[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kebangkitan

Jumat, 21 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Kebangkitan


Siang ini udara panas, sekaligus lembap. Mungkin para Mega sedang menahan diri melimpahkan air -menunggu sang Surya memberi kode untuk dihalangi sinarnya, walaupun bebannya sudah berat. Jaka dan Rara menyejukkan dirin di teras depan, sambil minum jus campuran buatan sendiri.

"Wedaran kemarin bareng mas Guru, pesertanya tambah banyak," Rara melaporkan tentang kajian yang sering diikutinya.

"Oya?" Jaka menyeruput jusnya, mendinginkan tenggorokan. "Aku belum sempat ikutan..."

"Kamunya sibuk terus..." protes Rara acuh tak acuh. Suaminya itu sering sekali bertugas di luar kota dan pulau, membuatnya terkadang harus ikutan ini dan itunya sendiri.

Jaka tersenyum dan segera memeluk sang istri -daripada diprotes lagi. "Nah, sadarkah, bahwa mas Gurumu itu magnetnya begitu kuat?" tanyanya.

"Iya," Rara membenarkan. Teringat ia akan wedaran-wedaran yang khidmat, sesi-sesi hening yang khusyuk... suwung!

Begitu dekatnya Gurunya itu dengan sang Maha, begitu terhubungnya ia dengan sang Guru Sejati, hingga energinya begitu meluap -lekat tertangkap oleh sesiapun yang berada di sekitarnya. Energi yang di luar nalar, tak terdeteksi oleh sekadar inderawi.

Sampai kadang Rara merasa gamang sendiri, itukah yang namanya Cinta yang sesungguhnya -tanpa cemburu dan hasrat, tanpa memiliki pun dimiliki. "Tamaso ma jayatir ganaya," gumamnya, membuat Jaka terkejut.

"Widiiih..." sahut sang suami dengan takjub.

Rara nyengir. Memang begitu rasanya. Memang ia seakan dituntun menuju tahapan baru perjalanan jiwa, Membuatnya seolah berjalan dari yang gelap ke arah yang terang, bertransformasi dari ketidaktahuan menjadi kesadaran. Tapi, benarkah itu hanya seakan atau seolah? Atau demikian adanya?

"Aku berubah ngga?" tanyanya.

"Iya... jadi Gaban," Jaka kumat jahilnya.

"Aaah..." rajuk Rara, lalu mencubit perut kakandanya.

"Yang begitu kan ngga usah ditanya, Ra," kali ini Jaka serius menjawab. "Rasakan sendiri saja..."

Rara mengangguk-angguk dalam renungan, mencoba merasa-rasa sendiri sesuatu yang indah, yang memang tidak terdeskripsikan.

"Rasakan juga," sambung Jaka, "betapa bumi Nusantara semakin bangkit dari tidurnya."

Rara mengangguk lagi, menyetujui pendapat sang suami. Ia bisa merasakannya. Merasakan Nusantara bangkit. Kembali pada keluhuran budi dan kearifan lokalnya yang sudah turun temurun ada...

********

Baca lagi tentang Rara & Jaka di sini: Kumpulan Fiksi Rara & Jaka

2 komentar:

  1. Seakan dituntun menuju tahapan perjalanan jiwa. Seakan atau memang demikian adanya?
    Ini jadi pertanyaan kita semua, pun bagi yang membaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan dirasakan sendiri, seakan atau memang demikian :)

      Hapus