[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Makhluk Cahaya

Rabu, 12 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Makhluk Cahaya


Jaka dan Rara masih berwisata di daerah Jawa tengah. Borobudur dan Prambanan sudah mereka sambangi, dan kali ini, mereka sedang berada di Candi Ratu Boko, Sleman, Yogyakarta.

"Indahnyaa..." Rara berdiam diri sejenak untuk memanjakan mata dan paru-parunya, sesampainya di atas. Dari tempatnya berdiri, ia mungkin sudah berada di sekitar 200 meter di atas permukaan laut.

Jaka mengikuti. Ia berdiri di samping sang istri, untuk turut mengambil napas panjang dan dalam. Situs warisan Nusantara yang satu itu memang tinggi, dan karenanya sejuk sekali udaranya.

"Kalau candi yang satu ini, kamu tau juga ngga, sejarahnya?" Jaka bertanya. Sejak kemarin, Rara sudah memperlihatkan pengetahuannya yang lumayan tentang candi-candi yang mereka kunjungi.

"Sebenarnya, situs ini bisa jadi bukan sebuah candi, tapi kompleks kerajaan Mataram Kuno," jawab sang istri. "Ada beberapa reruntuhan bangunan yang dapat dijadikan bukti bahwa di sini dulunya adalah pusat kerajaan."

"Oya?" Jaka bertanya lagi. "Setauku, ini dulunya Wihara..."

"Ada prasasti yang menyebut demikian," Rara menjelaskan. "Konon, Raja Panangkaran memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Raja, dan hijrah ke sini untuk membangun Wihara, sebagai tempatnya untuk berhening diri dan meningkatkan spiritualitas."

Jaka nyengir, memperhatikan kekasih hatinya yang ternyata tau banyak.

"Namanya Abhyagiri Wihara, yang kalau diartikan ke bahasa Indonesia kira-kira bermakna “biara di bukit yang bebas dari bahaya," sambung Rara.

"Uwaw... hebatnya istriku..." puji sang suami.

Rara acuh tak acuh saja, dan kembali mengintip-intip pemandangan melalui lensa DSLRnya. "Wong aku baca dulu di wikipedia, sebelum ke sini, hihi..."

"Ealah..." Jaka tertawa. "Tapi hebat ya, mereka..."

"Siapa?" tanya Rara, sambil sibuk mendokumentasikan keindahan alam di sana.

"Para makhluk cahaya..." Jaka memandang menerawang. "Yang menyudikan diri untuk kembali ke bumi, dan menempati tubuh fisik yang penuh suka duka ini, demi mengalami..."

Rara menghentikan kegiatannya. Ditatapnya kekasih hatinya dengan bingung, meminta penjelasan lebih.

"Kata Einstein, kalau makhluk bergerak dalam kecepatan cahaya, waktu akan terhenti," Jaka menjelaskan, sekaligus menambah bingung. "Kamu ingat kan, yang di film Lucy itu?"

Istrinya mengangguk.

"Nah, bagaimana kalau ternyata kita juga makhluk cahaya? Yang menurunkan getaran sehingga, seolah, merasakan waktu, dan mengalami kehidupan?" lanjut sang suami.

"Untuk apa?" Rara masih belum mengerti. Why would they, or we -if we really are part of the light- do such thing?

"Ya untuk sekadar mengalami..." Jaka mengulangi perkataannya sendiri tadi. "Mengalami setiap momen kehidupan, mengatasi segala ego, dan belajar kembali menyatu dengan Sang Maha Cahaya."

"But, why? What's the point?" Rara juga mengulangi pertanyaannya lagi.

"Karena menjadi manusia, berada dalam pengalaman tubuh fisik ini, adalah yang paling menantang," sahut Jaka tersenyum, menikmati kebingungan sang istri.

Ah, Ra, andai saja kamu tau, betapa indahnya yang ada di hadapanku ini. Wajahmu, cantikmu, bahkan bingungmu... indah! Bagaimana tidak ingin mengalami kehidupan ini, memiliki fisik ini, jika semuanya begitu indah?Tentang Makhluk Cahaya

Jaka dan Rara masih berwisata di daerah Jawa tengah. Borobudur dan Prambanan sudah mereka sambangi, dan kali ini, mereka sedang berada di Candi Ratu Boko, Sleman, Yogyakarta.

"Indahnyaa..." Rara berdiam diri sejenak untuk memanjakan mata dan paru-parunya, sesampainya di atas. Dari tempatnya berdiri, ia mungkin sudah berada di sekitar 200 meter di atas permukaan laut.

Jaka mengikuti. Ia berdiri di samping sang istri, untuk turut mengambil napas panjang dan dalam. Situs warisan Nusantara yang satu itu memang tinggi, dan karenanya sejuk sekali udaranya.

"Kalau candi yang satu ini, kamu tau juga ngga, sejarahnya?" Jaka bertanya. Sejak kemarin, Rara sudah memperlihatkan pengetahuannya yang lumayan tentang candi-candi yang mereka kunjungi.

"Sebenarnya, situs ini bisa jadi bukan sebuah candi, tapi kompleks kerajaan Mataram Kuno," jawab sang istri. "Ada beberapa reruntuhan bangunan yang dapat dijadikan bukti bahwa di sini dulunya adalah pusat kerajaan."

"Oya?" Jaka bertanya lagi. "Setauku, ini dulunya Wihara..."

"Ada prasasti yang menyebut demikian," Rara menjelaskan. "Konon, Raja Panangkaran memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Raja, dan hijrah ke sini untuk membangun Wihara, sebagai tempatnya untuk berhening diri dan meningkatkan spiritualitas."

Jaka nyengir, memperhatikan kekasih hatinya yang ternyata tau banyak.

"Namanya Abhyagiri Wihara, yang kalau diartikan ke bahasa Indonesia kira-kira bermakna “biara di bukit yang bebas dari bahaya," sambung Rara.

"Uwaw... hebatnya istriku..." puji sang suami.

Rara acuh tak acuh saja, dan kembali mengintip-intip pemandangan melalui lensa DSLRnya. "Wong aku baca dulu di wikipedia, sebelum ke sini, hihi..."

"Ealah..." Jaka tertawa. "Tapi hebat ya, mereka..."

"Siapa?" tanya Rara, sambil sibuk mendokumentasikan keindahan alam di sana.

"Para makhluk cahaya..." Jaka memandang menerawang. "Yang menyudikan diri untuk kembali ke bumi, dan menempati tubuh fisik yang penuh suka duka ini, demi mengalami..."

Rara menghentikan kegiatannya. Ditatapnya kekasih hatinya dengan bingung, meminta penjelasan lebih.

"Kata Einstein, kalau makhluk bergerak dalam kecepatan cahaya, waktu akan terhenti," Jaka menjelaskan, sekaligus menambah bingung. "Kamu ingat kan, yang di film Lucy itu?"

Istrinya mengangguk.

"Nah, bagaimana kalau ternyata kita juga makhluk cahaya? Yang menurunkan getaran sehingga, seolah, merasakan waktu, dan mengalami kehidupan?" lanjut sang suami.

"Untuk apa?" Rara masih belum mengerti. Why would they, or we -if we really are part of the light- do such thing?

"Ya untuk sekadar mengalami..." Jaka mengulangi perkataannya sendiri tadi. "Mengalami setiap momen kehidupan, mengatasi segala ego, dan belajar kembali menyatu dengan Sang Maha Cahaya."

"But, why? What's the point?" Rara juga mengulangi pertanyaannya lagi.

"Karena menjadi manusia, berada dalam pengalaman tubuh fisik ini, adalah yang paling menantang," sahut Jaka tersenyum, menikmati kebingungan sang istri.

Ah, Ra, andai saja kamu tau, betapa indahnya yang ada di hadapanku ini. Wajahmu, cantikmu, bahkan bingungmu... indah! Bagaimana tidak ingin mengalami kehidupan ini, memiliki fisik ini, jika semuanya begitu indah?

********

Kisah berikutnya ada di sini yaa: Kumpulan Fiksi Rara & jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar