[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Perkataan Baik

Rabu, 21 November 2018

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Perkataan Baik


Saat itu sudah menjelang siang. Rara sedang tidak enak badan, sepertinya virus flu telah mampir ke badannya. Jaka tidak ada di rumah, sedang meneruskan pekerjaannya di luar kota. Jadi, diteleponnya saja sang suami itu, sekalian melepas rindu dan bermanja.

"Aku mau sakit nih..." Rara merajuk.

"Loh, sakit kok mau? Jangan mau dong," Jaka menyahut.


"Kamu nih bahasanya kayak yang udah khatam seminar NLP, deh, padahal ngga pernah ikut," Rara tertawa. Suaminya itu memang selalu pandai mengatur kata-kata.

"Iya dong," Jaka ikut tertawa. Riang sekali hatinya, jika sudah mendengar tawa sang dinda.

"Gimana caranya sih, supaya bisa ngomong yang positif dan tertata begitu?" tanya Rara. Ingat betul ia, bahwa hampir setiap perkataannya yang kurang baik pasti segera dikoreksi oleh Jaka.

Seketika, pikiran membawanya ke suatu waktu, ketika ia sedang sangat marah pada seseorang.  Tak lain tak bukan, kepada Jakalah ia menumpahkan kekesalan.

*******

"I hate that person so very much! Pokoknya, bisa sial hariku kalau ada dia!" Rara mengirim pesan.

Beberapa detik kemudian, Jaka membalas, "Lalu harimu akan bersinar lagi sepuluh menit kemudian, setelah mengabaikan saja orang itu."

Rara protes berat. Ia tidak suka curhatannya ditanggapi bercanda. "Aku bilang, hariku sial kalau ada dia, dan itu bukan guyonan!"

Dengan sabar, sang suami menjelaskan, "Siapa yang bilang itu guyonan, Ra... Aku hanya mendoakan supaya harimu indah lagi, kan?" katanya. 

Tidak ada balasan, yang artinya Rara sedang bertambah ngambek. Jaka mengirimkan pesan lagi,

"Kalau bicara, usahakan berakhir dengan harapan baik, ya. Apa kamu mau harimu benar-benar sial?"

Pada momen itu, kesadaran menghampiri Rara. Ya, kalau semua kalimat buruk menjadi doa, apa kabarnya dunia? Untung saja semesta punya hukum tunda, yang memberikan kesempatan kepada yang salah-salah kata untuk merevisinya.

********

"Halo? Rara?" Jaka memanggil. "Ketiduran, ya?"

"Hahaha... Ngga, aku cuma ingat sesuatu," Rara kembali dari lamunannya. "Jadi, gimana caranya ngomong yang tertata rapi?" 

"Ngga ada cara khusus, kok," sang suami menjawab. "Kalau sering berhening diri, otomatis kebaikan mengikuti. Nanti pikiranmu, kata-katamu, perilakumu, akan dengan sendirinya selaras dengan alam."

Rara berusaha mencerna kalimat itu baik-baik. Dibayangkannya wajah sang kekasih hati, yang selalu damai dalam berbagai keadaan. Hampir di setiap kejadian baik maupun buruk, Jaka selalu merespon dengan tenang, seakan tidak ada hal apapun yang bisa mengganggunya.

"Iya..." Rara paham. Kapan ya, ia bisa sekalem Jaka dalam menghadapi keseharian?

"Latihan hening lagi, yaa..." kekasih hatinya kembali mengingatkan.

"Iya. Tapi sekarang aku betul-betul ngga enak badan, dan ngga mau sakit," rajuk Rara lagi. "Masa aku ngga diobatin?" tanyanya manja.

"Kata siapa...? Ini sambil di-healing, kok..." Jaka menanggapi permintaan sang istri. Diambilnya napas panjang, lalu memejamkan mata sejenak untuk meniatkan sesuatu.

"Aku harus apa? Diam aja, kah?" tanya Rara. Segera ia naik ke tempat tidur, bersiap menerima sesuatu yang akan dikirimkan kepadanya, yang akan meringankan pening dan sumbatan di hidungnya. Begitu gunanya punya suami yang Master Reiki, bukan?

"Apa aja boleh..." suaminya menjawab. "Niatkan saja untuk menerima energi pengobatan yang diarahkan kepadamu. Aku matikan teleponnya, ya."

Tak lama, kehangatan menyelubungi tubuh Rara. Seperti selimut tak kasat mata yang menjalar ke sekujur badannya, menyamankan. Ia juga merasakan gelitik halus, seakan dihujani benih-benih dandelion yang lembut dan ringan. Dipejamkannya mata, menikmati kiriman energi sayang itu dari kekasih hatinya, hingga tertidur.

"Ra? Bobo, ya?" Jaka mengirimkan pesan instan sepuluh menit kemudian. "Met istirahat, sayang. Get better soon. Jangan lupa berterima kasih pada Sang Maha atas semestaNya yang baik ini. Luv u."

********

1 komentar: