[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka;Tentang Melekat dengan Sang Guru

Senin, 21 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka;Tentang Melekat dengan Sang Guru


Jaka dan Rara sedang berada di bandara, menunggu untuk masuk pesawat yang akan membawa mereka pulang ke kotanya. Keduanya asyik dengan gawainya masing-masing, setelah beberapa hari putus kontak dengan dunia maya akibat tidak ada sinyal di pedalaman tempat mereka menginap. Sibuk membalas chat yang notifikasinya terdengar beruntun.

"Kok banyak banget yang masuk?" tanya Rara pada suaminya. Padahal, ia sendiri punya serentetan notofikasi yang masuk.

"Iya..." jawab Jaka sambil membalas-balas chatting.

Tiba-tiba, seutas cemburu mampir ke hati Rara. Dengan siapa sajakah suaminya itu berbalas kata? Taukah mereka, bahwa yang diajak bicara itu sudah ada yang punya?

"Sini aku liat..." katanya sambil mengambil telepon genggam Jaka. Lalu, ditelitinya baik-baik, mana yang sekiranya mencurigakan.

"Rara..." suara Jaka terdengar pasrah. "Mau liat apa...?"

Kepasrahan itu lalu terbukti --memang tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Serta-merta, Rara mengembalikan gawai suaminya itu sambil menyeringai malu.

"Kali aja ada murid-murid yang jatuh cinta sama kamu..." katanya mengakui kecemburuan. 

Jaka tertawa mendengarnya. "Kisah Sastra Jendra itu memang demikian pula adanya di dunia nyata..." sahutnya ikut mengakui. "Memang ada Sukesi-sukesi yang jatuh cinta pada Wiswaranya."

Hati Rara serta-merta bergemuruh. Suaminya itu kadang-kadang menjelaskan dengan sangat menyebalkan. Jadi makin cemburu ia dibuatnya. 

"Jadi betul ada yang jatuh cinta sama kamu??" tanyanya kesal. Planet-planet yang sedang berada di satu garis lurus beserta bulan purnama yang berbarengan kali ini nampaknya berpengaruh besar pada keadaan emosinya.

"Aku ngga tau," Jaka menjawab jujur -dan menyebalkan- lagi. "Dan ngga mau cari tau," ia berkata begitu sambil meraih istrinya ke dalam pelukan. Sungguh tindakan yang mumpuni, karena jika tidak, Rara mungkin akan mengomel lagi.

"Masa kamu tega sama aku..." rajuk Rara dalam pelukan sang suami.

"Tega gimana?" Jaka terkekeh geli. "Aku sudah pernah jatuh cinta satu kali sama muridku, dan cukup itu saja, ngga mau lagi."

Kaget, Rara refleks mencubit perut Jaka tanpa dilepaskan. "Siapa?" tanyanya galak.

"Aaaw," protes Jaka. "Kok nyubit..." katanya kesakitan.

"Siapa?!" tanya Rara lagi, dengan intonasi yang bisa membuat burung-burung terguling dari sangkarnya.

"Kamu," yang ditanya menjawab cepat. "Ampun, Ra..." Jaka meringis.

"Oooh..." Rara melepaskan cubitan. "Bilang atuh dari tadi," sambungnya sambil terkikik. Dibantuya suaminya itu mengelus-elus bagian yang sakit.

"Memang harus begitu, sih..." Jaka menjelaskan. "Harus ada kepasrahan, sekaligus semangat yang mendalam dari si murid agar pelajarannya terserap dengan sempurna."

Rara jadi kesal lagi mendengarnya. Namun kali ini, perhatiannya ditumpahkan kepada sebatang coklat saja.

"Kedekatan itu, yang kemudian bisa berubah menjadi cinta yang melekat," Jaka meneruskan. "Itu mengapa Rumi ditinggal pergi Gurunya..."

Karena sang istri diam saja, maka Jaka melanjutkan,

"Lalu saat kemelakatan itu hilang, Rumi tumbuh menjadi seseorang yang sangat matang. Jadi pribadi dengan jiwa agung, yang mandiri dan menginspirasi."

Rara masih sibuk dengan coklatnya...

"Itulah kenapa pisang itu mudah dikupas saat sudah masak," Jaka berkata lagi. "Karena getahnya, kemelekatannya, sudah hilang, sudah dapat diatasi."

"Jadi aku ngga usah melekat sama kamu ya? Terus aku gimana dong belajarnya?" Rara merajuk lagi. Disuapinya Jaka segigit coklat.

Setelah mengunyah beberapa kali dan menelan coklatnya, Jaka menjawab, "Oh kamu kan ngga belajar..."

"Oya?" Rara bingung. Jadi selama ini, palajaran-pelajaran itu apa?

"Iya..." suara Jaka berubah menjadi berat digelayuti hasrat. Pandangannya menyapu seluruh tubuh istrinya. "Kita hanya bercinta..." 

Rara tertawa tersipu-sipu. Haduuh, para Guru itu ternyata memang nakal, bagaimana ia tidak khawatir? Tapi dibiarkannya saja pikiran itu. Harapannya tentang kelanggengan mereka berdua sudah dilangitkan, biar semesta yang mengkordinasikan. Lalu dibiarkannya sang Guru memeluknya lagi, dan berdua memandangi rinai hujan yang membasahi semua yang ada di luar jendela sana.

********

Baca lagi kisah kasih mereka yang berisi pelajaran tentang hidup di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar