[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pilihan

Rabu, 12 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Pilihan


Jaka dan Rara sedang berada di kereta, dalam perjalanan mereka pulang, sehabis berpelesiran. Saat itu menjelang subuh, pemandangan di luar sudah tidak kelihatan. Rara sudah selesai membereskan selimutnya, sebentar lagi sampai tujuan. Jaka juga sudah bangun, ia sedang menggeliat membebaskan kekakuan.

"Pagi, sayang..." ia mengedipkan sebelah mata ke Rara. Dikecupnya kekasih hati itu dengan lembut.

Rara membalas kecupannya dan segera berbenah barang bawaan.

Jaka menguap, lalu memeriksa telepon genggamnya. Sungguh orang jamanow, mau tidur lihat hape, baru bangun ngecek hape.

"Wah, udah diminta jalan lagi," katanya, kemudian sibuk membalas pesan-pesan.

"Ke mana?" tanya Rara. Ia juga sibuk. Sibuk membuatkan segelas teh hangat dengan air dari termosnya sendiri. "Ini," katanya pada Jaka.

Jaka menerima teh itu dan menyisipnya dengan nikmat. "Pekanbaru. Tapi ngga dulu, deh. Minggu depan aja," jawabnya.

Rara ingat, kerjaan di Pekanbaru sangat penting bagi sang suami, jadi ia bertanya lagi, "Are you sure?"

Jaka meletakkan ponselnya dan mengangguk tersenyum.

"Kalo soal gitu-gitu, kamu "nanya" ngga sih?" Rara memastikan.

"Tentunya. Apalagi soal-soal penting begini," Jaka tersenyum lagi.

"Apa ada pilihannya?" kali ini Rara yang menyisip tehnya.

"Ya atau tidak aja," jawab Jaka.

"Kalau jawabannya "ya", terus kamu milih "tidak", salah ngga?" tanya Rara penasaran. Ia belum terlalu sering bertanya pada hatinya, masih suka berbuat sesuai kehendak bebasnya sendiri.

"Ngga ada yang salah ataupun benar," Jaka menjelaskan. "Yang ada hanya konsekuensi yang timbul setelahnya."

Rara menggangguk. "Tidak berdosa ataupun berpahala?"

"Ah, siapa kita untuk menilai itu?" Jaka membalikkan pertanyaannya. "Apa setelah ini kamu mau bertanya lagi, apakah aku masuk neraka karena tidak jadi ke Pekanbaru?"

Rara tergelak. Ya, apalah kapasitasnya, untuk berkata soal pahala dan dosa, juga surga dan neraka.

Jaka ikut tertawa. "Mari, alami saja hidup sesadarnya. Toh dengan sadar, tau sendiri mana yang nyaman dan tidak nyaman bagi diri sendiri, bukan?"

"Ya, dan kalau dihadapkan pada pilihan, pilihlah yang paling menyamankan. Karena yang paling nyaman itu konsekuensinya paling mudah diterima," sambung Rara.

"Wah... pintar!" Jaka menjawil hidung kekasihnya. "Nah, pilihan yang paling nyaman itu adalah yang sesuai dengan..."

"Yayaya..." Rara tertawa lagi. Jaka pintar sekali menggiring opini. "Yang sesuai kata hati."

Lalu dua sejoli itu berpelukan lagi sambil menunggu keretanya mengantarkan mereka ke stasiun tujuan...

Baca kisah lain tentang merek di sini: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar