[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Keselarasan

Minggu, 20 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Keselarasan


Hari ini adalah hari terakhir Jaka dan Rara tinggal di sebuah rumah mungil di lembah bertelaga dan berair terjun, nun jauh di pedalaman pulau seberang. Berada di sana sungguh sebuah ujian bagi keduanya yang technology savvy -orang-orang yang banyak melakukan pekerjaannya mengunakan gawai. Namun demikian, beberapa hari yang dihabiskan tanpa sinyal adalah sebuah pengalaman indah yang tak terlupakan.

"Apa kita betul-betul harus pulang hari ini..." Rara merajuk. Dengan ogah-ogahan, ia mengepak barang-barangnya.

Jaka tersenyum. Istrinya itu tadinya berangkat dengan setengah hati saja, tapi langsung jatuh cinta dengan tempat ini saat pertama melihatnya. Sekarang malah tidak mau pulang...

"Dua hari lagi, yaa..." Rara berusaha membujuk sang suami. "Aku masih mau yoga dan berenang di telaga..."

Lagi-lagi Jaka tersenyum. Entah apa yang pernah terjadi di tempat ini jauh sebelumnya, karena rasanya mereka berdua memang terikat sekali di sini. Nanti ia akan coba terawang-terawang, tapi sekarang ia harus menggeleng, menunjukkan ketidaksetujuan.

"Maaf ya sayang, tapi sudah waktunya pulang..." katanya realistis. "Kerjaanku sudah beres, dan yang lain masih menunggu untuk diselesaikan di rumah."

"Ya kamu bilang aja sama kliennya, ada beberapa hal kecil yang masih harus dikerjain di sini," keras kepala ala Rara kumat, ngeyel. "Nanti kita main-main lagi di telaga..." sambungnya dengan mata menggoda.

"Aaargh!" keluh Jaka sambil mengernyit. Dalam sepersekian detik saja, fantasi menguasai otaknya, lalu menjalar, memberi sinyal kepada organ-organ lainnya untuk 'siaga'. "Main-main gimana...?" tanyanya balik menggoda. Dibawanya sang istri mendekat dinding.

"Ya gitu deh..." Rara berkata dengan suara seakan minta diterkam. Yes, dia berhasil meyakinkan suaminya. Jari telunjuknya bergerak menjelujuri hidung Jaka, turun ke bibirnya, ke dagunya, ke lehernya, ke dadanya...

Nyaris saja Jaka mengikuti ajakan Rara, jika tidak ada seekor burung Gereja yang tetiba bercicit di jendela kamar mereka. Hinggap untuk sekadar mengingatkan, lalu kembali terbang.

Serta merta, sang suami itu terdiam sesaat untuk mengembalikan kesadarannya yang hampir hilang. Memejamkan mata dan menarik napas, lalu berkata lembut sekaligus tegas, "Tapi pembelajaran kita di sini sudah selesai, dinda..."

Ia menarik napas lagi dalam-dalam, agar seluruh tubuhnya -terutama yang bagian bawah- turut mendukung keputusannya tersebut. "Perannya sudah selesai --tempat ini, maksudku," lanjutnya. "Tugasnya terhadap kita dan sebaliknya, sudah purna. Sudah cukup. Tidak ada keselarasan yang bisa dipaksakan."  

Rara terkesiap. Kalimat itu menyergap egonya, menundukkannya untuk kembali berkesadaran. "Ya..." akhirnya ia berkata pasrah. "Tidak ada keselarasan yang bisa dipaksakan."

"Jadi, berterima kasih saja atas perannya, ya?" Jaka menjawil dagu Rara. 

"Ya..." Rara menjawab lirih. 

"Ngga iya kalo aku belum dicium..." Jaka mencoba mengembalikan mood sang istri. 

"Ngga cuma cium deh..." Rara menarik tangan suaminya dengan tiba-tiba. "Masih ada waktu, dan kita bisa main-main lagi di telaga dulu, yuk!"

Kali ini, Jaka menyerah dengan sepenuh rela. Tubuhnya bereaksi lagi sesuai fantasi. Jadi, diikutinya Rara pergi ke telaga untuk bermain-main berdua saja di sana...

********
Baca lagi kisah mereka berdua tentang kehidupan di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka


1 komentar:

  1. Jadi pengen liburan juga nih berdua aja sama suami kayak jaka dan rara 😂 hahahaha

    Haduuuh bikin baper aja, untung punya suami. Hihihi

    BalasHapus