[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Mengupas

Senin, 28 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Mengupas


Senin pagi ini tidak terlalu sibuk di rumah Jaka dan Rara. Jaka sedang tidak ada tugas ke mana-mana, jadi ia hanya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan via online saja. Sedangkan Rara, jadwal mengajarnya masih nanti sore, jadi ia bisa santai membuatkan sarapan buat mereka berdua, juga membereskan hutang tulisan.

"Mau nambah?" tanya Rara pada suaminya. Karena suaminya itu menggeleng, maka dicucinya piring-piring dan gelas. 

"Mau dibawakan laptop?" Jaka bertanya. Tanpa menunggu jawaban, ia masuk ke kamar, mengambil ipad-nya dan laptop istrinya, dibawanya ke ruang tv agar mereka bisa bekerja sambil duduk-duduk di sana.

Beberapa puluh menit berlalu, diiringi suara gending jawa yang mengalun dengan nada menyemangati sekaligus menentramkan dari ipad Jaka.

"Aku merasa begitu lagi..." Rara tetiba menghentikan ketikannya.

"Hm?" gumam Jaka. "Merasa gimana?"

"Terpisah..." jawab Rara sambil terpana-pana. 

Jaka tersenyum. Dihentikannya juga pekerjaannya, lalu memeluk sang istri dari belakang. "Pada dasarnya kita itu satu, Ra," katanya lembut dari balik telinga. "Semua itu menyatu."

Rara bergeming saja. Menikmati yang baru saja dialaminya itu. Rasanya seperti... kosong. Seperti tidak ada, kecuali sebagai penyaksi. Ya, sebagai penyaksi.

"Itu buah dari laku heningmu, wahai dinda," Jaka meneruskan penjelasannya. "Semakin seseorang berjalan ke dalam dirinya, semakin ia menyadari tubuhnya yang membalut jiwa. Dari sana, rasa terpisah itu hadir. Bahwa tubuh ini bukanlah kita. Tidak juga pikir dan emosi kita."

Masih bergeming, Rara mendengarkan Jaka, sambil masih merasakan kekosongan itu. 

"Kosong yang tidak hampa, begitu bukan rasanya?" tanya Jaka. "Karena kekosongan itu adalah justru sumber dari segala yang ada."

Ya, Rara paham itu, tapi ia masih memilih untuk diam saja.

"Sejak lahir, manusia memang dilengkapi dengan inderawi yang membatasi kita dengan realitas yang tanpa batas," lanjut Jaka. "Inderawi yang membuat kita menciptakan pengalaman-pengalaman yang beragam dan unik, sesuai dengan kehendak bebas dan kreatifitasnya masing-masing."

Tidak ada respon apapun dari Rara, kecuali bibirnya yang semakin membentuk kurva ke atas.

"Pengalaman-pengalaman yang kadang gembira kadang penuh nestapa, berbeda-beda sebagaimana prasangka kita terhadapNya," kata Jaka lagi. "Bumi kita memang tempat yang mumpuni untuk menjalani semua itu..."

Rara mengangguk, lalu mengerjap dan dua butir air mata turun membasahi pipinya. 

"Loh, kok nangis..." Jaka mengusap air mata itu.

"Aku..." Rara tergagap. "Betapa indah rasanya..."

Jaka tersenyum lagi. "Begitu memang semestinya kita," katanya. "Mengupas "kulit bawang", meninggalkan ego selapis demi selapis. Menyingkap hijab dan segala yang menghalangi pandang, hingga terhantar pada realitas yang tanpa batas. Pada kekosongan yang tidak hampa, kembali pada Sang Mahadaya." 

"Tidak ada Illah selain daripadaNya," saksinya tergugu, lalu erat memeluk suaminya. 

Dengan lembut, Jaka memeluk kembali tubuh istrinya yang bergetar menahan keharuan itu. "Ya," ia membenarkan kesaksian itu sambil mengelus punggung Rara dan mengecup rambutnya. "Pada lapis yang terdalam, hanya ada IA. Tiada yang ada selainNya."

********

Baca lagi kisah mereka tentang hidup di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka


1 komentar:

  1. Bagi sebagian orang -seperti abg yg hatinya telah dilapisi b'lapis2 ego dan kotoran- proses mengupas ini rasa'a sedikit bikin nyesek. Hanya kesungguhan hati dan ketulusan yang sllu datang utk mengingatkan dan menguatkan, bhwa suatu saat ketika hati cukup bersih...maka saat2 itu kan menjadi saat2 t'indah dan paling berharga, saat dapat merasakan kehadiran-Nya dan mendengar dgn sangat jernih seluruh petunjuk-Nya...

    BalasHapus