[] Bilik Menulisku: Fiksi Rara & Jaka, Tentang Hukum Alam

Kamis, 01 November 2018

Fiksi Rara & Jaka, Tentang Hukum Alam


Suatu siang yang berhawa dingin, di kantin dekat kantor, Rara dan Jaka sedang menikmati sekoteng hangat sebagai pencuci mulut. Rinai hujan turut menemani perjalanan kehidupan mereka, membuat Vasana tentang kisah kasih mereka.

"Jadi, apa itu hukum alam?" Rara menyuapi kekasih hatinya sesendok minuman beraroma jahe itu.

Jaka memang sengaja memesan satu porsi saja sekoteng. Ia ingin menikmati limpahan sayang sang istri tercinta dengan disuapi.

"Ada beberapa hukum yang IA terapkan di semestaNya ini," Jaka menyudahi sekotengnya, lalu menyulut sebatang rokok.

"Misalnya?" tanya Rara sambil menghabiskan sisa air jahenya.

"Gravitasi," jawab Jaka. Sekepul asap keluar dari mulutnya. "Tidak ada sesuatu pun yang bisa melepaskan diri dari hukum tarikan ini. Dan manusia pun memiliki gaya gravitasi."

"Manusia?", Rara bingung.

"Ya, kita menarik apa-apa yang kita sinyalkan. Hal-hal akan datang, sesuai dengan apa yang kita tarik."

"Oya??" Rara bingung lagi.

"Oh iya. Aku menarik kamu..." Jaka mulai genit. Dilemparkannya sebuah kecupan jauh, sambil menatap bibir sang kekasih hati.

"Maksudnya gimana...?" Rara mengabaikan kecupan itu.

"Ya seperti yang dikatakan dalam buku The Secret itu," Jaka mengisap rokoknya lagi. "Kamu meradiasikan keluhan, yang datang masalah. Kamu meresonansi kebersyukuran, yang datang berbagai kebaikan. Simple."

"Jadi, aku harus selalu bersyukur, ya?" sang istri manggut-manggut.

"Idealnya begitu. Untungnya, hukum yang satu ini dibarengi dengan hukum penundaan. Supaya jika manusia mengeluh, akan ada waktu baginya untuk merefleksi ulang kelakuannya."

"Kalau tidak ada penundaan, berarti apa yang kita pikirkan langsung berdatangan??" Rara takjub. Ia jadi mengingat-ingat sendiri segala keluhannya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. 

"Nah, kacau kan kalau begitu?," Jaka tertawa melihat sang kekasih hati.

"Untuk itu, mari selalu berusaha berpikir, berkata, berlaku di jalan kebenaran, buat tabungan energi baik. Nah, itu hukum alam yang selanjutnya," Jaka mematikan rokoknya.

"Ada hukum alam lagi?"

"Ya, hukum Karma. Atau hukum pertukaran, atau bisa dikatakan azab baik dan buruk."

"Oh... okay, explain, please."

"Sekali lagi, ini adalah hukumNya. IA yang memberlakukan ini di semestaNya. Dengan demikian, seperti halnya gravitasi, tidak ada sesuatu pun yang bisa menghindarinya." Jaka meneguk teh tawarnya sebelum meneruskan.

"Setiap yang dipikirkan, dikatakan, dilakukan baik oleh kita, akan membentuk karma baik, Ra. Misalnya, kamu kerja dengan gaji dua juta, tapi yang kamu lakukan itu setara dengan nominal tiga juta. Kamu punya tabungan energi sebesar satu juta di alam. Suatu saat, ia akan cair dan menjadi kebaikan bagimu."

"Oh..." lagi-lagi Rara speechless.

"Ada orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan hanya setara Rupiah satu juta, padahal gajinya bernominal dua juta. Dia akan tetap mendapatkan transferan uang sebesar itu, tapi dia jadi berhutang pada alam sebesar satu juta," lanjut Jaka. "Semesta itu bersifat menyeimbangkan. Suatu saat, akan ditagihnya yang satu juta itu, entah berupa apa."

"Waaah..." Rara terpekik ngeri.

"Ya memang begitu..." sahut Jaka santai. "HukumNya berlaku umum. Siapa saja, di mana saja, beragama apa saja, penganut bumi datar atau bumi bulat sekalipun akan terkena."

Rara manggut-manggut lagi, mencerna kata-kata suaminya tercinta. But somehow, she already comprehends it. Rara sadar sendiri, berdasarkan apa-apa saja yang sudah dialaminya sendiri sampai saat ini, bahwa hukumNya memang demikian adanya.

Sambil tersenyum dalam kepahaman, ia mengecup pipi sang kekasih dengan penuh sayang.

********

Baca Fiksi Rara & Jaka yang lain juga yaa, terima kasih :)

2 komentar: