[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ibu Bumi

Jumat, 30 November 2018

Fiksi Rara & Jaka; Tentang Ibu Bumi


Jaka dan Rara masih berada di luar pulau. Jaka sedang mendapat panggilan kerjaan di sana, dan Rara menemani. Mereka menginap di sebuah tempat di tepi pantai, tapi sore itu, keduanya sedang berkendara di kaki bukit, setelah berbagai urusan diselesaikan Jaka bersama kliennya. Tidak sampai sepuluh menit setelah berpamitan, sesuatu terjadi pada mobil sewaan mereka. Bannya bocor.

"Wah, kayaknya harus nunggu tukang tambal ban, nih," lapor Jaka setelah memeriksa keadaan. Memang tidak mungkin lagi berkendara menuruni gunung dengan ban yang kempesnya sampai menempel pada velgnya.

"Tukang tambalnya di mana?" Rara memanjangkan leher. Tidak ada sesiapapun di bukit itu, kecuali mereka berdua, dan rumah si klien yang berada nun jauh di atas.

"Ya di bawah..." Jaka mengambil telepon genggamnya. "Aku telepon Bliman dulu, bisa ngga ya, dia ke sini bawa ban serep..."

"Oh iya, ban serep!" Rara teringat sesuatu yang biasanya tidak pernah ada dalam kepalanya. "Mobil ini ngga punya ban serep?"

Jaka menggeleng, kemudian sibuk berbicara pada teleponnya.

"Bliman mau nyusul ke sini." katanya dua menit kemudian. Diambilnya kedua tangan Rara untuk dikecup. "Ngga papa ya sayang, ceritanya harus begini, ya dijalani aja."

Rara tersenyum. Bersama Jaka, hampir tidak ada yang perlu dikeluhkan. Dalam setiap situasi, sang suami itu pasti punya jawaban yang menenangkan.

Jaka lalu menggandeng Rara menuju sebuah gubuk tua di tepi jalan, tak jauh dari mobil mereka. Gubuk itu pas berada di bawah sebuah pohon rindang. Tidak menyeramkan, walau berpenerangan satu bohlam kuning saja di terasnya. Jaka mencoba mengetuk dan memberi salam. Tidak ada tanggapan.

"Ya sudah, kita istirahat di sini saja sambil menunggu," katanya kemudian, sambil mengusir debu pada sebuah dipan. Gubuk itu kecil, tapi berandanya cukup luas dengan sebuah dipan bambu yang nampaknya nyaman buat diduduki.

"Indahnya..." Rara melayangkan pandang. Namanya juga di kaki bukit, dataran yang berada di bawahnya jadi terlihat semua. Luas, dan mengesankan. Kelap-kelip lampu mulai terlihat, senja memang sudah mulai berganti malam.

Jaka tersenyum setuju. "Kamu tau, Ra, bahwa ibu Bumi sedang bersusah hati?" tanya Jaka seraya mengambil sang istri ke pelukan.

"Ya, kamu kan udah cerita.." Rara membuat dirinya nyaman dalam pelukan. Angin malam mulai datang, ia tidak ingin kedinginan.

"Di kota, para pekerja kantoran harus mampu membiayai sendiri lahan bekerjanya," Jaka melanjutkan. "Pegawai biasa dengan gaji cukupan saja, hanya mampu "membayar" sebuah kubikel kecil di kantornya bekerja. Para Direktur mampu bayar lebih, makanya ruangannya luas."

Rara mengangguk saja.

"Lalu kita... Apa yang bisa kita bayar kepada ibu bumi, karena sudah menempatinya selama ini? tanya sang suami.

Rara diam, walau hatinya jadi bergetar.

"Sang ibu, seperti halnya ibu-ibu lain memang tidak meminta bayaran. Tugasnya hanya memberi, tanpa mengharap kembali," lanjut Jaka. "Tapi bukan berarti kita bisa berlaku seenaknya terhadapnya..."

Rara mulai berkaca-kaca. Ia memang mudah sekali tersentuh. "Misalnya gimana?" tanya Rara.

"Misalnya menyampah dengan pikiran kita, yang menjadi energi negatif menyelimuti bumi. Bagi sebagian yang peka, berada di muka bumi rasanya seperti berdekatan dengan cewek yang sedang PMS..." Jaka memberi kiasan.

Rara terkejut. Tau benar ia bagaimana rasanya sedang PMS. "Oya?"

"Ya," Jaka nyengir. "Makanya yang rajin tersenyum ya, supaya energi yang dipancarkan indah."

"Kalau tersenyum pada ibu Bumi, bisa?" sang istri bertanya.

"Ya, tersenyumlah padanya. Sapa ia setiap pagi, kirimkan energi kasih padanya." suaminya menjawab.

"Gimana kirim energinya?" tanya Rara lagi.

"Bisa dengan cara apa saja. Misalnya, sentuh lantai setiap habis sholat subuh, atau sekadar memejamkan mata dan membayangkan bola bumi," jelas Jaka. "Lalu, sapa sang Ibu, sampaikan rasa terima kasih dengan hati yang tulus. Dengan begitu, energi kasihmu sudah menjalar menyelimuti bumi."

"Begitu saja?" Rara mengerutkan kening. 

Tak urung, segera dicobanya saran itu. Ia menurunkan kaki, membuatnya bersentuhan dengan tanah. Ditangkupkannya kedua tangan, lalu pejamkannya mata. Seraya menghela napas dalam, ia mulai membuat percakapan di dalam hatinya.

Beberapa detik kemudian, bibirnya menyunggingkan senyum, menyiratkan sebuah komunikasi yang indah sedang terjalin antara dirinya dengan sang Ibu Bumi.

Jaka ikut tersenyum melihatnya. Lalu dibisikannya sesuatu kepada sang istri tercinta,

"Kalo sudah, bobo-boboan yuk. Aku kok kayaknya pengin meluk kamu di dipan ini, deh..."

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar