[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Feminin dan Maskulin

Minggu, 16 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Feminin dan Maskulin


Sejoli Jaka dan Rara masih bermalam mingguan di jalan Braga, salah satu tempat paling bersejarah dan asyik di Bandung. Mereka masih berusaha menghabiskan isi cangkir kopinya, sambil menyaksikan keramaian khas kota kembang yang perpaduan antara lucu dan seru.

"Jadi benar, bahwa laki-laki itu sulit sekali menyatakan rasa?" Rara menyisip cangkirnya.

Jaka sedang menyalakan batang rokok keduanya, jadi ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Jadi, bagaimana mengekspresikannya? Katamu, jiwa tidak bergender, dan memiliki kedua kualitas dengan setara -maskulin dan feminin," Rara mencecarnya.

"Dengan tindakan," Jaka menjawab santai. Ia mengisap rokok dan mengepulkan asapnya lagi dengan nikmat.

Rara mengangguk. Teringat suaminya yang tiba-tiba suka memberi bunga, walau pesan-pesan wa darinya suka diabaikan -biasanya yang dianggap tidak penting. Kakandanya itu juga sering membelainya, memeluk, mengecupnya tanpa berkata-kata.

"Tapi, tindakan juga harus berdasar rasa..." Jaka menambahkan. "Kalau tidak, kacau jadinya."

Rara sedang memilih-milih kue lagi di buku menu jadi ia bertanya asal saja, "Maksudnya?"

"Ya, lihat saja sendiri sekarang ini," jawab yang ditanya. "Zaman sudah sedemikian canggihnya, hingga kita cenderung mengabaikan rasa. Peralatan sangat canggih, sampai keputusan-keputusan harus berdasar nalar dan didominasi logika. Begitu bukan?"

Rara mengangguk membenarkan. Ia lalu memesankan sebuah camilan lagi untuk menemani obrolan mereka.

"Kita sudah lupa caranya berkomunikasi dengan alam..." tambah Jaka. "Sampai tidak mengindahkan kebutuhannya untuk dijaga, mendengarkan pesannya untuk mengambil manfaat secukupnya."

Rara tercenung, ingat betapa rakusnya manusia-manusia zaman sekarang. Pengeboran minyak yang sangat eksploitatif di sebuah tanah di Jawa hingga melukai perut bumi, penebangan pohon liar di hutan Sumatera yang sebetulnya ditugaskan menjadi paru-paru dunia, dan sebagainya. Tanpa sadar, setitik air mata jatuh di pipinya.

"Wah... jangan nangis, dong," suaminya menghapus air mata itu. "Maksudku hanya untuk mengingatkan saja, bahwa semesta bekerja berdasar rasa."

Rara menyisip kopinya lagi agar tidak kembali menangisi ibu bumi.

"Manusia tentu saja dibekali otak untuk berpikir. Logika membuatnya bertahan hidup di dunia. Tapi tidak dengan melupakan rasa," Jaka menjelaskan lagi. "Karena rasalah yang membuat kehidupan ada, dan keduanya harus berjalan beriringan demi keseimbangan."

"Tanpa logika, rasa tidak eksis, dan tanpa rasa, logika tidak ekpresif. Begitu?" Rara mencoba menyimpulkan.

Jaka tersenyum mendengarnya. "Ya, seperti Dewa Siwa yang tak berdaya tanpa Dewi Shakti. Ia adalah kesadaran abadi untuk mentransformasi, dan sang istri menyelaraskannya dengan kedinamisannya memperbaiki, menyatukan."

"Begitu juga dengan kualitas maskulin dan feminin," Rara menyimpulkan lagi. "Yang satu bertindak sesuai nalar, dan yang lain bergerak menurut rasa. Dan keduanya seiring sejalan, saling melengkapi demi keutuhan."

"Nah, pintarnya istriku ini..." puji Jaka. "Yuk ah pulang, supaya kita bisa saling melengkapi dan menjadi satu..."

"Tunggu kuenya datang dulu yaa," jawab Rara tertawa. Ia kenal betul suara yang dalam dan serak itu. Suara yang bergerak berdasar hasrat...

********

Baca lagi tentang Jaka dan Rara di sini yuk: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar