[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Dialog Dengan Semesta

Senin, 03 Desember 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Dialog Dengan Semesta


Jaka dan Rara sedang berada di bandara, hendak kembali ke kotanya, setelah menyelesaikan sebuah pekerjaan di luar pulau. Mereka sudah melakukan check-in, dan saat ini tinggal menunggu saja di ruang boarding.

"Duh..." Rara mengeluh sambil melongok-longok ke dalam tasnya.

"Kenapa?" tanya Jaka. Ia sendiri sudah asyik dengan mainan daringnya.

"Harusnya tadi aku pembalut, euy..." Rara merogoh-rogoh tasnya lagi. "I should have listened to it, tsk!" ia mendumel.

"Listen to what?" sang suami acuh tak acuh. Sudah sering kali ia mengalami ini. Mengalami Rara yang mengomeli dirinya sendiri.

"Anterin yuuk..." sang istri merengek. "Udah ngga enak banget nih... Kirain aku punya sisa satu, ternyata enggak..."

"Hhh..." Jaka menghela napas. "Lain kali, kalau suara itu muncul, turuti ya,' katanya tegas.

Rara mengkerut dalam bangkunya. Ia yang biasanya mendominasi pembicaraan. Malah kadang omongannya "harus" dianggap benar, tak terbantahkan -namanya juga perempuan. Sedangkan Jaka nyaris tidak pernah marah. Ia bahkan hampir selalu tersenyum. Jadi kalau sudah bicara tegas begitu, Rara jadi takut...

Jaka tersenyum lagi. Tidak pernah bermaksud ia, memarahi kekasih hatinya tercinta. Digandengnya Rara menuju mini market di luar ruangan boarding.

"Suara itu bernama intuisi, Ra..." ia memulai wejangannya. "Suaranya hati kecil. Kamu tau, kan, hati itu semacam kuil suci tempat segala jawaban dihadirkanNya untuk kita?"

Rara hanya mengangguk. Dibiarkannya sang suami menggenggam tangannya, menuntunnya.

"Bahan dari semesta itu energi. Semua benda adalah energi yang mampat. Manusia, tumbuhan, hewan sampai amoeba, adalah energi. Dan kita ada di lautan energi, seperti ikan yang ada di lautan air. Makanya kita saling terhubung satu dengan yang lain. Bisa saling tau, saling memberi jawaban," Jaka meneruskan.

Rara mengangguk lagi. Kadang-kadang, ia merasa sudah tau beragam hal yang dikatakan kekasih hatinya, tapi sekadar tau bukanlah paham. Kadang-kadang juga, pemahaman datangnya lambat...

"Dan energi paling murni bentuknya adalah rasa murni atau rasa sejati," jelas Jaka lagi, sambil tersenyum memperhatikan sang istri. "Dengan sering berdialog dengan semesta, maka kita semakin terasah untuk mendengarkan intuisi."

Dahi Rara mengerut. "Berdialog dengan semesta, intuisi terasah?"

"Kalau belum biasa berdialog, cukup lakukan saja tindakan yang paling nyaman buat kita," sang suami menjawab. "Tindakan yang nyaman adalah yang bukan berdasar rasa takut, malu, khawatir, dan berbagai emosi negatif lainnya."

Rara mulai paham. "Misalnya seperti apa?"

"Seperti yang tadi kamu bilang..." Jaka mengelus rambut Rara. "Tadi kamu bilang ada yang bicara kepadamu, bukan? Untuk membeli pembalut sebelum masuk ke ruang boarding, I assume?"

"Yes.. How do you know?" Rara terkejut. "Memang seperti ada yang mengingatkanku untuk membeli pembalut dulu saat kita melewati mini market."

"Dan kamu mengabaikannya, betul begitu?" Jaka tersenyum lagi. Semoga kali ini Rara sadar.

Dan sang istri itu memang sadar. "Oooh, itukah yang namanya berdialog dengan semesta?"

"Itu kata hati, intuisi," kekasih hatinya menjawab. "Berdialog dengan semesta, ya dengan mendengarkan hati kecilmu bicara, dan turuti ajakannya. Bertanya juga boleh, walau kadang Ia lebih duluan tau ketimbang kita."

Rara benar-benar paham sekarang. "Pantas saja, aku merasa risih, tidak nyaman saat mengabaikannya tadi. Logikaku menolak, karena seingatku masih ada cadangan pembalut di tas."

"Logika memang selalu menantang hati. Tugasnya memang meragukan, mengkritik. Tapi jika selalu menuruti kata hati, there is nothing can go wrong," Jaka mengecup kepala kekasihnya.

Rara memejamkan mata, menikmatinya, sambil memahami nasihat suaminya dengan seluruh kesadarannya. Yup, lain kali, ia akan lebih banyak berdialog dengan semesta.

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar