[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Dakshina

Sabtu, 26 Januari 2019

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Dakshina


Jaka dan Rara tidak pergi ke mana-mana di akhir minggu ini. Rara sedang tidak enak badan, tubuhnya mengalami demam karena kemarin kehujanan. Jaka juga kehujanan, tapi nampaknya sistem imunnya lebih tinggi daripada istrinya. 

"Maaf yaa, jadi merepotkan," Rara berkata lemah. Kepalanya pusing, dan suaranya mulia serak.

"Ngga merepotkan, kok," Jaka tersenyum. Disekanya dahi Rara dengan handuk kecil yang hangat, agar panasnya turun.

"Tapi kan hari ini kamu ada kerjaan..." Rara berkata lagi. Sungguh ia merasa tidak enak sudah menyusahkan sang suami.

"Ngga apa-apa, aku sudah reschedule, kok," Jaka menjawab sambil meletakkan handuk kecilnya. Ia lalu memegangi dada istrinya, ikut menyalurkan energi alam ke tubuh Rara.

Seketika, rasa hangat yang berbeda dari hangat badannya menyelimuti Rara. "Kamu pilih kasih, ih..." Rara tertawa lirih.

"Pilih kasih gimana?" tanya Jaka. "Kerasa hangat, ngga?"

Yang ditanya menggangguk. "Pilih kasih... Soalnya milih jagain aku daripada nyamperin murid," Rara bergumam. Rasanya nyaman sekali, apapun itu yang sedang mengalir di tubuhnya. Tidak hanya hangat, tapi juga sedikit mengelitik.

"Cuma berdasar skala prioritas saja..." Jaka membela diri. Tapi biar bagaimanapun, pilihannya akan dijatuhkan pada sang istri dibandingkan dengan yang lain --kecuali darurat.

"Owh.. manisnya.." tangan Rara meraih leher Jaka, memeluknya.

"Kadang, Guru juga harus memilih sih..." Jaka mengakui pendiskriminasiannya. 

"Maksudnya?" tanya Rara. 

Jaka menyelesaikan sesi terapi Reikinya, lalu berbaring di samping Rara. 

"Kamu tau cerita Arjuna dan kehebatan memanahnya?" Jaka membelai rambut Rara.

Rara mengangguk.

"Tau ngga, kalau ada yang lebih hebat daripada Arjuna?

Rara menggeleng.

"Alkisah, Dronacarya adalah seorang Guru yang sakti di kerajaan Hastinapura," sang suami memulai cerita. "Ada satu ilmu yang dikuasainya, bernama Danurwenda, yang hanya akan diajarkan pada kakak-adik Pandawa dan para Kuru saja."

Rara anteng mendengarkan Jaka. Panas badannya perlahan turun.

"Suatu hari, ada seseorang dari kaum Nisada, atau pemburu, bernama Ekalaya, yang mendatanginya untuk memohon menjadi murid. Guru Drona menolaknya, karena ilmunya hanya untuk keluarga kerajaan saja," Jaka meneruskan sambil sesekali memegangi dahi Rara.

"Tapi penolakan itu tidak membuat Ekalaya patah arang. Ia lalu kembali ke hutan, memahat patung Drona yang sangat diidolakannya itu, dan mulai berlatih memanah di depan sang patung. Tak disangka, Ekalaya menjadi sangat mahir dalam memanah, bahkan melebihi kemampuan Arjuna dan Karna," Jaka melirik istrinya. Siapa tau tertidur.

"Lalu?" tanya Rara yang ternyata tidak tidur dan suka dengan ceritanya. 

"Lalu ketahuan..." Jaka memegang dari Rara lagi. Lumayan, panasnya sudah turun. 

"Ketahuan dari mana? Sama siapa? Kalo ketahuan memangnya kenapa?" tanya Rara beruntun.

Jaka tertawa. Kalau istrinya sudah cerewet begini artinya sudah mau sembuh.

"Sebuah ilmu itu memiliki ciri yang unik, sayang," jawabnya. "Ekalaya memanah hewan dengan banyak anak panah dalam satu kali tembakan, khas Danurwenda yang hanya dikuasai Drona. Membuat sang Guru itu kalang kabut mencari gerangan pemanahnya."

"Ah..." sahut Rara terkejut. Suaranya yang serak manja membangkitkan gairah Jaka.

"Di sinilah, terlihat bahwa seorang Guru yang sakti sekalipun bisa saja dikuasai ego. Ia tidak rela anak asuh kesayangannya, Arjuna, gagal menjadi pemanah terhebat di muka bumi," Jaka lalu mengecup rambut Rara. "Seperti aku lebih memilih di sini untuk menemanimu..."

"Owh..." sang istri itu memeluk suaminya lagi. 

Jaka nyengir saja, gombalannya berhasil membuatnya dipeluk lagi.

"Mau tau ngga, apa yang dilakukan Guru Drona untuk membuat Ekalaya kalah dari Arjuna?" tanya Jaka sambil juga memeluk Rara. "Ia meminta sebuah Dakhsina, semacam pemberian khusus dari murid kepada Guru, yaitu ibu jari kanan Ekalaya."

"Aah," Rara menutupi mulutnya, menjerit. 

Jaka mempererat pelukannya, "Ya bagaimana lagi? Itu cara satu-satunya untuk memastikan kemenangan Arjuna," katanya sambil memastikan kesembuhan istrinya. Dirasakannya tubuh Rara, yang bukan dengan panca indera.

"Jahat..." kata Rara berapi-api.

"Sudahlah, memang harus ada peran-peran seperti itu supaya dunia seimbang," sahut Jaka segera. Dari sikap Rara dan berdasar penelusurannya, Jaka tau istrinya sudah lumayan segar sekarang. "Ngomong-ngomong, kamu belum memberikan Dakshina ke aku..."

Rara terkiki geli, "Kamu mau upeti apa memangnya..." tanyanya sambil memainkan jarinya di dada Jaka, menggodanya...

********

Baca kisah Rara dan Jaka lainnya di: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar