku salah memaknai cinta," ungkapnya jujur.

"Wah, pinter," Jaka tertawa. Sepertinya, Raranya yang suka cemburu dan melarang-larang sudah menghilang entah ke mana. "Cinta memang universal, tapi kesetiaanku dipersembahkan hanya untukmu. Happy Valentine's Day, adinda," ia mencium kening istrinya.

"Happy Valentine's Day, kanda..." Rara membalas mengecup pipi suaminya. "Ngga ada coklat dan bunga yaa?" tanyanya manja.

"Aku lupa beli," Jaka tertawa lagi. "Ternyata aku ngga seromantis itu, ya? Tapi aku booking satu meja untuk candle light dinner kita nanti malam."

"Oyaa?" Rara memeluk suaminya lagi. "Di mana?"

"Di tempat yang kamu suka itu," Jaka membalas pelukannya. "Yang di atas bukit itu, yang ada lambang hatinya di depan."

Lalu, lagi-lagi Rara bergeming. Tapi bukan karena sirna diri, melainkan karena teringat mimpinya. Sesegera mungkin Rara menguasai dirinya. Ia sudah tidak takut, hanya damai yang luar biasa indah menghinggapi hatinya. Kalau semuanya itu kekosongan, maka ia akan sepenuh rela lenyap ditengah semesta. Kembali menyatu dengan Jaka, dan bahkan dengan segalanya.

********
Happy Valentine's Day <3
Baca lagi kisah kasih mereka di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar